Perkembangan dan distribusi permukiman di Jakrta menunjukkan menguatnya ketimpangan sosial-ekonomi. Rendahnya afordabilitas hunian di pusat kota, khususnya bagi masyarakat kelas menengah, memaksa mereka untuk mencari alternatif permukiman di daerah pinggiran. Akan tetapi, pertumbuhan permukiman di pinggiran ini sering kali tidak terencana dengan baik. Akibatnya tercipta kawasan dengan infrastruktur minim dan akses yang terbatas terhadap fasilitas kota. Keadaan ini semakin diperburuk oleh lemahnya penegakan kebijakan zonasi, keterbatasan koordinasi antar lembaga dan tidak meratanya distribusi infrastruktur dasar (khususnya jalan). Distribusi perumahan yang tidak seimbang ini menjadi salah satu akar dari berbagai persoalan struktural yang menghambat perkembangan kota.
Ketimpangan distribusi spasial ini menciptakan jurang yang lebar antara pusat dan pinggiran. Di pusat, akses terhadap pekerjaan, transportasi publik dan layanan dasar lebih mudah diperoleh, tetapi harga lahan dan hunian yang melambung membuatnya tidak terjangkau bagi mayoritas penduduk. Sebaliknya, di pinggiran, biaya hidup lebih rendah, tetapi penduduk harus menghadapi keterbatasan akses terhadap fasilitas kota dan jarak perjalanan yang jauh. Ketimpangan ini memperkuat segregasi sosial. Kelompok berpenghasilan rendah terkonsentrasi di wilayah yang minim investasi infrastruktur, sementara kelompok berpenghasilan tinggi mendominasi ruang-ruang pusat kota.
Fenomena ini mendorong terbentuknya urbanisasi konsentris, yaitu pola perkembangan dan pertumbuhan kota yang berpusat pada inti perkotaan. Dengan dominasi pusat kota sebagai pusat aktivitas ekonomi dan sosial, wilayah pinggiran berkembang secara sporadis tanpa arah yang jelas dan perencanaan yang matang. Bahkan permukiman yang tumbuh cenderung mengambil ruang di daerah-daerah yang infrastruktur jalannya belum sepenuhnya mapan karena pertimbangan harga lahan yang murah. Kondisi ini tidak hanya mencerminkan ketimpangan sosio-spasial tetapi juga memperkuat ketergantungan pada pusat kota. Penduduk di pinggiran harus melakukan perjalanan panjang untuk mengakses pekerjaan, pendidikan, atau layanan kesehatan.
Urbanisasi konsentris mendorong terjadinya urban sprawl, yaitu meluasnya wilayah perkotaan secara tidak terkendali. Di Jakarta serta area penyangganya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek), fenomena ini telah menyebabkan pengurangan signifikan terhadap lahan hijau. Ruang terbuka hijau semakin berkurang seiring dengan pertumbuhan kawasan permukiman yang padat. Akibatnya, terjadi peningkatan tekanan ekologis, termasuk penurunan kualitas udara dan keterbatasan akses terhadap air bersih.
Selain dampak ekologis, urban sprawl juga melemahkan efisiensi dan efektivitas tata kelola kota. Perjalanan harian yang panjang dari pinggiran ke pusat kota meningkatkan beban transportasi umum, memperparah kemacetan, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Ketergantungan pada kendaraan pribadi akibat belum terpenuhinya sarana transportasi publik di kawasan pinggiran tidak hanya membebani anggaran rumah tangga tetapi juga menimbulkan tantangan besar bagi upaya mitigasi perubahan iklim. Di sisi lain, pengelolaan infrastruktur di kawasan yang terus berkembang menjadi tantangan bagi pemerintah daerah, yang sering kali kekurangan anggaran dan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang bertambah.
Dengan demikian, permasalahan permukiman di Jakarta mencerminkan permasalahan besar urbanisasi yang tidak terkelola. Pola urbanisasi konsentris menjadi akar utama ketimpangan dan ketidakefisienan tata kota. Ketidakmampuan menyediakan perumahan terjangkau di pusat kota memaksa masyarakat kelas menengah migrasi ke pinggiran, memperluas urban sprawl yang memberatkan infrastruktur dan ekosistem kota. Pola ini tidak hanya memperparah segregasi sosial dan meningkatkan ketergantungan pada pusat kota, tetapi juga menghambat tercapainya pertumbuhan kota yang inklusif dan berkelanjutan.
Urbanisasi yang adil dan inklusif di Jakarta membutuhkan pembalikan arah dari pola konsentris yang selama ini mendominasi. Penyelesaian masalah distribusi spasial permukiman bukan hanya soal penyediaan infrastruktur fisik tetapi juga perubahan paradigma dalam memahami kota sebagai ruang bersama yang bersifat berkesinambungan: pusat-pinggiran, antar kelas sosial, manusia-lingkungan dan sebagainya. Jika tidak ditangani dengan bijak, urbanisasi konsentris akan terus meningkatkan ketidakadilan dan ketidakefisienan kota, menjauhkan Jakarta dari cita-cita menjadi kota yang berkelanjutan dan layak huni bagi semua lapisan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI