Lain cerita dari salah satu teman saya yang kebetulan bernasib sama dan dia adalah garis keras Jokowi. Mereka sekeluarga, suami, anak dan istri tidak mendapatkan surat undangan atau C6. Hal ini tidak membuat semangat mereka layu sebelum berkembang. Panggil saja dia si Abang A. Kebetulan mereka adalah orang Betawi asli, jadi dengan percaya diri mereka datang ke TPS yang menumpang di tanah  sang kepala keluarga.
Singkat cerita menghadaplah Abang A ke petugas TPS berwenang, mereka meminta agar hak memilih diberikan. Persyaratan juga mereka sudah sesuai, boleh mencoblos dengan syarat Kartu Keluarga dan E-KTP. Tiba-tiba petugas menolak dengan alasan harus ada formulir C6 beres terlebih dahulu. Jika sudah keluar formulirnya, baru dapat giliran. Abang A bertanya ke petugas apa bukti kalau orang tidak ada form C6 harus tunggu giliran? Dia meminta surat dari KPU dan Bawaslu. Dari mereka menjawab SOP-nya seperti itu.
Mendengar jawaban yang tidak beralasan kuat tersebut membuat dia berkata "Mau semua ini gue acak-acak, gue lemparin semua kotak-kotak suara dan bilik suara ??" Petugas TPS bereaksi tampak kaget mendengar perkataannya. Lanjut teman saya "Lu, Lu sudah pada pakai lahan dan tanah tempat gue, kenapa gue didiskriminasi segala ?" Selang 30 menit insiden curahan hati dari seorang yang ditekan di kampungnya sendiri, mereka diperbolehkan memilih. Â Yang didapatkan akibat melakukan protes keras.
Coba bayangkan, kalau banyak orang yang hanya menerima nasib saja. Mau memilih tapi dipersulit bahkan dilarang dengan berbagai macam alasan. Berapa banyak suara yang hilang sia-sia ?
Pengalaman Pribadi ketika Pilkada
Saya juga bercerita sedikit tentang pengalaman saya pada saat Pilkada di Jakarta kemarin. Di TPS saya, entah mengapa tumben ada banyak orang yang duduk-duduk di sekeliling. Saya pikir mereka sedang mengantri, ternyata tidak. Dari wajah-wajahnya juga saya tidak familiar dengan mereka. Selagi menunggu tampak seseorang diintimidasi.
Orang-orang ini berteriak sambil berkata "Eh, Elo pilih Ahok ya, ahahahaa" Intinya mereka menertawakan pencoblos yang baru datang dan tampaknya mereka kenal. Dan ini bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali karena memang antriannya menghabiskan waktu. Sekaligus saya bertemu dengan teman lama, jadi sempat bertukarkabar di tempat ini.
Suasana di sana berisik karena teriakan-teriakan mereka sambil menunjuk-tunjuk. Saya hanya bisa terdiam saja, karena memang tidak mengenal mereka. Waktu itu saya tidak berpikiran untuk merekam kejadian tidak mengenakkan ini.
Pada saat quick count Pilkada menunjukkan hasil bahwa Anis yang menang saya hanya bisa berlapang dada menerima hasil. Sedih memang sakitnya ternyata mirip-mirip patah hati, tapi pikiran tetap harus jernih. Saya tidak sibuk membuat status di media sosial bahwa KPU curang. Menuding bahwa hasil quick count bohong, apalagi berniat menuntut lembaga-lembaga resmi tersebut.
Merasa Dicurangi ? Buktikan !
Entah mengapa pada pemilu saat ini, sikap dari pihak yang kalah di quick count seolah-olah mengatakan lembaga penyelenggara quick count curang sampai menuntut mereka. Membuat tersebesit pikiran saya, ketika Pilkada Jakarta mengapa mereka mempercayai lembaga-lembaga ini ? Helooo, mungkinkah mereka sedang mengalami hilang ingatan atau sedang halu ?