Awalnya ku pikir teman adalah orang orang di dekat kita, seperti halnya teman sekelas.Â
Ku pikir aku mempunyai banyak teman. Teman teman yang baik, teman yang terkadang mengundangku untuk ikut berpergian dengan mereka atau teman yang mengirimiku pesan ajakan untuk membeli sesuatu.Â
Sampai di suatu ketika aku sadar...
Ini terlalu sunyi, aku lelah, aku marah, aku menangis, menangisi waktu waktu sebelumnya.Â
Tiada kehadiran mereka di hidupku. Mereka tidak ada di dekatku.
Ajakan mereka yang dulunya terlihat menyenangkan di pikiranku, kini menjadi menyakitkan.Â
Aku berfikir aku hanyalah pecundang.Â
Orang bodoh, kataku.
Berulang kali ku coba menghilangkan pikiran ini, aku meyakinkan diri kalau mereka teman baik ku. Namun bukan..
Mereka hanya membutuhkan aku ,bukan aku, tapi fasilitas ku.
Itulah yang aku rasakan, jika ad keinginan mereka terhadapku ,mereka akan datang ,jika hal itu telah selesai mereka akan menjauh menganggap ku sebagai orang asing.
Aku mencoba mendekat k mereka di waktu biasa, tapi aku tidak paham ap yang mereka katakan, hal apa yang mereka obrolkan.Â
Saat aku tanya apa yang kalian bahas?? Responnya hanyalah hening, saling melihat tanpa memberi kejelasanÂ
Aku mulai menarik diri ,menjauh dengan perlahan. Tiada yg merasa kehilangan, mereka tetap mendatangiku jika ad yang mereka inginkan, seperti ikut pulang bersama dengan alasan kita searahÂ
Aku memang bodoh, hati dan pikiranku bodoh, aku tidak bisa menolak, aku takut sendirian dan makin kehilangan.
Aku dengan sikap buruk ku menjadi teman sampai lulus di bangku pendidikan.
Sampai akhirnya aku sadar. Teman ku bukanlah mereka yang di sebut sebagai orang² baik itu dengan golongan para orang tua atau keluarga mereka yang seorang guru, juragan, dan orang-orang berkasta di desa ini.Â
Namun teman baikku adalah mereka yang dulu di labeli sebagai anak nakal dan tidak jelas.Â
Memang aku dulu juga mendapat label tersebut dari masyarakat sekolah. karena itu aku mencoba untuk memperbaiki diri dengan dekat ke orang-orang yang berlabel baik tersebut.Â
Harapan ku berteman ke mereka, namun nyatanya sekarang aku berteman baik dengan mereka yang berlabel buruk.
Tapi aku merasa hal itu bukanlah buruk, mereka hanya sekumpulan anak di masa pubertas yang sedikit kehilangan kendali. Mereka tidak seburuk itu.Â
Mereka berusaha menjadi pribadi yang baik. Meskipun label buruk itu tetap menempel menjadi identitas diri. Namun mereka tetap berusaha menjadi individu yang lebih baik dari sebelumnya.
Aku paham akan rasa itu, karena aku pernah di fase tersebut. Aku senang karna aku sadar mereka orang yang baik. Mereka menganggap ku hidup sebagai teman mereka.Â
Di saat aku pergi merantau demi pendidikan selanjutnya. Mereka selalu menanyakan kabarku, mereka tidak melupakanku, mereka kerap kali bertanya "kapan kmu pulang".Â
Bahkan di suatu malam ,mereka datang ke rumah ku. Tidak pernah ad orang baik yg dulu ku anggap teman datang ke rumah dengan tujuan menyambut kepulangan ku.Â
Namun mereka...Â
Orang orang yang berlabel buruk ini lah yang rela datang ke rumahku di malam hari sepulangnya mereka dari bekerja. Dengan membawa camilan mereka dengan berani dan nyata bilang tujuan mereka menyambut kepulangan ku ketika libur semester.Â
Tidak ad kata canggung, jawaban hampa, maupun situasi saling pandang menyembunyikan suatu hal. Yang ada hanyalah kebahagian, euforia dalam kerinduan berkumpul bersama.
Aku senang karena pada akhirnya aku sadar siapa teman ku. Ku harap kalian juga menemukan siapa teman baik kalian yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H