Belum banyak yang tahu, jika setiap tanggal 29 April masyarakat dunia termasuk Indonesia memperingati Hari Tari. Ya, Hari dimana gerak tubuh dirayakan.
Sudah sejak tahun 1982, Hari Tari dicanangkan oleh lembaga tari internasional CID – Counseil Internasinal de la Danse- dengan tujuan untuk mengajak seluruh warga dunia berpartisipasi dalam menampilkan tarian negaranya masing-masing yang jumlah dan jenis yang beraneka ragam. Dan perayaan itu masih terus berlanjut sampai sekarang.
Tiap-tiap negara dengan keunikan budaya masing-masing tentu punya cara sendiri dalam memeriahkannya, dengan tarian yang makin cantik dengan iringan. Seperti yang terjadi di Indonesia, contohnya Solo “Menari” , yang selalu mengagendakan tanggal di akhir bulan april ini dengan acara menari selama dua puluh empat jam non-stop. Disana, suguhan beragam tarian ditampilkan, jumlahnya bisa sampai puluhan atau bahkan mencapai ratusan.
Menari ; Jatuh Cinta Berkali-kali
Saya bukanlah seseorang yang dilahirkan di keluarga seniman. Bapak dan Ibu, keduanya mendedikasikan diri sebagai pengajar,pendidik. Tapi, ternyata memang benar kalau selalu ada cara dan jalan bertemu dan jatuh cinta, termasuk juga pada menari.
Sudah sejak kecil-sekitar umur lima- saya sudah dikenalkan dengan menari. Akibat lingkungan rumah yang berisi anak-anak sebaya dengan saya kala itu. Jadilah, kami –dengan didukung orang tua tentunya- diajarkan menari walau hanya seadaanya untuk mengisi acara di tujuh belasan. Bermula modal meniru di video clip, kemudian kami didaftarkan pada sanggar tari.
Perkenalan sewaktu kecil dengan dunia tari, terus berlanjut sampai sekarang. Meski diperjalanannya tak selalu mulus dan ada saja masalah teknis yang ditemui disela-sela, dan disitulah saya harus jatuh bangun .
Di bangku kuliah, ternyata menari tak juga saya tinggalkan dan saya masih jatuh cinta. Bergabung di unit kegiatan mahasiswa Kesenian Jawa Universitas Diponegoro membuat saya belajar banyak hal. Meski tanpa guru dari luar, tetapi disana banyak teman-teman yang sudah pengalaman di bidang tarian bahkan juga di bidang karawitan.
Awal kuliah di Universitas Diponegoro memang saya sudah mengincar kegiatan mahasiswa tersebut. Dan, tentu saja saya tak menjadi ragu untuk menjadi bagian didalamnya. Latihan dari sore sampai malam, kadang bahkan sampai dini hari jika akan ada pementasan pun diijabahi. Badan yang pegal-pegal karena rentetan pemanasan ekstra, sudah jadi makanan.
Latihan yang sering dianggap ekstrim dimata orang lain (yang bukan anggota) sudah biasa. Apalagi,kondisi saya yang tak bisa bohong seperti saat kuliah yang kadang tertidur di kuliah siang (jangan dicontoh ya) atau tak hadir di kuliah pagi karena harus mengisi acara wisuda jadi maklum bagi teman-teman sejurusan.
Tapi, saya tak pernah merasa percuma melakukan itu, karena sebagai mahasiswa yang juga anak dan mempunyai tanggungjawab kepada orang tua untuk belajar. Alhamdulilah..kuliah (meski beberapa pernah saya abaikan), tak membuat saya lupa untuk memberikan yang terbaik.