Mohon tunggu...
Lisa Hendrawan
Lisa Hendrawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Never stop dreaming

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Wakatobi Mendunia tapi Miskin Informasi - Part 1

23 September 2016   21:36 Diperbarui: 23 September 2016   21:41 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah itu kami menuju ke Benteng Liya Togo.  Tiba di tempat ini kami benar-benar bingung tidak tahu apa yang mau dilihat.  Ada masjid Mubarok, masjid tua yang bersejarah tentu saja.  Masjid ini sebenarnya bernama Masjid Agung Keraton Liya Togo.  Masjid ini peninggalan dari Kerajaan Buton, dikelilingi oleh batu-batu karang.  Di sebelah kiri depan masjid ada kuburan yang katanya adalah kuburan dari raja dengan batas batu-batu karang juga dan di sepanjang batu karang terdapat pohon-pohon kamboja yang besar-besar sedang berbunga. Di sebelah makam terdapat benteng, katanya ada meriam di dalam benteng.  Ternyata ketika kami naik ke benteng, meriamnya sudah tidak ada hanya tersisa satu pohon beringin tua yang mengangguk-angguk sedih.  Kemana meriamnya?  Ada yang bilang hilang, ada yang bilang sudah dijual.  Tempat ini seharusnya bisa bercerita banyak sayang sekali sopir yang menemani kami tidak tahu apa pun tentang Benteng Liya Togo.  Dia hanya tahu bahwa penduduk di situ adalah keturunan raja Buton.  Saya sarankan bagi Anda yang ingin berkunjung ke tempat ini, bawalah pemandu wisata.

Dari sini kami menyempatkan diri ke pantai Cemara.  Tidak ada yang dapat diunggulkan di tempat ini.  Lalu kami beralih ke puncak Toliamba, menikmati matahari terbenam sambil minum kopi dan makan pisang goreng yang dapat dibeli dari satu-satunya pedagang di situ.

Malam hari ini kami menginap di Patuno Resort.  Tempat ini jauh dari mana-mana.  Tidak punya tetangga.  Dan dari jalan besar ke dalam resort tidak terlalu dekat, apalagi ke cottage-cottagenya.  Rupanya tidak terlalu ramai dengan tamu, kami yang memesan kamar standard di upgrade ke tipe deluxe.  Kamarnya cukup luas dengan kamar mandi yang luas juga dan balkon menghadap ke laut, yang ketika kami tiba dalam keadaan gelap gulita kami tidak tahu bahwa teras menghadap ke laut.  Kamarnya menggunakan lampu pijar begitu juga dengan lampu di jalanannya, terus terang saya tidak suka dengan suasana remang-remang begitu untuk tinggal di sebuah hotel atau cottage.  Susah mencari barang-barang dalam ransel atau koper.  Kopi tidak tersedia, hanya ada teh dan gula, shampoo dan sabun cair ada tetapi tidak bisa keluar ketika dipencet.  Telepon kamar mati dan suasana yang remang-remang begitu membuat kami harus bolak balik dari kamar ke resepsionis bila perlu sesuatu bahkan untuk mencari tombol lampu.  Kami mendapat kamar nomer 9, anak tangga untuk masuk ke dalam cottage jaraknya terlalu jauh.  Kamar ini sangat tidak cocok untuk orang yang sudah berumur, bermasalah dengan lutut (kaki), dan anak-anak.  Semut juga riang gembira merayap di mana-mana.

Setelah mandi dan berbenah kami tertidur lelap karena semalaman belum tidur.  Besok harus bangun pukul 7 dan berangkat ke pulau Binongko.  Pulau terjauh di Wakatobi.

Bersambung ke Part 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun