Setelah itu kami menuju ke Benteng Liya Togo. Â Tiba di tempat ini kami benar-benar bingung tidak tahu apa yang mau dilihat. Â Ada masjid Mubarok, masjid tua yang bersejarah tentu saja. Â Masjid ini sebenarnya bernama Masjid Agung Keraton Liya Togo. Â Masjid ini peninggalan dari Kerajaan Buton, dikelilingi oleh batu-batu karang. Â Di sebelah kiri depan masjid ada kuburan yang katanya adalah kuburan dari raja dengan batas batu-batu karang juga dan di sepanjang batu karang terdapat pohon-pohon kamboja yang besar-besar sedang berbunga. Di sebelah makam terdapat benteng, katanya ada meriam di dalam benteng. Â Ternyata ketika kami naik ke benteng, meriamnya sudah tidak ada hanya tersisa satu pohon beringin tua yang mengangguk-angguk sedih. Â Kemana meriamnya? Â Ada yang bilang hilang, ada yang bilang sudah dijual. Â Tempat ini seharusnya bisa bercerita banyak sayang sekali sopir yang menemani kami tidak tahu apa pun tentang Benteng Liya Togo. Â Dia hanya tahu bahwa penduduk di situ adalah keturunan raja Buton. Â Saya sarankan bagi Anda yang ingin berkunjung ke tempat ini, bawalah pemandu wisata.
Dari sini kami menyempatkan diri ke pantai Cemara. Â Tidak ada yang dapat diunggulkan di tempat ini. Â Lalu kami beralih ke puncak Toliamba, menikmati matahari terbenam sambil minum kopi dan makan pisang goreng yang dapat dibeli dari satu-satunya pedagang di situ.
Malam hari ini kami menginap di Patuno Resort. Â Tempat ini jauh dari mana-mana. Â Tidak punya tetangga. Â Dan dari jalan besar ke dalam resort tidak terlalu dekat, apalagi ke cottage-cottagenya. Â Rupanya tidak terlalu ramai dengan tamu, kami yang memesan kamar standard di upgrade ke tipe deluxe. Â Kamarnya cukup luas dengan kamar mandi yang luas juga dan balkon menghadap ke laut, yang ketika kami tiba dalam keadaan gelap gulita kami tidak tahu bahwa teras menghadap ke laut. Â Kamarnya menggunakan lampu pijar begitu juga dengan lampu di jalanannya, terus terang saya tidak suka dengan suasana remang-remang begitu untuk tinggal di sebuah hotel atau cottage. Â Susah mencari barang-barang dalam ransel atau koper. Â Kopi tidak tersedia, hanya ada teh dan gula, shampoo dan sabun cair ada tetapi tidak bisa keluar ketika dipencet. Â Telepon kamar mati dan suasana yang remang-remang begitu membuat kami harus bolak balik dari kamar ke resepsionis bila perlu sesuatu bahkan untuk mencari tombol lampu. Â Kami mendapat kamar nomer 9, anak tangga untuk masuk ke dalam cottage jaraknya terlalu jauh. Â Kamar ini sangat tidak cocok untuk orang yang sudah berumur, bermasalah dengan lutut (kaki), dan anak-anak. Â Semut juga riang gembira merayap di mana-mana.
Setelah mandi dan berbenah kami tertidur lelap karena semalaman belum tidur. Â Besok harus bangun pukul 7 dan berangkat ke pulau Binongko. Â Pulau terjauh di Wakatobi.
Bersambung ke Part 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H