Mohon tunggu...
Lisa Hendrawan
Lisa Hendrawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Never stop dreaming

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pagi di Sore Hari

22 Oktober 2014   15:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:08 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Selamat pagi”, sapa seorang pemuda berambut keriting.

“Selamat sore”, jawab saya.

“Pagi”, matanya yang bulat besar memandang saya keheranan.

“Sore ini kan sudah jam 2.30”, sayapun protes sambil memperhatikan wajahnya.  Pemuda itu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Ketika saya sedang duduk menikmati kopi dengan beberapa teman, dua remaja putri datang dan menyapa kami dengan mengucapkan “Selamat pagi”.  Nah ini perlu dicari tahu, mengapa sore hari semua remaja di Kampoeng Kids mengucapkan selamat pagi.  Usut punya usut ternyata kata pagi itulah yang diambil sebagai semangat, sesuatu yang positif.  Pagi dimana matahari bersinar, semua mahluk hidup memulai hari yang baru dengan jiwa dan hati yang masih segar, tidak peduli siang dan malam semua sapaan adalah selamat pagi.

Inilah yang terjadi di Sekolah Menengah Atas Selamat Pagi Indonesia (SMA SPI) yang berlokasi di Kampoeng Kidz, kota wisata Batu, Jawa Timur.  Ini satu-satunya Sekolah Menengah Atas yang mempunyai fasilitas asrama dan membebaskan segala macam biaya bagi murid-muridnya, baik uang sekolah maupun biaya tinggal di asrama tersebut.

Dilatar belakangi oleh kepedulian untuk mengentas anak-anak yang tidak mampu tetapi ingin belajar, maka Julianto Eka Putra yang akrab dipanggil Ko Jul, mendirikan SMA SPI pada tahun 2007 dengan jumlah murid 20 orang.  Sebelum lulus tahun 2010, Ko Jul menanyakan apa yang akan dilakukan oleh para siswa dan siswi setelah mereka lulus.  Jawaban mereka mengharubirukan suasana, dengan cucuran air mata ada yang menjawab akan kembali menjadi tukang becak, kembali ke panti asuhan dimana dia dulu berasal, bahkan ada yang tidak tahu akan kemana dan tinggal dimana karena memang dulunya anak jalanan.

Mendengar kisah dari mbak Risma, selaku ibu asrama, dada saya sesak dan mata basah, terbayang bagaimana pilunya para siswa dan siswi, seharusnya mereka bangga berhasil lulus SMA, tetapi kenyataan menyadarkan mereka bahwa lulus SMA tidak akan mengubah keadaan.  Mereka akan kembali menjalani apa yang telah mereka tinggalkan 3 tahun sebelumnya, kembali pada realita kehidupan masuk ke dalam kepompong dan bukannya terbang sebagai kupu-kupu cantik menikmati madu dari bunga-bunga yang bermekaran.

Isak tangis mereka membuat Ko Jul memberikan pendampingan dengan memulai usaha kecil-kecilan.  Pada tahun 2009 mereka membuat kripik pisang yang dititipkan pada sentra oleh-oleh di kota Batu, tetapi usaha ini tidak mencukupi sehingga dikembangkan lagi menjadi wisata edukasi untuk anak-anak dari balita hingga usia Sekolah Dasar.  Ada 13 jenis usaha yang dijalankan oleh para siswa dan siswi di sini, termasuk outbond, kantin dan mengelola penginapan sederhana (semacam dorm) dengan biaya murah.

SMA SPI setiap tahunnya hanya dapat menampung 45 siswa dari berbagai pelosok tanah air tanpa memandang suku dan agama, padahal formulir yang masuk sekitar 200 lembar.   Syaratnya untuk masuk ke SMA SPI ada tiga yaitu yatim piatu dan tidak mampu, yatim dan tidak mampu serta piatu dan tidak mampu.  Nilai raport tidaklah dilihat, yang dilihat hanyalah tidak mampu itu tadi.  Karena Indonesia terdiri dari banyak pulau dan kepadatan penduduknya beragam, maka supaya adil dibuatlah prosentase dalam penerimaan siswa, begitu juga dengan agama.  Dari 10 siswa yang diterima, 4 haruslah beragama Islam, 2 Kristen, 2 Katolik, 1 Budha dan 1 Hindu.

