Mohon tunggu...
Drg. Lisnaini
Drg. Lisnaini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mob Flash Mob untuk Mr. President

7 Desember 2015   12:39 Diperbarui: 7 Desember 2015   15:03 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dari sedikit uraian tersebut, semoga saja sudah dapat memberikan gambaran bahwa untuk kepentingan pengamanan dan penguatan penerimaan negara, maka instansi pajak dan bea cukai, sebagai instansi utama pengisi kocek negara (revenue centres), sudah saatnya untuk ditingkatkan peran atau kontribusinya. Kewenangan-kewenangan kedua instansi ini harus disesuaikan dengan perkembangan jaman yang semakin tajam dan borderless. Status pegawainya yang selama ini adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS, juga sudah waktunya disesuaikan dengan iklim kompetisi yang ketat. Saya berkesimpulan bahwa status ASN sudah tidak cocok lagi untuk mereka. Apalagi instansi pajak yang jumlah pegawainya lebih dari 35.000 orang dan tersebar di seluruh pelosok negeri. Sungguh sebuah instansi yang terlalu besar untuk dikelola di bawah sebuah kementerian.

Status ASN itu dikhawatirkan hanya akan menjadi shelter perlindungan bagi pegawai-pegawai yang tidak fokus akan tugas dan kewajibannya. Status ASN ibarat zona nyaman bagi pegawai-pegawai semacam itu, pegawai yang free riders,  dan pegawai-pegawai di instansi pajak maupun bea cukai (seharusnya) bukan tipe pegawai yang semacam itu dan tidak memerlukan pegawai yang seperti itu.. Mereka butuh diberi kewenangan dan dibantu dengan penciptaan cara kerja yang lebih agresif dan profesional. Kebijakan di bidang kepegawaian yang cepat, responsif dan transformasional lebih mereka butuhkan, daripada status ASN. Saya kira, pemerintah perlu untuk segera menguatkan mereka dengan seragam dan amunisi yang hebat dan siap pakai, bukan hanya dengan wacana-wacana retoris. Sudah bukan saatnya lagi run the business as usual.

Etos kerja

Selain kondisi keuangan negara yang kurang menggembirakan, ada satu hal lagi yang menurut saya tidak kalah pentingnya dalam menyambut iklim kompetisi global ini, yaitu etos kerja masyarakat. Etos kerja ini adalah nilai-nilai etika yang berkaitan dengan cara atau pola kerja, seperti semangat, integritas, kerajinan, kedisiplinan, ketekunan dan sikap hidup (mind-set), yang digunakan dalam rangka mewujudkan tujuan bersama secara optimal.

Di negara-negara maju, dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, masyarakatnya tentu mempunyai etos kerja luar biasa. Semuanya serba cepat, tetapi tidak terburu-buru. Melainkan teratur dan terukur. Mereka terbiasa disiplin dan sangat menghargai waktu. 1-2 menit adalah waktu yang sangat berarti buat mereka. Terlambat 1-2 menit saja bisa berarti tertinggal, paling tidak tertinggal bus atau kereta, sehingga harus menunggu kedatangan bus atau kereta berikutnya. Mereka tidak mau membiasakan diri menjadi manusia dengan label the last minutes man, yang gemar grusa-grusu dan pontang-panting pada menit-menit terakhir.

Mereka juga tidak segan membangun kebiasaan-kebiasaan sederhana yang sepertinya sepele. Kebiasaan dalam hal antri atau memberi ruang yang cukup untuk para senior berusia lanjut dan ibu hamil, kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, disiplin terhadap waktu atau tepat waktu (punctual), dlsb, adalah contoh sederhana dari kebiasaan yang sepertinya sepele tersebut. Bisa jadi, itulah secret recipe mereka dalam membangun dan memajukan bangsanya. Berbeda sekali dengan masyarakat kita. Masyarakat kita terlihat kurang sekali tingkat kedisiplinannya, suka menunda-nunda sesuatu dan terbiasa dengan jam karet. Masyarakat yang kurang disiplin, lebih suka mengulur waktu, bermalas-malasan (malas membaca, malas berpikir dan malas bekerja), maka etos kerjanya cenderung rendah. Dengan etos kerja yang seperti itu, maka memenangkan kompetisi adalah sebuah mimpi di siang bolong. Jadi, etos kerja yang seperti itu harus diubah dan pemerintah mempunyai tanggung jawab dan beban moral untuk mengubahnya.

Dalam pandangan saya, cara termudah bagi pemerintah untuk mengubah dan meningkatkan etos kerja masyarakat adalah mengubahnya melalui pegawai negeri sipil (PNS) atau yang sekarang telah diubah menjadi Aparat Sipil Negara (ASN). Negara kita memiliki tak kurang dari 5 juta ASN. Jika pemerintah bisa mengelola dan mengarahkan para ASN untuk mulai meningkatkan etos kerjanya, maka saya yakin masyarakat juga lambat laun akan mengubah etos kerjanya, mengikuti habit para abdi negara. Bukankah kita menganut budaya paternalistik? Artinya setiap tindak tanduk dan sepak terjang pejabat atau elit negara akan menjadi panutan bagi masyarakat. Pemerintah bisa memanfaatkan ASN sebagai agent of change. Namun bagaimana caranya untuk meningkatkan etos kerja para ASN? Nah, itu lah masalahnya...

Jika kita perhatikan yang terjadi selama ini, level etos kerja para ASN masih di bawah para pegawai swasta, sehingga wajar saja jika produktifitas atau out-come nya belum memuaskan. Banyak sekali perusahaan swasta negeri ini yang produktifitasnya patut diacungi jempol, dan patut dijadikan contoh. Kinerja mereka hebat, penuh passion. Banyak dari mereka yang bahkan mampu menjadi perusahaan raksasa dan berbicara di kancah internasional. Mereka mampu bersaing dan berkompetisi dengan perusahaan luar. Hebat!! Saya yakin, para pegawai di perusahaan itulah yang menjadi kunci dalam membesarkan perusahaan, karena etos kerja mereka di atas rata-rata. Work hard-work smart. Jack Welch, seorang tokoh yang dikenal karena kepemimpinannya yang hebat saat ia menjabat sebagai CEO General Electric (GE), mengatakan: Culture drives great results!

Nah., etos kerja yang seperti itulah yang perlu dicontoh oleh para ASN. Jangan kalah dengan etos kerja pegawai swasta. Berbagai stigma negatif dan ledekan-ledekan yang ditujukan kepada pegawai negeri harus segera dikikis habis dengan cara meningkatkan etos kerja ASN.  Para ASN negeri ini harus mampu meng-upgrade etos kerjanya sehingga dapat menyamai atau melebih etos kerja para pegawai swasta. Dengan segala macam cara. All the way.

Dalam tulisan saya yang kemarin, saya menulis bahwa cara agar orang/perusahaan mau membayar pajak, adalah melalui pemaksaan. Jadi rasanya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa untuk mendapatkan etos kerja yang baik itu adalah dengan cara dipaksa juga. Entah itu karena dipaksa oleh aturan instansinya, oleh atasannya ataupun oleh lingkungannya sendiri (lingkungan kerja dan/atau lingkungan masyarakatnya). Menurut saya, kisaran angka 5 juta adalah jumlah yang sangat besar dan merupakan sebuah keuntungan demografi, dan sangat potensial untuk membuat negara ini menjadi negara yang kuat dan maju. Sayang sekali jika jumlah ASN yang sebesar itu hanya sekedar angka statistik saja. Jadi, mari kita manfaatkan secara masif dan konstruktif keuntungan demografi itu agar menjadi keuntungan komparatif dan kompetitif. Saya yakin kita bisa!

Flash Mob

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun