Rasanya ada pikiran yang terus menggelitik saya untuk melukiskan sosoknya walau hanya lewat kata-kata. Tepat di hari ini, hari yang berbahagia untuk beliau. Hari kelahirannya. Sosok yang memiliki banyak talenta lain di balik jas putih yang sering ia kenakan, seorang dokter. Pun di atas panggung beliau bisa menjelma jadi tokoh apa saja dengan selendang dan gerakan anggun yang dimainkannya.
Tak hanya itu, dalam layar kaca berteknologi yang ada di rumahmu, sosoknya pernah muncul dalam sebuah iklan herbal. Meski begitu tugasnya melindungi dan menyayangi keluarganya tak alfa beliau lakukan, seorang bapak bagi anaknya dan suami yang mencintai istrinya. Adalah Prof. dr. Edi Dharmana, Msc. PhD, SpPark
Di Balik Gelar dan Jas Putih Berkalung Stetoskop
Di balik gelar profesor dan kesibukannya menjadi dokter ada yang membuat saya takjub dan tak terlalu berlebihan jika mengidolakannya. Beliau memiliki dedikasi yang tinggi di bidang kesenian dan kebudayaan terutama tari. Sebelum berkenalan langsung dengan beliau, saya hanya bisa mengetahuinya dari cerita-cerita serta mesin pencarian saja.
Tak hanya menjadi guru besar di FK Undip, beliau pun pernah mendapatkan rekor MURI sebagai pelaku tradisional wayang orang terlama dari bangku sekolah dasar sampai sekarang. Luar biasaaaa! Dan, saya lagi-lagi menjadi orang beruntung karena diberi kesempatan untuk mengenal beliau hingga hari ini.
Pada Sebuah Pertemuan..
Kalau dipikir lagi, pertemuan di antara kami rasanya seperti sihir dan terlalu menakjubkan. Jika dipikir nalar manusia rasanya tak mungkin, tapi Tuhan berkata lain. Akhir tahun 2013, bermodal “sok kenal” yang saya punya-saya pun memberanikan diri untuk memulai percakapan dan itu pun hanya lewat Facebook. Ya, dunia maya telah memberikan kesempatan yang berharga untuk bisa berkenalan baik dengan beliau.
Ya, saya kuliah di Fakultas Kedokteran dan beliau pun adalah dosen di fakultas yang sama, namun di masa-masa mencapai sarjana ini tidak ada mata kuliah yang diampu oleh beliau yang saya dapatkan. Barangkali karena sistemnya ada yang diubah atau apanya, jadilah angkatan saya tidak berkesempatan lagi untuk bertemu beliau dalam suasana belajar di perkuliahan.
Beruntung... angkatan sebelumnya masih diberi kesempatan untuk bertatap muka dalam proses belajar mengajar yah. Saya pun hanya bisa mendengarkan cerita dari kakak tingkat tentang sosoknya dan itu justru menyuburkan rasa penasaran yang terus tumbuh meninggi. Namun kesempatan memang bisa menyusup ke mana saja. Tidak bisa berkenalan di bangku kuliah, ada pertemuan yang lahir dari sebuah kesenangan yang saya lakukan, lewat menari.
Awal 2014 adalah di mana saya bertemu dengan beliau lewat tatap muka langsung. Dalam suasana yang berbeda, di sebuah latihan menari di Fakultas Kedokteran. Beliau menawarkan saya untuk turut bergabung dan belajar menari bersama yang waktu itu berlangsung di Kariadi. Sempat juga merasa canggung, karena ini adalah kali pertama saya bertemu dengan beliau secara langsung. Namun rasa itu berhasil dipukul mundur oleh keberanian dan penasaran akan sosok hebatnya. Dan saya pun membuat janji dengan beliau untuk datang dalam latihan bersama teman-teman Fakultas Kedokteran.
Masih ingat sampai detik ini, pertama kalinya ikut latihan saya merasa bagai alien sedang turun ke bumi, terlalu asing dengan orang-orang yang saya sempatkan untuk bersalaman satu per satu. Ya, di sana saya tak sendiri – bersama teman-teman yang lain yang kemudian saya tahu bahwa yang saya anggap “teman-teman” itu adalah kakak tingkat jurusan kedokteran umum, ya kedokteran umum bukan gizi (jurusan saya sendiri).
Saya bersyukur meski dari jurusan yang berbeda dengan mereka, mereka menerima saya dengan terbuka. Mbaknya baik-baik banget, pasti sekarang udah pada diwisuda yah. Dan selang beberapa waktu kemudian, beliau datang untuk melihat dan mengecek latihan menari kami.