Dengan latar belakang para siswa dan siswi yang beragam, peraturan di asrama dan SMA SPI juga harus dipatuhi dan kalau perlu siswa dikeluarkan dari tempat ini.  Contohnya Dharis, 23 th, ex tukang becak dari Sumenep, angkatan pertama SMA SPI.  Sudah berkali-kali dapat surat peringatan dan hampir dikeluarkan karena melanggar peraturan tidak boleh merokok dan minum-minum, bahkan minum pil segala macam.  Sampai suatu hari Dharis menemukan titik balik dalam hidupnya.  Semua hal negatif ditinggalkan.  Setelah lulus SMA Dharis tetap memilih tinggal di tempat ini, dia melihat bagaimana pengorbanan orang-orang yang membinanya di tempat ini, pengorbanan dalam hal materi dan tenaga hanya untuk mereka yang tinggal disana.  Selain itu banyak pelajaran yang didapatnya dari bermain saham, berdagang, dll.  Prestasinya juga dinilai oleh para pendidik dan membawanya ke Singapura, Macau, Hong Kong, Shenzhen dan berlayar dengan Royal Caribean.  Kini profesinya sebagai Head Operasional Fisik.  “Cita-cita saya yang pertama ingin mengirim nenek naik haji karena nenek yang mengasuh saya dari kecil, yang kedua membuatkan rumah untuk ibu”.

Olfa, gadis manis yang terpaksa tinggal di hutan bersama ibu dan saudara-saudaranya karena kerusuhan di Poso, adalah angkatan kedua SMA SPI.  Olfa juga telah lulus tetapi masih betah tinggal di Kampoeng Kidz, belum ada keinginan untuk pergi dari sini.  “Bagi saya, tempat ini juga milik saya, saya ikut angkut-angkut batu membangun jalan karena dulu belum ada jalannya disini.  Saya menabur disini dan saya menuai disini juga”, katanya.  Olfa ikut dalam Tim Show yang terdiri dari 20 remaja.  Tim yang menggelar pertunjukan seni tari dan telah sering tampil di media televisi.  Hasil kerja kerasnya telah dapat mendatangkan ibu, nenek dan adiknya dengan pesawat dari Poso ke Malang dan berpesiar di kota Batu.  Seperti Dharis, Olfa juga sudah melangkahkan kakinya ke negara-negara tetangga, tak pernah dibayangkan bahwa dia akan bisa seperti ini.

Berbeda dengan Dewi yang masih duduk di kelas 3 SMA SPI, dia bersama adiknya ditinggal oleh ayahnya di terminal bis hingga petang, ayahnya yang pamit ke rumah teman sebentar tidak pernah dilihatnya kembali hingga kini.  Itu terjadi ketika Dewi masih duduk di bangku kelas 1 SMP.  Meskipun senang bersekolah dan tinggal di asrama Kampoeng Kidz, Dewi masih ingat ibu dan adik-adiknya, rindu ini masih menggulirkan air mata di pipinya.  Dewi masih belum dapat memutuskan apa yang akan dilakukan setelah lulus SMA nanti.

Cinta tanpa syarat yang diberikan oleh para pendidik, dan pembimbing membuat mereka juga bertoleransi dan berbaur dengan penuh kasih.  Mereka yang telah lulus atau duduk di kelas yang lebih tinggi juga sebagai pendamping dan kakak bagi siswa-siswa yang baru masuk.  Bagaimana bila terjadi cekcok dengan sesama teman?  Hal ini diselesaikan sebelum matahari terbenam, sehingga perseteruan tidak berlanjut menjadi dendam.

SMA SPI membuka mata saya, bahwa ternyata ada sekolah yang benar-benar gratis apalagi dengan asramanya dan bukan hanya sekedar memberikan pendidikan hingga tamat tetapi memberi skill sebagai bekal kelak bila mereka melangkahkan kaki keluar dari Kampoeng Kidz untuk membangun dan mengembangkan karirnya masing-masing.  Semoga impian adik-adik kita ini dapat terwujud dan mereka bisa menjadi generasi penerus yang mempunyai hati, jiwa dan pikiran yang sehat.

*Semua foto yang ditampilkan sudah dengan ijin untuk publikasi dari pihak Yayasan SMA SPI dan semua yang terlibat disini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun