[caption id="attachment_156373" align="aligncenter" width="448" caption="Ilustrasi"][/caption] Bismillahirrahmanirrahim
Ini cerita dari tanah yang sudah membeku. Ini cerita dari kota yang sudah dipenuhi kebohongan dan sesak oleh asap kendaraan. Jakarta namanya. Tempat semua jenis hati berkerumun dalam ramai yang sepi.
Setiap hari sebuah alat pengukur kepekaan manusia berhalulalang dengan berbagai ukuran dan jumlah roda. Banyak cerita di dalamnya yang menemani kaki-kaki letih. Banyak kisah yang membuat hati saya tergelitik untuk menuliskannya dan menyampaikannya kepada kamu. “The Man Respectometer” begitulah saya menyebutnya.
Jakarta, gudangnya cerita. Mungkin kamu kira ini fiksi, tapi ini nyata ada di Jakarta, di dekatku, atau mungkin pernah terjadi di dekatmu.
***
[caption id="attachment_156374" align="aligncenter" width="528" caption="Ilustrasi"]
Kota ini seperti tak pernah mengantuk, begitu pikir saya. Saya melihat keterjagaannya dari kepadatan jalan raya juga kesibukan dalam angkutan umumnya. Setiap saya menggunakan angkutan umum seperti bus, busway, atau kereta, tak jarang terjadi insiden “berebut” tempat duduk atau fenomena desak-desakkan sambil “bergoyang” karena sopir yang ugal-ugalan. Nah, dari sini saya mulai menangkap porter-potret menarik yang membuat saya semakin tertarik menuju sudut hati manusia yang bernama “kepekaan”.
Pada jam-jam padat seperti pagi dan sore hari, biasanya angkutan umum juga ikut padat. Entah itu dalam bus ataupun kereta, hampir dipastikan semua tempat duduk akan penuh dan penumpang lain harus berdiri jika tidak ingin datang atau pulang terlambat. Nah, dari sinilah banyak cerita unik yang saya lihat dan saya alami.
Salah satu cerita yang sangat membemuat saya tertawa geli adalah pengalaman saya saat masih duduk di bangku SMA. Dulu setiap pulang sekolah, saya sering dimintai mengajar di beberapa tempat, pun itu mengajar teman sendiri. Siang itu kopaja yang saya tumpangi penuh, sehingga saya dan beberapa teman yang lainnya harus berdiri. Saat itu di dekat saya berdiri satu orang pria. Tak lama kemudian, salah satu penumpang yang duduk di dekat saya hendak turun. Karena posisi saya dekat dengan orang yang hendak turun ini, spontan saya langsung mendekati calon bangku kosong. Eh, tiba-tiba lelaki yang di dekat saya mendorong saya dan dia duduk di bangku itu. Saat itu saya sangat kaget dan sedikit geli sambil bergumam dalam hati, “Kok bisa ya ada laki-laki kayak gitu? Gak respect banget.” Tanpa menunggu lama untuk illfeel kepada pria itu, percakapan pria tadi dengan wanita yang ada di sebelahnya membuat saya mengerti. Ternyata wanita yang masih duduk di sebelah bangku yang hendak saya duduki tadi adalah pacarnya. Ckck.
Berbeda dengan cerita di atas, tak jarang saya sendiri melihat begitu banyak penumpang muda yang secara fisik masih kuat untuk berdiri tapi malah berlagak tak melihat penumpang lain yang sudah tua, sedang hamil, atau menyandang disabilitas. Sampai-sampai pernah saat saya pulang kuliah, ada seorang kakek yang kebingungan mencari tempat duduk. Saya melihat tak ada satupun respon peduli dari sesama mahasiswa yang sedang duduk, pun itu pada mahasiswa lelaki. Melihat ini, saya langsung berdiri dan mempersilakan si kakek untuk duduk. Kemudian, salah satu lelaki yang melihat saya berdiri malah berdiri dan mempersilakan saya untuk duduk. Um, aneh. Kenapa orang ini tidak berdiri dari tadi dan mempersilakan si kakek untuk duduk. Mungkin karena saat itu saya sedang kesal, sehingga dengan spontan saya menjawab, “Telat ngasih tempat duduknya, Bang. Yang lebih perlu tuh si kakek, bukan saya.” Alhasil, lelaki itu diam dan duduk kembali. (Ternyata saya jutek juga.)
