Mohon tunggu...
Go Lisanawati
Go Lisanawati Mohon Tunggu... -

Ingin dan akan terus belajar mengabdikan diri melalui dunia pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Online Child Sexual Exploitation Dalam Perspektif Perundang-undangan Nasional Indonesia

8 November 2012   09:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:45 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bentuk-bentuk Online Child Sexual Exploitation

Eksploitasi seksual terhadap anak dan wanita, dewasa ini menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan. Dari sudut pandang manapun eksploitasi seksual tersebut sangat tidak dibenarkan. Eksploitasi seksual pada anak tersebut semakin hari berkembang semakin banyak dan memprihatinkan. Anak dalam kondisi kekurangmatangan jiwanya, sangatlah membutuhkan perlindungan dari berbagai pihak. Deklarasi Hak Anak yang menjadi instrumen internasional secara prinsip merupakan General Statement atau pernyataan umum mengenai prinsip-prinsip yang diterima oleh internasional. Instrumen internasional berikutnya diwujudkan dalam sebuah Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), yang mengikat secara yuridis dan politis bagi negara-negara pihak. Pada tataran legislasi nasional, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dalam dasar pertimbangannya meletakkan dasar perlindungan dan kesejahteraan bagi anak harus dijamin oleh negara dan harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut sekali lagi karena mengingat bahwa anak adalah merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang tentu saja melekat pula harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara(vide Konsiderans Menimbang Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Namun apa yang terjadi dewasa ini melalui kejahatan-kejahatan yang mengeksploitasi anak secara seksual dan menempatkan anak sebagai korban sesungguhnya menunjukkan bahwasannya terdapat permasalahan dengan konsep perlindungan anak itu sendiri. Menurut laporan dari www.humantrafficking.org mengemukakan fakta sebagai berikut:

Internal trafficking from rural to urban remains a problem in Indonesia, with women and girls exploited in domestic servitude, commercial sexual exploitation, and in forced labor in rural agriculture, mining, and fishing. It is estimated that there are 3.2 million children between age of 10 - 17 years old in Indonesia engaged in employment with some involved in the worst forms of child labor. Some traffickers continue to forge partnerships with school officials to recruit young men and women in vocational programs for forced labor on fishing boats through fraudulent "internship" opportunities.

Bahkan menurut laporan dari Irwanto, Muhammad Farid, dan Jeffrey Anwar menyatakan: "An estimated 30 per cent of women involved in prostitution in Indonesiaare below the age of 18, with between 40,000 and 70,000 Indonesia children being victims of sexual exploitation." Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa tingkat prostitusi anak yang menjadi korban eskploitasi seksual sangatlah tinggi.

Disadari atau tidak angka tersebut akan semakin meningkat mengingat pula dengan kompleksitas jenis eksploitasi seksual yang semakin sering, dan seiiring pula dengan perkembangan teknologi yang dieskploitasi pula oleh orang jahat untuk melakukan perbuatannya dan mencapai apa yang diinginkannya.  Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini menunjukkan percepatan yang sangat luar biasa, yang mengharuskan setiap orang untuk mampu berpacu dengan teknologi itu sendiri. Hadirnya Internet di tengah kehidupan manusia memberikan dampak yang cukup rumit dan signifikan dalam munculnya berbagai jenis kejahatan yang nampaknya baru, walaupun sesungguhnya tidak, hanya saja memberikan dimensi baru dengan adanya keterlibatan teknologi Internet dalam pelaksanaan dan modus kejahatan.

Kejahatan berdimensi baru ini bermanifestasi menjadi suatu kejahatan yang sangat canggih, yang memiliki karakteristik-karakteristik tertentu, dan membutuhkan effort besar di dalam penanganannya mengingat terdapatnya kecanggihan teknologi yang dipergunakan. Kejahatan ini disebut dengan Kejahatan Siber (Cybercrime). Clifford, dalam buku Petrus Golosse, menyatakan bahwa Cybercrime adalah berbeda dengan kejahatan komputer lainnya, karena adanya kecepatan cyberspace sehingga terjadi perubahan mendasar mengenai kejahatan tersebut. Hal tersebut adalah:

1. Karena kecanggihan cyberspace, dalam hal ini dimaksudkan bahwa kejahatan dapat dilakukan dengan cepat

2. Karena cyberspace yang tidak terlihat secara fisik, maka interaksi baik individu maupun kelompok terjadi sehingga pemikiran yang dianggap illegal di luar dunia cyber dapat disebarkan ke masyarakat melalui dunia cyber

3.  Karena dunia cyber yang universal memberikan kebebasan seseorang idenya termasuk yang illegal seperti muncul bentuk kejahatan baru, seperti cyberterrorism

4.  Karena cyberspace tidak dalam bentuk fisik, maka konsep hukum yang digunakan menjadi kabur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun