"Emang kenapa?"
"Kamu seharusnya mihak Rades bukannya aku yang udah nyakitin hati kamu."
"Aku masih punya otak yang waras, Dit. Oke aku emang sakit hati jika ternyata akhirnya kamu memilih bersama Rinta setelah putus denganku. Tapi aku juga tidak rela ngeliat orang yang pernah aku sayang harus jatuh terpuruk kayak gini atas apa yang tidak kamu perbuat."
"Tidak apa-apa kok!"
"Kamu punya mimpi yang  besar dan kamu berusaha keras untuk olimpiade Internasional kan? Dan kamu tetap merasa tidak apa-apa dengan semua itu?"
"Ini takdir Prinsa!"
"What a stupid you're! Takdir kamu bilang? Bukannya selama ini kamu suka ngelawan takdir? Dit, aku bukan hanya sehari dua hari kenal kamu, kamu berhasil meraih juara olimpiade nasional bukannya karena kamu tidak sependapat dengan takdir? Takdir bisa kamu rubah kalau kita mau, begitu kan sering kamu bilang padaku?"
"Dan aku tidak mau ngerubah takdir aku untuk saat ini."
"Ngomong apa sih, Dit? Bagaimana mungkin kebenaran itu bakal datang sedang kamu sendiri nolak kedatangannya? Dit, kenapa sih kamu nggak pernah ngijinin aku buat ngertiin jalan fikiran kamu sedikit aja."
"Karena aku tidak mau kamu ngertiin aku!" Radit menggebrak meja kemudian berlalu pergi melangkah meninggalkanku.
Air mataku menetes seiring dengan kata-kata yang baru saja Radit lontarkan, jiwaku menangis hatiku meringis dan otakku tengah mengais-ngais sesuatu di antara tumpukan memori, aku kalang kabut. Aku...