Pembahasan
Folklor lisan dapat menjadi media strategis untuk menyampaikan ide yang cemerlang. Pada media pendidikan, folklor dikaitkan dengan materi pelajaran. Kebermanfaatan folklor adalah membantu guru dalam menyampaikan materinya. Contoh mata pelajaran yang memanfaatkan folklor lisan adalah mata pelajaran seni dan Bahasa Indonesia. Media pendidikan dimanfaatkan sebagai alat bantu memberikan informasi yang menarik dan kreatif. Jika pembelajaran sudah mencapai titik di mana adanya antusias dari siswa maka fungsi media pendidikan telah tercapai.
Pendapat saya, melalui folklor lisan maka secara langsung kita telah melestarikan budaya lokal turun-temurun dari lelulur. Bukankah ini bagus? Mari kita perhatikan generasi muda sekarang yang mulai melupakan warisan leluhur dari nenek moyang. Jika mereka lupa, maka lama-kelamaan identitas budaya kita akan terancam dan bahkan hilang.
Folklor bukan hanya didapatkan dari pembelajaran di sekolah saja, tetapi lingkungan keluarga pastinya menjadi wadah yang paling dekat dalam folklor lisan. Sebagai contoh ungkapan yang berasal dari suku Batak, yang berbunyi:
Adong sinuan
Adong gotilon
Yang memiliki makna apabila kita berbuat baik, maka kita menerima hal yang baik juga. Ungkapan ini sama dengan ungkapan yang familiar sering kita dengar yakni "ada ubi ada talas, ada budi ada balas."
Berdasarkan ungkapan di atas bisa diperjelas bahwasanya melalui folklor lisan sebagai media pendidikan dapat menumbuhkan sikap baik. Beberapa orang akan menganggap bahwa ungkapan ini akan berlaku bagi hidupnya jika dipraktekkan. Selain media pendidikan terjalankan, ada juga nilai karakter yang terkandung. Ungkapan adat atau daerah jika kita sering simak dan sebarkan maka lama-kelamaan akan mengurangi rasa terancam punah. Folklor ungkapan bisa disampaikan saat proses belajar-mengajar dengan harapan siswa belajar dan menanamkan kebaikan yang terkandung.
Seorang guru bisa mengambil cerita rakyat yang berasal dari daerahnya. Misalnya cerita rakyat 'Terjadinya Danau Toba dan Pulau Samosir'. Cerita rakyat suku Batak ini sangatlah melegenda di provinsi Sumatera Utara. Cerita rakyat ini telah banyak ditampilkan dalam media pembelajaran. Alkisah cerita rakyat ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Toba dan putri dari kayangan. Pernikahan ini akan dilakukan dengan syarat bahwa Toba harus merahasiakan identitas istrinya. Waktu berlalu dan pernikahan mereka menghasilkan seorang anak yang bernama Samosir. Hingga pada suatu hari, klimaks dari cerita rakyat ini adalah Samosir sang anak memakan masakkan titipan ibunya untuk ayahnya. Kejadian ini membuat Toba langsung naik darah dan memaki anaknya. Tanpa sengaja dia pun mengumpat bahwa menyebut Samosir anak ikan. Toba telah melanggar janji dan membuat istrinya kecewa. Berbagai permintaan maaf tidak digubris. Setelah, kepergian putri pulang ke kayangan, maka turunlah hujan yang deras. Lama-kelamaan terbentuklah danau yang disebut 'Danau Toba'.
Cerita rakyat di atas menunjukkan bahwa pentingnya untuk menjaga janji dan tidak melanggarnya. Nasihat kedua adalah janganlah mengumpat sembarangan kepada orang, karena hal tersebut dapat membuat orang sakit hati, marah, dan kecewa.
Media pendidikan yang memanfaatkan folklor lisan seperti ungkapan di atas setelah diberikan kepada siswa, maka kita dapat meminta anak-anak untuk menceritakan cerita rakyat dan ungkapan yang pernah mereka dengar. Pembelajaran ini mengasah keberanian, percaya diri, dan wawasan. Kebermanfaatan folklor lisan adalah media pendidikan terbaik untuk memperkenalkan seni dan bahasa. Untuk pemakaian ungkapan tradisional sebagai media pendidikan dapat digunakan ketika pembelajaran menjelaskan konsep nilai dan norma sosial budaya dalam bidang pelajaran antropologi.