Tiga tarian selesai, itu tandanya saya sudah setahun belajar di sanggar. Meski tidak seutuhnya dan lebih banyak menjadi izin, tetapi siapa sangka telah banyak cerita terlahir dan kelak akan menari-nari di dalam lemari ingatan, menjadi kenangan saya di Jogja.
Sesuai janji saya ketika kelak bisa diizinkan tinggal di bawah langit Jogja untuk belajar menari, akhirnya benar terealisasi. Ternyata saya diizinkan untuk merasakan kota istimewa ini, pun sembari belajar mengenai budayanya lewat tari. Sempat pesimis karena tugas-tugas kuliah yang menanti, nyatanya itu bukanlah masalah yang berarti. Kedua-duanya seperti adik kakak yang bergandengan menjaga satu sama lain, berjalan beriringan.
Belajar di sanggar bukanlah kali pertama saya alami. Dulu sekali, sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar saya pernah mencicipinya, meski itupun tidak berlangsung lama. Sanggar di Jogja adalah kali kedua saya benar-benar belajar di tempat menari yang sungguhan. Dengan pengajar professional dan pertemuan dengan teman-teman yang mempunyai kegemaran yang sealiran.
Namun, memang ada yang beda rasanya. Sanggar yang dulu tidak mengenal sistem ujian, sedangkan yang di Jogja ternyata menawarkannya. Ya, memang seharusnya seperti itulah sistem sebuah sanggar yang saya sering dengar, selain proses belajar akan ada kenaikan tingkat yang ditandai dengan ujian ketika sebuah tarian rampung dipelajari. Juga ujian kelulusan pada akhirnya.
Pengalaman Pertama Mengikuti Ujian Tari
Setelah kurang lebih setahun berjalan, tiga tarian sudah diajarkan sanggar. Sayang, seleksi alam rupanya juga terjadi disini. Dimana yang awalnya berjumlah belasan peserta,menyusut jadi kurang dari sepuluh saja. Tentu ini bukan tanda mereka yang hilang tidak cinta lagi, melainkan kesibukan mungkin membuat mereka harus merelakan salah satunya.
Kelas yang saya ambil adalah kelas tari jawa klasik gaya Yogyakarta. Kelas yang ketika ujian kelulusan tiba jumlahnya tak lebih dari sepuluh peserta. Dibilang sedikit,tidak juga. Sebab diangkatan tahun lalu hanya satu. Lumayanlah untuk angkatan saya.Berbeda dengan ujian kenaikan yang dilakukan setiap menyelesaikan satu tarian, ujian kelulusan dilakukan bagi murid sanggar yang sudah belajar selama kurang lebih setahun atau telah mempelajari tiga tarian.
Ya, ujian kelulusan di sanggar sama halnya seperi ujian kelulusan di institusi pendidikan formal. Dimana saat ujian kami harus mempelajari materi dari tingkatan awal. Pun seperti sanggar, dimana ujian kelulusan mengharuskan saya dan teman-teman menghafal dan mempelajari tarian-tarian yang sudah diajarkan sedari awal kami masuk. Kemudian pada ujian tiba, kami harus mengulangi ketiga-tiganya.
Ketika Grogi Tiba-tiba Membuat Kami Lupa Ingatan
Di kelas klasik, tiga tarian yang dipelajari angkatan saya adalah Nawung Sekar, Golek Ayun-ayun dan Kenyotinembe. Ketiga-tiganya adalah tarian yang baru bagi saya. Pada dasarnya ketiga tarian tersebut memiliki gerakan dasar yang mirip. Memudahkan, ya seharusnya. Tetapi sering kali gerakan yang mirip justru tak sengaja menjadi tertukar dengan gerakan yang lain.
Ujian kelulusan yang menuntut saya dan teman-teman menari tiga tarian dalam sekali waktu ternyata memang bisa dibilang tidak mudah. Apalagi bagi saya pribadi yang sering kali tidak bisa hadir ketika ada bimbingan tiba. Berusaha terus berlatih (sendirian melalui video) diwaktu-waktu mendekati ujian barangkali jadi penenang yang meski tidak juga jadi tenang. Sebab ujian tari tidak bisa disamakan dengan ujian mata pelajaran, yang hanya butuh menghafal tapi juga butuh dipraktikan.