100 hari tanpamu ternyata begitu berat ya? Ini baru 100 hari bu..... Selamanya itu lama, seumur hidupku ntah sampai kapan, tanpa di dampingi seorang ibu juga sangat berat. Ini baru awal untuk segala hal yang aku jalani bu. Pertama kalinya puasa dan lebaran tanpa sosok mu dirumah, lalu bagaimana puasa dan lebaran selanjutnya? Bagaimana aku menjalani hari esok? Bagaimana aku melewati hari hari besar tanpa adanya dirimu dirumah?
100 hari yang dipaksa iklas, Aku berbohong aku tidak baik baik saja setelah perpisahan itu, hampa rasanya kehilangan sosok yang menjadi alasan ku semangat menjalani hari hariku. Sosok yang menjadi patokan bahwa aku harus bisa dan tidak boleh menyerah.
Bohong kalo aku ngga butuh ibu di sampingku, aku hanya terpaksa, aku masih sangat-sangat membutuhkan sosok ibu di setiap langkahku. Aku terpaksa mandiri, karna aku bingung harus pulang dan bercerita kesiapa jika tidak dengan ibu. Aku berpura-pura tegar ketika melihat batu nisan yang tertulis namamu karna aku tidak mau bapak sedih melihatku menangis di depan makam ibu. Tidak, aku hanya pembohong hebat dalam cerita hidupku. Aku membohongi se isi  dunia agar mreka tidak tahu betapa hancurnya diriku setelah kepergianmu.
Rasanya masih sama
Sakitnya masih terasa seperti pertama kali aku mendapati wajah yang selalu tersenyum itu berubah pucat pasi dan kaku. Masih kuingat jelas rasanya jantungku berhenti yang kala itu melihat bibir yang selalu menasehatiku akan kehidupan, tertutup rapat tanpa jeda.
Rasanya masih dan tetap sama.
Rindu yang tak tersampaikan
Pelukan yang tak akan pernah mendapat balasan
Serta sandaranku yang lenyap takkan pernah kembali
Entah dilangit yang mana engkau berada
Masihkah mampu melihat diriku yang sering kali merindukanmu dalam tangisku?
Aku rindu.....
Rasanya ingin mendengar omelan demi omelanmu dibandingkan sunyi yang tercipta semenjak kepergianmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H