Pandemi covid-19 sangatlah memberikan pengaruh besar bagi keberlangsungan hidup manusia. Banyak elemen masyarakat yang kehilangan pekerjaannnya, karena tuntutan PPKM sebagai upaya pemerintah menekan angka covid-19. Dua tahun lamanya, manusia seakan dipenjara di rumah mereka sendiri. Sekolah, pasar, dan tempat-tempat umum lainnya pun ditutup total sehingga jalanan sepi seperti tidak berpenghuni. Dua kali idul fitri pun tidak semeriah dan seramai dari tahun-tahun sebelumnya.
Pandemi menyebabkan berbagai masalah sosial. Martin S. Weinberg mendefinisikan masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi empat faktor, yaitu (1) faktor ekonomis, seperti kemiskinan dan pengangguran; (2) faktor biologis, seperti penyakit menular dan masalah endemis; (3) faktor psikologis, seperti penyakit syaraf , gangguan jiwa, dan bunuh diri; (4) faktor kebudayaan, seperti perceraian, pelecehan seksual, dan kenakalan remaja lainnya.
Berkat adanya pandemi pun banyak masyarakat kreatif yang memanfaatkan gawainya untuk berbisnis online, menjual berbagai macam makanan, minuman, peralatan rumah tangga, bahkan pakaian. Namun tidak sedikit pula yang menyalurkan hobinya di persimpangan jalan raya dengan mengamen dan menghibur menggunakan kostum tokoh kartun. Bukankah itu dilarang? Ya, memang hal itu sebenarnya dilarang dalam peraturan. Bahkan, kita yang berposisi sebagai pengendara kendaraan bermotor pun tidak diperbolehkan untuk memberi upah pada mereka.Â
Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 31 tahun 1980, terkait larangan meminta-minta di tempat umum karena termasuk kategori tindak pidana ringan (tipiring). Sesuai dengan peraturan ini, dilarang pula bagi pemberi bantuan dalam bentuk apa pun kepada pelaku tersebut.Â
Namun pada kenyataannya, masih banyak yang memberi upah pada mereka. Sekali dua kali diberi, lama-lama menjadi sebuah kebiasaan bagi peminta-minta tersebut. Maraknya pengamen dan sejenisnya ini mungkin saja disebabkan oleh tuntutan hidup mereka yang tinggi dan tidak adanya lowongan pekerjaan, atau bahkan ketidakmauan mereka untuk mencari pekerjaan sehingga memutuskan untuk menjadi pengamen, penghibur, bahkan pengemis.Â
Lantas bagaimana cara kita menyikapinya? Sebagai masyarakat yang taat, sudah sepatutnya kita tidak memberikan upah kepada mereka karena pengamen dan sejenisnya ini sudah termasuk kedalam penyakit sosial, yang artinya penyakit ini harus diberantas agar tidak menjadi suatu hal yang lumrah. Jika kita terus-terusan memberikan mereka upah, itu berarti kita membiarkan mereka untuk terus berada di jalanan.Â
Untuk mengatasinya, mungkin pemerintah bisa membentuk sebuah tempat rehabilitasi bagi para pengamen dan sejenisnya, dan diarahkan menjalani pelatihan keterampilan, seperti menjahit, bertukang (kayu, batu, las), kerajinan tangan, dan home industry lainnya.
Dengan begitu, kita sebagai pengendara tidak akan merasa terganggu dengan adanya pengamen, penghibur, maupun pengemis di persimpangan jalan raya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H