Abad 21 mewakili suatu masa yang penuh dengan tantangan di berbagai segi dan berbagai level. Banyak hal yang mesti diperhatikan disini; turbulensi global, krisis multidimensi, ketidakpastian, berbagai macam keragaman, kompleksitas, ketegangan, perubahan cepat yang tidak diikuti dengan sumber daya yang seimbang sehingga menimbulkan kejenuhan inovasi, dsb. Siapkah kita menghadapinya?
Beralihnya model pemerintahan Turki Ustmani (pemerintahan Islam terakhir) menjadi Republik Turki pada tahun 1924 M yang menyebabkan semakin merosotnya kedigdayaan Islam membuat umat Islam sangat membutuhkan seorang tokoh yang cerdas, berpikiran tajam, berkeyakinan kuat serta memiliki perasaan yang peka dan tekad baja. Disamping itu, tokoh yang ditunggu adalah seorang yang memiliki sensivitas terhadap kondisi masyarakat yang dihadapinya, mampu mengidentifikasikan dan menganalisa apa yang sebenarnya terjadi, serta dapat memberikan solusi atas problematika kontemporer yang sedang dihadapi. Ia haruslah sosok penyabar yang bisa melayani umat kapanpun dibutuhkan dan memberikan arahan jika diperlukan. Sebut saja Nabi Sulaiman as., Rasulullah SAW, Duo Umar, kemudian Sang Penakluk Imperium Romawi terbaik yang pasukannya adalah pasukan terbaik pula. Dimana kita mendapatkan pemimpin yang seperti ini. Akankah kita terhempas globalisasi atau kita yang mengendalikan globalisasi?
Menjawab tantangan masa depan seperti ini, maka terlebih dahulu kita harus berani untuk menjadi bagian dari solusi atas permasalahan global yang tengah melanda umat ini. Karena pilihannya hanya ada dua: terbawa arus atau membangun arus baru. Bila telah memutuskan untuk mengikuti arus maka bersiap-siaplah untuk terhempas sewaktu-waktu sebagaimana negara-negara barat yang sesungguhnya rapuh namun tertutupi dengan topeng hedonisme dan ke-glamor-annya, kini peradaban Barat itu tengah menunggu kejatuhannya. Tapi bila kita menciptakan arus baru, maka bersiap-siap pula untuk mengerahkan seluruh kemampuan untuk membangun peta global (mapping global) yang baru sehingga perfeksionisme Islam menjadi trendsetter peradaban.
Mengikuti arus (mainstream) jelas memang menjadi target dari musuh-musuh Islam untuk menjebak umat Islam mengikuti mereka, “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al Baqarah: 217).
Apa yang menyebabkan umat Islam khususnya di Indonesia menjadi seperti ini. Rijalul Imam, dalam bukunya “Naskah Menyiapkan Momentum Pemuda”, menuliskan faktor-faktor yang menyebabkan keterpurukan bangsa ini adalah:
Pertama, adanya persepsi bahwa keterpurukan dan keterbelakangan ini disebabkan oleh ulah kaum kolonial. Penjajahan telah berhasil memperparah kondisi bangsa dari kondisi kegemilangan ke keterpurukan. Penjajahan baik sebelum kemerdekaan yang berupa penjajahan fisik, hingga pasca terusirnya penjajah, kini penjajahan itu berupa mindset (pemikiran) dan sistemik.
Kedua, ada persepsi bahwa keterbelakangan ini disebabkan oleh internal bangsa kita sendiri. Masyarakat yang tidak terorganisir dengan baik akan menyimpan berbagai kerapuhan didalamnya: kekuatan yang terpecah, memiliki pemimpin secara fisik namun disfungsi kepemimpinan, emosi kolektif yang tidak sama, keragaman ini yang melatarbelakangi terjadinya perpecahan. Keunggulan-keunggulan individu yang tidak terakomodasi dan terorganisir dengan baik hanya akan menyebabkan vakumnya kekuatan itu. Jika saja bangsa ini mampu melalui turbulensi berbagai serangan tersebut kita tidak akan mampu memundurkan peradaban Indonesia ini sejengkal pun, apalagi menambah keterpurukannya.
Faktor yang paling krusial dari dua faktor penyebab keterpurukan bangsa Indonesia adalah faktor internalnya, namun bukan berarti faktor eksternal tidak mempengaruhi. Justru sebaliknya berbagai upaya untuk menyudutkan Indonesia sudah sangat komprehensif dilakukan, mulai dari kebijakan-kebijakan konspiratif yang diterapkan menyengsarakan bangsa Indonesia, penjajahan intelektual dari segala sektor hingga perkara-perkara yang kita sebut Ghowzul Fikr (invansi pemikiran) yang dikenal dengan 3F dan 6S, dimana 3F itu terdiri dari Food (makanan), Fun (Hiburan), Fashion (Cara berpakaian). Sedangkan 5S terdiri dari Song (lagu), Sex, Smoke (rokok), Sport (olahraga), Shopping (berbelanja/konsumerisme), dan science (ilmu pengetahuan).
Rasulullah mengetahui dengan baik kenyataan ini. Beliau bersabda:
“Kelak umat lain akan mengerumuni kalian, bagaikan orang-orang yang lapar mengerumuni hidangan mereka.” Salah seorang sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kita yang sedikit?” Rasulullah menjawab, “Tidak, pada saat itu jumlah kalian banyak, tetapi kalian bagaikan buih dilautan. Allah akan mencabut rasa takut dan hati musuh kalian dan Allah akan mencampakkan wahn dalam hati kalian.” Salah seorang bertanya, “Apakah wahn itu, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Mencintai dunia dan takut akan kematian.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Penyakit wahn ini melanda sangat cepat terlebih ketika dunia semakin mempesona dan segala yang diperbolehkan kian massif. Cinta dunia dan takut mati adalah dua indikator yang melemahkan kekuatan internal bangsa kita. Di samping itu muncul berbagai aliran/golongan-golongan baru yang saling klaim kebenaran dan pembenaran sebagai bagian dari musibah agama, pun dengan himpitan ekonomi dan kehilangan teladan kepemimpinan semakin membuat bangsa terpuruk. Akibat dari cinta dunia yang takut mati inilah menimbulkan penyakit komplikasi pada umat, terjadilah kemiskinan, keterbelakangan, dekadensi moral, korupsi-kolusi-nepotisme, diktatorisme, eksploitasi, dsb.
Tampaknya kita memang harus bergerak lebih cepat dan gesit untuk membangun sebuah terobosan dalam mengaktualisasikan tuntutan kita membangun peta global yang baru dalam agenda perbaikan umat sebelum sampai pada kemurkaan-Nya, “Dan tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami siksa (penduduknya) dengan siksaan yang sangat keras. Yang demikian telah tertulis dalam Lauh Mahfudz.” (QS. Al-Isra: 58).
Allah SWT dalam Kitab-Nya telah menunjukkan kita bagaimana melakukan perubahan. Rijalul Imam menuliskan bahwa kekuatan rekonstruksi itu adalah kembali pada Al-Qur’an, pada beberapa ayat akan kita temukan bahwa ketiga kekuatan yang jika tanpa salah satu diantaranya yang terjadi adalah keterpurukan dan ketidakberwibawaan kekuasaan. Pertanyaannya, siapa sajakah ketiga kekuatan itu. Ketiga kelompok itu adalah penguasa, pengusaha dan militer. Dengan gamblang Al-Qur’an menggambarkan bahwa ketiga kekuatan itu telah mencapai puncaknya pada tiga orang yakni: Fir’aun, Hamman dan Qarun.
Pertama, Fir’aun, seorang penguasa yang absolut dan otoriter sehingga mengklaim dirinya adalah Tuhan dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Kedua, Hamman, seorang panglima militer yang tangguh. Sehingga kerajaan Fir’aun tidak ada tandingannya dengan kerajaan lain. Selain panglima militer, Hamman pun memiliki otak arsitek. Ketika Fir’aun dengan segala kesombongannya menitahkan untuk membangun sebuah bangunan dari tanah liat (Piramida) untuk membangun wacana bahwa Nabi Musa as. adalah pendusta.
“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Hamman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangun yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.” (QS. Al-Qashaash: 38)
Ketiga, Qarun, seorang pengusaha yang kaya raya. Puncak kekuatannya digambarkan Al Qur’an bahwa kunci gudangnya tidak dapat diangkat kecuali oleh banyak pasukan. Kunci gudangnya saja seberat dan sebesar itu apalagi ukuran gudang dan jumlah hartanya.
Ketiga poros tersebut relevan dengan teori Huntington mengenai faktor yang membuat kejayaan Barat atas Dunia Islam:
Pertama, faktor demografis dan teritorial. Penguasaan dunia dengan ekspansi liberalisasi serta klaim kepemilikan wilayah dibawah pengawasan Barat yang disamarkan dengan istilah globalisasi dan modernisasi.
Kedua, faktor militer (pertahanan) melalui penaklukan atas negara-negara yang dianggap memiliki nuklir, jika zaman rezim orde lama kita banyak disuguhi dengan film-film dari Asia Timur maka kini ekspansi film-film sebangsa Hollywood, dsb. yang membuat negara-negara lain merasa imperior atas kedigdayaan barat.
Ketiga, faktor ekonomi melalui kerjasama bisnis dan penyaluran bantuan (hutang) yang pada akhirnya membuat negara peminjam terjerat hutang dan mudah terintervensi.
Yang menjadi catatan penting bagi kita semua sebagai umat Islam adalah bagaimana mengambil alih kewenangan atas ketiga poros itu, melakukan advokasi para pekerja di ketiga poros dan mengisi ketiga poros itu dengan sumber daya muslim yang bercita-cita menghidupkan kebaikan Islam didalamnya. Kini kita tengah berada di persimpangan sejarah, kabut transisi reformasi telah lama ditapaki. Namun belum ada tanda-tanda cahaya matahari turun ke bumi. Nampaknya matahari masih ingin melihat sejauh mana tekad kita untuk menggerus krisis multidimensi menjadi stabilitas multidimensi. Keteladanan sejarah saja tidak cukup, menjelaskan keunggulan ideologi dan kehebatan Islam dimasa lalu saja tidak cukup. Karena itu hanya akan menjadi seperti kisah pengantar tidur, karena yang ada justru segala keterpurukan kita yang mereka saksikan saat ini. Namun bukan berarti The Golden Age yang pernah menjadi prototipe kejayaan Islam dimasa silam tidak akan pernah kembali, Al-Qur’an telah menetapkan aksioma sejarah yang tidak dapat digugat akan kebenarannya, bahwa dimasa depan kitalah yang menjadi ustadziyatul alam (soko guru peradaban), kepastian ini tidak diragukan lagi kebenarannya.
Lantas rekayasa yang bagaimana yang harus kita ciptakan untuk kembali menghadirkan estetika Islam ditengah musim gugur saat ini, memanfaatkan krisis multidimensi menjadi celah untuk menyelesaikan perkara-perkara umat ditengah penyongsongan fase nubuwwah. Lagi-lagi merujuk pada isyarat Allah dalam Al-Qur’an, “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia, menyuruh pada yang ma’ruf mencegah pada yang munkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Kitalah yang ditegaskan Allah sebagai umat terbaik itu, namun janji Allah tidak akan terwujud jika tidak ada sambutan dari umatnya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka,” (QS. Ar Raad : 11).
Allah juga tidak akan membiarkan umatnya merasa terbebani dengan amanah memerangi kebatilan tanpa ada kausalitas sejarah, karena itu Allah memberikan panduan bagaimana caranya merealisasikan terwujudnya kemenangan Islam, Allah memberikan beberapa petunjuk petunjuk yang harus dipegang. Beberapa petunjuk ini sebaiknya kita jadikan program diri kita:
1. Memperkokoh keimanan pada Allah SWT dengan intensif dan menyempurnakan ibadah sesuai dengan yang diperintahkan-Nya. Mulailah pada saat ini juga, mengajak keluarga merasakan perfeksionisme Islam, sampai lingkungan negara.
2. Memperluas wawasan dengan banyak-banyak belajar, berguru pada guru-guru terbaik disekitar kita. “Tuntutlah Ilmu sampai liang lahat.” (Ahli Hikmah)
3. Membangun kemandirian (ekonomi) diri dan umat yang berbasis syariah Islam dan jauh dari sistem ribawi.
4. Melatih diri menjadi yang berkompeten dibidangnya masing-masing dan mengisi segala lini-lini dalam bermuamalah sehingga keindahan Islam dapat dirasakan seluruh umat manusia.
Setiap dari kita adalah pemimpin. Maka tugas kita sekarang adalah melatih diri kita menjadi pembawa perubahan positif dimanapun dan dalam posisi apapun, berada dibarisan depan atau barisan belakang bukan itu yang akan dinilai Allah melainkan kontribusi dalam dakwah inilah yang akan mengukur kesungguhan kita dalam agenda tajdid ini, barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil mencapai-Nya. Inilah kewajiban permanen kita, tujuan diciptakannya kita sebagai Khalifah dimuka bumi.
“Perjalanan dakwah tiada penghujung kita bukan pemula bukan pula penghujung tetapi penyambung. Maka jangan hentikan perjalanan dakwah itu. Teruslah berjalan.”
*untukmu punggawa-punggawa Al-Quds, teruslah bergerak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H