Mohon tunggu...
Lisa Hendrawan
Lisa Hendrawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Never stop dreaming

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

30 Hari Backpackeran dari Malaysia Hingga Vietnam – Bagian III

5 April 2014   17:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Phnom Penh dan Siem Reap bagaikan bumi dan langit.   Kota Siem Reap kesannya muram, itu menurut perasaan saya lho ya, meski pun hotel-hotel mewah bertaburan di mana-mana.  Memang di kawasan Pub Street pada malam hari gegap gempita dengan gemerlap lampu, musik yang berdentum-dentum di restoran-restoran dan hiruk pikuk para wisatawan dari berbagai mancanegara memenuhi tiap sudut jalan.  Siem Reap mungkin ingin menyatakan bahwa dirinya yang sudah tua itu sarat dengan sejarah sejak puluhan abad yang lalu.  Tanpa adanya Angkor Wat, kota ini pasti redup dan mati.

Penduduk aslinya bekerja di ladang pertanian, sedangkan sebagian besar pelaku bisnis untuk pariwisata adalah pendatang yang bekerja sebagai sopir tuktuk, menyewakan mobil, buka hotel dan restoran.  Itu pun baru dimulai antara 10-6 tahun belakangan ini saja.  Kalau saya amati wajah mereka, penduduk asli seperti wajah pribumi di Jawa dan ada wajah dengan etnis Tionghoa, tetapi mereka telah berbaur dan menamakan diri mereka bangsa Kamboja.

Pnom Penh yang berjarak 361 km dari Siem Reap laksana remaja yang bersolek.  Suguhan pariwisatanya adalah Royal Palace dengan Silver Pagoda, Wat Botum, Wat Phnom, National Museum semua ini mudah dilakukan dengan jalan kaki saja dari seputaran tempat hostel saya tinggal yaitu di daerah Sisowath Quay.  Berjalan-jalan di trotoar sebelah Tonle Sap River juga nyaman.  Trotoar yang lebar ini diberi fasilitas alat-alat olah raga meski pun tidak yang hebat-hebat.  Ada tempat duduk bagi yang ingin sekedar menikmati sore hari dengan santai, ngobrol bersama teman, atau membaca buku.  Di trotoar ini juga ada yang senam aerobik, terbuka untuk umum, bahkan saya lihat ada dua remaja ‘bule’ yang masih menggendong ransel ikutan senam sambil motret dengan handphonenya, mungkin mereka sedang lewat dan tertarik ikut serta.  Saya pun ingin ikut, tapi nggak lucu kan kalau leher digantungi kamera DSLR, dan jingkrak-jingkrak.

Ini satu hal yang saya idamkan di negara kita, yaitu bisa jalan santai di trotoar, bisa duduk-duduk sambil membaca buku di alam terbuka dinaungi pohon-pohon besar.  Penjaja minuman juga ada, mangkal saja tidak sliweran.  Dan satu hal lagi, tempat seluas itu kok ya bersih, tidak ada sampah tisue, kantong plastik, puntung rokok, dll.  Orang-orang yang lalu lalang tidak usil satu sama lain.  Pake celana pendek dengan tank top tidak ada yang melototin.

Lalu lintas di Phnom Penh cukup padat terutama sepeda motor yang merajai jalanan.  Penyeberang jalan boleh menyeberang dimana saja, tidak harus di zebra cross.  Rencananya saya juga ingin mengunjungi Russian Market, tetapi agak jauh dari hostel tempat saya menginap dan lagian mirip dengan Pshar Thmei.  Russian Market pengunjungnya kebanyakan orang-orang ‘bule’ dan yang dijual barang-barang branded tetapi keasliannya tidak dijamin.  Pshar Thmei adalah pasar rakyat, gedungnya berbentuk kubah yang sangat besar.  Isinya segala macam, mulai dari buah, bunga, barang elektronik, perhiasan, pakaian, tas dari yang bermerek tapi palsu hingga barang-barang buatan lokal.

Keesokan harinya setelah sarapan saya dijemput di hostel oleh perusahaan bis yang saya pesan untuk menuju ke Ho Chi Minh, Vietnam.  Nah ini juga salah satu hal yang menarik.  Penumpang tidak perlu bersusah payah mencari transportasi ke pool bis.  Bukan hanya saya yang dijemput tetapi juga wisatawan-wisatan lain dari berbagai perusahaan bis yang mereka pakai.  Setelah sarapan di hostel tinggal duduk manis saja menunggu jemputan.

(* CF card rusak, baru tahu waktu transfer ke laptop, sehingga banyak foto-foto di Phnom Penh yang tidak bisa dibuka)

Jarak Phnom Penh ke Ho Chi Minh adalah 342 km.  Berangkat pukul 08:45 dan berhenti makan siang pukul 12:05 (penumpang bayar sendiri).  Ternyata restorannya dekat sekali dengan border Kamboja.  Tiba di border, semua penumpang harus turun dari bis untuk urusan imigrasi keluar dari Kamboja, passport yang di awal perjalanan sudah dikumpulkan oleh kenek bis yang cantik dikembalikan kepada masing-masing penumpang.  Rupanya ketika semua penumpang sedang makan, si kenek sudah ke border untuk urusan ini.  Jadi penumpang tinggal menuju loket untuk dicocokkan wajah dan passport, dicap dan selesailah sudah.

Setelah itu kami naik bis berjalan beberapa meter lalu berhenti lagi.  Kali ini semua barang bagasi harus keluar dari perut bis.  Penumpang dengan barang bawaannya masing-masing berjalan menuju ke Mocbai, perbatasan Vietnam.  Kini resmilah kami semua menjadi tamu di negara Vietnam dan dua jam kemudian tibalah kami di Ho Chi Minh.

Yang tidak sabar saya nantikan di Ho Chi Minh adalah melihat hostel yang saya booking yaitu model kapsul.  Hostel ini berlokasi di sebuah ruko 6 lantai di daerah Phuom Pham Ngu Lao, surganya makanan dan backpacker hostel.  Ketika check in dan akan diantar ke kamar, sepatu harus dilepas dan dimasukkan ke dalam kotak penyimpanan dengan nomer kapsul yang saya tempati yaitu no. 164, sebagai gantinya di dalam kotak itu ada sepasang sandal plastik.  Selain itu saya diberi keranjang plastik yang berisi handuk, gelas plastik dan sikat gigi.  Kalau check out keranjang dan isinya dibawa kembali ke resepsionis (kecuali sikat gigi).  Penghuni perempuan dan laki-laki beda lantai.

Keluar dari lift satu lantai itu terbagi dua, sebelah kiri untuk kapsul-kapsul dan locker, sebelah kanan untuk kamar mandi dan toilet.  Petugas yang mengantar saya menunjukkan nomer locker (sama dengan nomer kapsul dan tempat sepatu di resepsionis) sebagai tempat penyimpanan barang-barang saya, lalu saya diminta untuk memencet nomer (4 angka) di pintu locker yang digunakan sebagai password untuk membukanya.  Setelah rekonstruksi buka tutup locker berhasil, dia mengantar ke kapsul saya dan menjelaskan ini itu.

Malam hari setelah jalan-jalan dan kembali ke hostel, saya tidak bisa membuka locker, password sudah benar, dan setelah percobaan yang ketiga kalinya, terdengar bunyi beep yang berulang-ulang sampai saya takut membangunkan penghuni lainnya.  Buru-buru saya lapor ke resepsionis.  Petugas ikut saya sambil membawa kunci khusus.  Saya diminta memasukkan password … eh sekali coba bisa.  Rupanya saya salah memencet locker orang lain karena gelap dan tidak terlihat nomer lockernya, untung tidak ada yang neriakin maling.  Saya malu tapi di sisi lain saya jadi yakin bahwa tidak semudah itu membobol locker yang ada.

Hotel kapsul ini sangat saya rekomendasikan bagi mereka yang bepergian sendirian, murah, bersih, nyaman dan mudah mencari makanan.  Pakai ac pula.  Per malam tidak sampai 90 ribu rupiah itu pun saya mengambil kelas bisnis yang lebih mahal dari kelas ekonomi yang tidak sampai 80 ribu rupiah.  Yang murah bentuknya memanjang lorongnya sempit karena di hadapannya terdapat locker, sedangkan yang mahal bentuknya melebar dan lorong antara kapsul lebih lebar karena tidak terdapat locker.

Ho Chi Minh sama semrawutnya dengan Jakarta, sepeda motor, mobil, ruwet di persimpangan lampu merah tapi tidak ada yang gaya nyetirnya meliak-liuk mencari sela yang ada.  Untuk menyeberang jalan diperlukan beberapa nyawa sangking susahnya, pengemudi tidak perduli.  Tetapi kalau sudah sampai di trotoar … duh nyaman … trotoarnya lebar sekali, kok tidak ada sepeda motor yang melaju di trotoar ya?

Di beberapa tempat di Ho Chi Minh selalu menyediakan semacam hutan kecil, pohon-pohon besar menaungi jalan setapak, tempat duduk banyak bahkan ada beberapa gazebo tempat orang-orang berdansa dengan pemutar lagu, yang berdansa segala usia, gak ada yang nonton, mungkin sudah biasa atau karena penduduknya tidak reseh dengan apa yang dilakukan orang lain.

Yang membuat saya salut lagi adalah ketika saya membeli buah mangga yang telah dikupas tetapi masih ada bijinya dan dibungkus plastik dan minuman kalengan dari pedagang lain, selesai makan dan minum saya celingukan mencari tempat sampah, tiba-tiba si pedagang mangga meminta sampah saya, lalu dikumpulkan dengan sampah-sampahnya yang lain dan disimpan di keranjangnya.  Saya akhirnya mengamati para pedagang yang lain, mereka juga melakukan hal yang sama terhadap para pembeli makanan dan minuman di situ.

Saya jadi teringat ketika masih kecil, dua tetangga di lingkungan rumah ibu saya berantem gara-gara ‘sampahmu ada di depan tong sampahku’.  Saya tidak tahu penyelesaiannya karena dipanggil pulang dan diomeli ibu untuk tidak lagi menonton orang berantem.  Kalau dipikir sebenarnya lebih logis kalau sampah lu dan sampah gue bersatu dalam kesadaran agar lingkungan bersih dan damai di bumi ini.

Ketika mencari tour ke Cu Chi (baca Gu Chi) tunnel dan Chao Dai, maunya hanya Chao Dai tapi tidak ada tour yang hanya ke satu tempat itu saja.  Saya berkenalan dengan David, pemilik sebuah tour, dari ngobrol-ngobrol ternyata David ketika masih menjadi mahasiswa di Australia pernah bergabung dengan Unesco untuk membantu pengungsi Vietnam di Pulau Galang.  Tidak heran kalau bahasa Inggrisnya lancar dan bisa bahasa Indonesia sedikit-sedikit.  Gara-gara ngobrol panjang lebar dengan David, saya kemalaman untuk mencari tour lain sebagai pembanding yang ternyata tour milik David lebih mahal beberapa puluh ribu VND.

Jarak dari Ho Chi Minh ke Cu Chi tunnel 120 km tetapi ditempuh dalam waktu 3 jam melalui jalan yang tak ramai, karena adanya speed limit 40 km per jam dan terutama bila memasuki daerah yang ada pemukiman penduduk.  Cu Chi tunnel mulai dibangun tahun 1948 berawal dari rumah ke rumah dan akhirnya merambat hingga ke propinsi, panjangnya 250 km.

Peserta tour juga diajak masuk ke terowongan yang sempit ini untuk merasakannya.  Tapi tentu saja jaraknya hanya pendek saja, itu pun sudah membuat keringat bercucuran karena sempit, gelap dan panas.  Bagaimana tentara Vietkong dulu bisa tinggal di dalam tanah bertahun-tahun dan bertahan.  Bagaimana mereka mendapatkan udara untuk bernafas?  Ternyata dari rumah rayap yang banyak terdapat disana.  Survival mereka sungguh hebat.  Tempat perlindungan ini terdiri dari beberapa lantai ke bawah, bahkan ada rumah sakitnya segala.  Orang-orang Vietkong menggunakan sandal buatan sendiri yang mengecoh tentara Amerika karena sulit menentukan jejak, apakah pengguna sandal itu berjalan ke depan atau ke belakang.  Bentuk sandal dan solnya sama dari depan ke belakang.

Kami juga melihat berbagai jebakan yang dibuat oleh Vietkong untuk tentara Amerika, bahkan ada foto seorang tentara Amerika yang masih muda sebagian tubuhnya masuk ke dalam salah satu jebakan ini.  Peserta tour juga boleh mencoba menembak dengan memilih berbagai senjata yang ada disitu setelah membeli peluru.

Tour ini membuat saya sesak nafas.  Manusia dan manusia yang sebelumnya tak pernah kenal atau punya urusan apa pun saling membunuh hanya karena berbeda ideologi, kekuasaan, dan egoisme.  Bayi, anak-anak, perempuan, laki-laki yang tak bersalah akhirnya ikutan menjadi korban demi harga diri negara-negara yang bertikai.  Hasilnya apa sih?  Kenapa gak santai-santai aja menikmati keindahan alam, kebudayaan dan ngobrolin yang indah-indah saja?

Bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun