Malam itu terdengar suara bersahutan oleh serangga-serangga kecil yang seolah tidak mau kalah dengan lantunan merdu bacaan kalam Ilahi yang selalu dilantunkan oleh para santri pondok Al Islah. Semilir angin malam yang seringkali mengalahkan aku dan teman-temanku dalam peperangan yang sengit di setiap malam yang kita lalui. Angin yang tak mau kalah seolah merekrut tentara bayaran yang sangat ampuh guna mengalahkan kita.
Banntal, guling, dan selembar tikar sudah lebih dari sekedar cukup untuk membuat kita lumpuh tanpa daya. Namun kita juga tidak mau kalah dengannya, layaknya strategi yang dipasang oleh seorang coach dalam pertandingan sepak bola, kita juga punya strategi jitu dalam meredam serangan mereka. Kopi dan rokok adalah senjata ampuh sekaligus teman sejati yang tidak pernah lelah dan selalu bersabar membantu perjuangan kita dalam melawan serangan mereka.
Jadi bila ada seseorang yang mengatakan rokok atau kopi adalah teman yang setia, saya dan teman-temanku menga-amininya, hal tersebut telah jauh-jauh hari dijelaskan oleh beliau salah satu tokoh Psikologi terkemuka, Gordon W. Allport dengan teorinya perseverative functional autonomy, awalnya kita mencoba senjata itu untuk mengalahkan serangan yang dilayangkan pada malam hari yang sering kita sebut dengan “kantuk”, dan ternyata senjata tersebut ampuh untuk melawannya, sehingga aku dan teman-temanku ataupun semua orang yang mengalami serangan yang sama seperti yang kami alami, selalu menggunakan rokok dan kopi secara rutin tiap malam. Singkatnya, malam itu aku dan teman-temanku mampu mengalahkan musuh utama kita dengan bantuan senjata ampuh yang berasap dan berwarna hitam pekat tersebut.
Malam itu aku ditemani tiga teman seperjuangan dengan berbekal senjata lengkap mendapati pemandangan yang tidak biasa. Dari kejauhan terdengar segerombolan orang yang berjalan menuju masjid (medan perang kita) mereka terdengar mengobrol ringan sambil tertawa yang menandakan mereka sedang berselimut kebahagiaan yang besar.
Terlihat ada dua orang yang paling depan sedang berjalan beriringan sambil bergandengan tangan dengan raut wajah yang seolah menahan rasa kebahagiaan yang ingin segera keluar melalui wajah mereka namun mereka masih malu pada segerombolan pengiring yang ada dibelakang mereka. Barisan pengiring yang ada dibelakang mereka sangat bersemangat untuk terus mengikuti pasangan yang ternyata barusaja melangsungkan ikrar dalam sebuah ikatan suci suatu pernikahan.
“Subhanallaaah.... cantik banget ya pengantin wanitanya, jadi pengen cepet-cepet aku” celetuk Humam sambil memandangi pengantin wanita.
Humam adalah temanku yang terkenal gonta-ganti cewek. “Makanya mam,,, rajin-rajin nderesnya biar cepet khatam trus kawin deh,,hahaha” sahut Basuki, temanku yang paling tua dari kita berempat. “Iya mam,,, cepetan sana, nanti trus matur sama pak yai, keburu si Novi dilamar orang lain,hehehe” sahut Malik yang tidak mau ketinggalan untuk mengomentari celetukan Humam, Malik adalah temanku yang paling sering ditolak cewek, hahahaha.
Guyonan seperti itulah yang sering kami sentilkan untuk sekedar memotivasi diri agar mampu sregep nderes, meminjam salah satu teori dari beliau yang merupakan salah satu pakar dari Psikologi Humanistik yaitu Abraham Maslow dengan Teori Hierarki yang salah satunya adalah kebutuhan kasih sayang. Dan sudah menjadi kebiasaan disini setelah ada santri yang telah khatam kemudian kawin,hahahah. Entah itu disebabkan keadaan, faktor umur ataupun faktor keluarga.
Tradisi di Desa ini memang tergolong unik yaitu “mubeng Masjid”, setiap warga desa yang telah melangsungkan akad pernikahan diharuskan mengelilingi masjid di desa tersebut, konon tradisi ini adalah warisan dari beliau Sunan Kalijaga (Sunan Kalijogo) yang makamnya berada di Kadilangu Demak hingga saat ini masih ramai dikunjungi para peziarah.
Nama desa ini juga sama seperti nama desa dimana beliau dimakamkan, yaitu Desa Kadilangu namun desa dengan tradisi unik ini berada di Pati, sebuah kota kecil yang juga menyimpan banyak ragam kebudayaan di dalamnya.
Aku tinggal di desa ini sudah beberapa tahun lamanya, aku dan teman-temanku tinggal disini bukanlah tanpa tujuan, ada satu tujuan utama yang sama-sama kita ingin raih, yaitu menjadi seorang Hamilul Furqon. Tentunya tujuan mulia yang penuh tantangan dan salah satunya telah aku sebutkan diawal tadi.
Namun ternyata aku juga menemukan sesuatu yang berbeda di desa ini yaitu tradisi yang tidak semua masyarakat lain memilikinya, sesuatu yang membanggakan bagi masyarakat Kadilangu sendiri tentunya. Beberapa sumber yang telah saya dapatkan melalui sedikit wawancara dengan orang yang cukup berpengaruh di desa ini yaitu seorang kakek penjaga masjid yang biasa dipanggil Yi Man Cakri, beliau mengatakan bahwa tidak mengetahui secara persis kapan tradisi ini mulai dijalankan oleh masyarakat setempat, dan beliau sendiri sudah menjadi seorang penjaga masjid sudah lebih dari 25 tahun (wooww,, cukup lama yaaa,,).
Sedangkan dari sumber kedua yaitu salah satu pemuda desa yang sekarang telah menjadi salah satu dosen di IAIN Kudus dan STAIMAFA Pati yaitu Munawir Aziz ia adalah salah satu teman kami yang bila diibaratkan mobil, beliau adalah mobil Jaguar dengan kecepatan tinggi, kenapa??? Karena beliau sekarang bukan hanya sekedar teman seperjuangan kami, akan tetapi sudah menjadi Gus kami, beliau telah menjadi mantu dari Pak Yai kami,hhhehe (hebat bukan???) beliau sekarang juga sudah sibuk menulis buku, salah satu buku fenomenalnya adalah “Lasem Kota Tiongkok Kecil”.
Beliau membenarkan bahwa tradisi tersebut memang bersumber dari Sunan Kalijaga, tradisi tersebut asalnya adalah sebuah dakwah yang bertujuan untuk mengingatkan masyarakat Kadilangu agar selalu dan sering eling pada masjid.
Hingga sampai saat ini pun setelah Malik yang pada akhirnya meninggalkan Kadilangu karena dibutuhkan keluarga. Human yang telah meninggalkan Kadilangu setelah berhasil mencapai cita-citanya dengan dibantu motivasi yang seperti halnya dikemukakan oleh A. Maslow dengan teori Hierarki yaitu kebutuhan kasih sayang, kemudian mempersunting bidadari idamannya yaitu Nova.
Kemudian Basuki yang masih bertahan di sana untuk selalu mengejar impiannya, konon ia juga menunggu pulangnya seorang bidadari yang tengah berpetualang di negeri seberang. Sedangkan aku sendiri melanjutkan petualangan hidup ini di tempat yang penuh dengan potret kehidupan manusia. Dan berharap diberikan kesempatan untuk membawa pulang bidadari yang selalu menyejukkan taman bunga dalam hatiku, dan mengajaknya untuk mencoba tradisi unik “mubeng mesjid Kadilangu”. Amiiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H