Tak hanya itu, sederetan kejadian serupa juga masih sering saya lihat. Berbeda dengan kejadian di atas. Satu kejadian di dalam busway sempat membuat saya “meleleh” dan terkagum-kagum pada seorang penumpang.
Saat itu saya pulang kuliah menggunakan busway yang sudah penuh sesak. Saking penuhnya busway yang saya tumpangi, sampai-sampai semua pegangan khusus penumpang yang berdiri pun penuh. Saya bingung harus berpegangan ke mana. Di sana yang bisa saya pegang hanya sebuah tiang dekat pintu, itu pun letaknya cukup jauh sehingga membuat posisi tubuh saya sedikit tidak nyaman. Tiba-tiba seorang lelaki berbicara, “Pegangan ke sini nyampe gak?” Karena merasa lelaki itu berbicara kepada saya, maka saya menoleh dan bertanya. Lalu lelaki itu berkata lagi, “Ini, ke sini. Tangannya nyampe gak?” Waah, dia memberikan pegangannya kepada saya. Dan dia sendiri berpegangan kepada tiang horizontal yang letaknya lebih tinggi.
Saya salut dengan kepekaan lelaki ini. Ini bukan tentang tempat duduk, melainkan hanya sebuah pegangan penahan tubuh. Hingga turun dari busway pun saya masih berpikir berulang-ulang dan berkata dalam hati, “Andai saja semua orang terutama anak muda punya kepekaan seperti dia.”
Ya, kejadian kecil di busway ini membuat saya selalu mengingat kebaikan dan kepekaan lelaki tinggi ini. Kenangan ini bukan perihal wajah atau postur tubuhnya, karena saat turun busway saja saya sudah lupa rupa lelaki itu seperti apa. Yang saya ingat hingga sekarang adalah kepekaannya yang luar biasa. ini nyata lho. Ternyata masih ada serpihan kepedulian yang bertiup dalam kota yang sibuk ini.
Sebuah kepekaan memang menjadi nilai utama saya dalam menilai pribadi seseorang. Karena bagi saya, kepekaan adalah titik mula kebaikan-kebaikan yang ada dalam diri setiap manusia. Ketika seseorang menjadi peka terhadap satu hal kecil, maka sudah dipastikan orang ini adalah pribadi yang penuh akan kebaikan dan kecintaan. Dan menjadi sangat sempurna jika kepekaan yang dimiliki dilanjutkan dengan sikap peduli dan mau menolong.
Kepekaan menjadi satu bukti hidupnya hati, begitu kurang lebih kata salah seorang ustaz yang saya kenal. Sama seperti manusia yang hidup dengan bernapas, maka hati kita hidup dengan udara-udara cinta yang mendenyutkan kepekaan dan menghidupkan sesosok manusia yang peduli akan sekitarnya.
Betapa dahsyatnya sebuah bus atau kereta dapat menjadi tempat menguji kepekaan manusia. Di dalamnya banyak sekali rupa hati yang tergambar jelas melalui sikap dan cara mereka berinteraksi.
Well, dengan The Man Respectometer saya semakin asik menyaksikkan potret-potret kecil dari setiap lakon hati manusia. Hati mereka dan kita; ada yang berdenyut dengan kepedulian atau kaku karena keegoisan. Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang hidup hatinya :)
Semoga bermanfaat dan menginspirasikan kebaikan.
Tanah Merah,
Pekat Rabu berhujan, 18 Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H