Dewasa ini kita mengenal yang namanya fenomena konsumerisme, khususnya sering terjadi di daerah perkotaan. Masyarakat cenderung mengonsumsi atau membeli barang atau jasa secara berlebihan. Masyarakat ingin memiliki semua barang yang mereka inginkan, meskipun barang tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan. Hal ini membuat masyarakat sangat cepat dalam mengganti dan membeli barang (fast consumption).Â
Fast consumption mendorong konsumen menganggap barang baru lebih terkini dan modis. Sehingga tidak jarang kita melihat konsumen yang gonta-ganti pakaian, alat elektronik, perabot, otomatif, atau barang lainnya. Padahal nantinya barang yang tidak dibutuhkan ini akan berakhir di tempat sampah. Tentu hal ini dapat berdampak terhadap peningkatan produksi sampah di seluruh dunia.
Fast consumption sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, terutama adanya sistem perdagangan yang terbaru yaitu perdagangan digital atau e-commerce.Â
Sudah tersedia berbagai macam platform yang bisa dipilih oleh masyarakat sesuai kebutuhannya. Metode penjualannya juga sangat beragam, mulai dari online shop, media social, bahkan penjualan secara langsung (live).Â
Kehadiran e-commerce sangat memudahkan masyarakat untuk mengakses dan membeli barang atau jasa secara online. Dengan kata lain, semua barang bisa dibeli hanya dengan satu sentuhan jari di smartphone.
Fenomena fast consumption salah satunya adalah konsumsi pakaian, karena pakaian selalu memiliki tren mode terbaru. Kita sering menyebutnya dengan fast fashion, ditandai dengan konsumsi yang tinggi, produksi murah, dan pakaian yang berumur pendek.Â
Perubahan tren mode yang cepat ini mendorong masyarakat untuk membeli, mengganti, dan membuang pakaian yang tidak lagi diinginkan. Masyarakat membutuhkan pakaian dengan konsep ready to wear yaitu pakaian yang siap pakai, tersedia secara luas dengan berbagai pilihan warna, ukuran, dan model, mudah didapatkan dan pastinya mengikuti tren mode terbaru.
Demi memenuhi kebutuhan ini, para industri fashion menyesuaikan tren yang ada atau menciptakan tren baru dan berlanjut pada melakukan produksi dalam jumlah besar dengan harga yang lebih murah sehingga menarik bagi konsumen untuk membeli.Â
Adanya kecenderungan dari industri fashion untuk memproduksi barang yang memiliki masa pakai singkat dan kualitas yang rendah. Masa pakai yang dulunya bisa mencapai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, menjadi hanya beberapa bulan atau minggu. Tentu hal ini agar tren mode terus berganti dan produksi terus berjalan.
Setiap tren mode berubah, industri dan konsumen juga akan memperbarui koleksi pakaian mereka, pakaian lama akan dibuang dan menghasilkan jutaan ton limbah tekstil tak terurai di tempat pembuangan akhir yang dapat menjadi kerusakan lingkungan yang serius. Kurangnya  kesadaran akan dampak lingkungan akibat fast fashion ini menjadi masalah besar.
Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) tahun 2021, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil, namun hanya 0,3 juta ton limbah yang didaur ulang. Laporan National Geographic Indonesia 2020, sekitar 8,2 persen dari 18.273 temuan sampah di Jakarta adalah limbah pakaian.