[caption id="attachment_365785" align="aligncenter" width="576" caption="Cut Rindu Mutia alias Rindu Ade berpose dengan rompi ACT dan MRI atau Masyarakat Relawan Indonesia. (Foto: Lisdiana Sari)"][/caption]
Lewat tengah malam, di kala banyak orang tengah tertidur pulas, telepon Rindu Ade tiba-tiba berdering. Dari seorang perempuan. Tak ada angin, tak ada hujan, perempuan tersebut menyatakan kepada Rindu, bahwa dirinya akan melakukan bunuh diri. Rindu kaget bukan kepalang menerima telepon tersebut. Setelah sang penelepon diajak berbicara, Rindu makin tahu persoalan yang tengah membelit dan alasan ingin bunuh diri. Problemnya tidak jauh dari putus cinta, patah hati.
Sambil menyimak apa yang disampaikan sang penelepon, Rindu coba menasehati dan memberi masukan, agar yang bersangkutan terlebih dahulu menunaikan shalat sunat tahajud. Berpasrah diri, memohon diberi kesabaran dan hidayah Allah SWT. Setelah sang penelepon melaksanakan semua saran Rindu, ternyata keinginan untuk bunuh diri masih saja memuncak. Penuh sabar Rindu kembali memberi nasehat. Salah satu nasehatnya adalah lakukan menulis. Tulis apa saja yang tengah dirasakan, dan berkecamuk didalam dada maupun pikiran sehingga sampai memutuskan berniat bunuh diri. Tapi, Rindu memberi saran, jangan menulis menggunakan gadget, tapi menulislah di selembar kertas. Karena kalau menulis di kertas, bisa ditambahkan gambar beraneka ragam, bisa dicorat-coret, dan bisa dihapus. Sehingga akan muncul apa yang namanya soul healer atau penyembuhan jiwa melalui tulisan.
Kali lain, sebagai aktivis sosial, Rindu pernah pula malam-malam bergegas menuju satu rumah sakit. Ia bertekad menemui sejumlah anak kecil yang tengah menjalani perawatan. Kehadiran Rindu begitu diharapkan, karena sebagai pegiat sosial, ia ikhlas untuk berbagi waktu demi menghibur anak-anak yang tengah diopname itu, agar supaya bisa beristirahat dan segera tidur. Dalam setiap helaan lelah atas setiap pengabdian sosialnya ini, Rindu justru merasa dirinya patut beryukur karena nikmat sehat yang dikaruniakan Allah, dan hikmah berbagi kepada sesama.
[caption id="attachment_365786" align="aligncenter" width="341" caption="Rindu Ade, aktivis sosial, motivator dan inspirator menulis sebagai soul healer, trauma healing. (Foto: Lisdiana Sari)"]
Menulis sebagai Soul Healer
Nama Rindu Ade, semakin berkibar di blantika tulis-menulis negeri. Gadis lajang yang kini menjadi Super Volunteer di ACT atau Aksi Cepat Tanggap milik Dompet Dhuafa Republika ini memang trengginas, cerdas dan bernas dalam menuangkan tulisannya. Tengok saja blog yang sempat dikelolanya selama enam tahun---rinduku.wordpress.com---, tercatat berhasil meraih follower sekitar 2 juta pengikut. Sebuah pencapaian yang luar biasa! Rindu sendiri tak pernah menyangka blog dengan tagline Perempuan di Kebun Hikmah itu bakal mendulang pengikut yang meruyak.
Usut punya usut, ternyata rahasia mengapa blog Rindu begitu rimbun pembaca, karena muatannya yang penuh manfaat dan inspirasi. Awalnya, Rindu menuliskan kegalauan hatinya. Menyusul kisah memilukan lantaran rencana pernikahannya, pada 2010, yang terpaksa gagal total dengan seorang pria pujaan hati. Kegagalan pernikahan ini dikarenakan Rindu menderita jatuh sakit, hingga terpaksa menjalani pengobatan ke negeri jiran. Jadilah kegagalan rencana pernikahan itu membuat media blog sebagai etalase bagi Rindu, untuk menuangkan segala kepedihan, kegundahan, sekaligus kemarahannya. Semua yang berkecamuk lantaran patah hati ia tuliskan dalam blog apa adanya. Tak dinyana, ternyata inilah momentum Rindu menjalani titik balik dalam hidupnya. Ternyata, justru itu yang menjadikan blog Rindu semakin membuat pembacanya kepincut. Tulisan Rindu selalu dinanti, dikomentari, bahkan di-share sehingga menjadi lebih bergaung lagi. Meski belakangan sungguh disayangkan, blog itu terpaksa harus dihentikan. Rindu berpamitan dengan seluruh followers-nya, sembari menginformasikan bahwa dirinya tengah mempersiapkan bermigrasi ke ‘rumah’ baru, yang lebih menginspirasi dan penuh hikmah.
“Saya menulis di blog mulai tahun 2009. Waktu itu sedang dalam keadaan patah hati, galau. Toh saya berpikir, tulisan-tulisan itu hanya akan dibaca oleh saya sendiri. Makanya, apa saja saya tulis, suka-suka dong. Tapi ternyata, lama-kelamaan di Indonesia ini kelihatannya semakin banyak orang patah hati dan galau. Akibatnya, ketika orang search di Google dan mengetik ‘patah hati’, ‘galau’, atau ‘rindu’, pasti diantaranya yang muncul adalah blog saya. Seiring waktu berjalan, saya mulai berpikir bahwa apa yang saya tulis mungkin ada manfaatnya untuk orang lain. Termasuk, pengalaman saya menyembuhkan diri dari patah hati dengan menulis, mungkin juga dapat menginspirasi atau menjadi hikmah bagi banyak orang yang merasakan kegalauan serupa,” tutur empunya nama lengkap Cut Rindu Mutia ini.
[caption id="attachment_365787" align="aligncenter" width="576" caption="Rindu Ade ketika memaparkan ilmu pasti dalam menulis. (Foto: Lisdiana Sari)"]
Bagi Rindu, menulis dapat menjadi soul healer. Itu pula yang kini tengah ditularkannya ke banyak orang yang menjalani nasib penuh derita. “Menurut saya, menulis itu seperti soul healer. Menulis juga melepaskan emosi negatif, emosi bahagia, Kemana-mana saya selalu bawa buku untuk mencatat segala macam hal yang saya temui. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak masih SMP dulu. Hingga kini, mungkin ada sekitar 15 buku catatan, yang kalau difilmkan barangkali bisa seperti serial Sinetron ‘Tersanjung’ episode 1 sampai 6, hahahahaaa,” tawanya renyah.
Perasaan senasib dan keinginan untuk bangkit, memberi semangat Rindu bersama kawan-kawannya untuk membentuk komunitas pemulihan diri. Pulih dari kegalauan, mengenyahkan keterpurukan, dan menatap masa depan penuh penuh optimis. “Dari situ, saya berinisiatif membentuk sebuah komunitas yang diberi nama Perempuan Pencari Tuhan. Anggotanya, perempuan-perempuan yang patah hati. Sejalan dengan itu, dari berbagai referensi yang saya baca, ternyata saya menemukan fakta, bahwa tujuh dari delapan penulis novel adalah mereka yang pernah patah hati. Dengan fakta ini, komunitas kami sepakat untuk membuat jargon Mengubah Patah Hati Menjadi Royalti. Mulailah kami semua aktif dalam tulis-menulis. Ada yang menulis novel, fiksi, non-fiksi dan banyak lagi. Kami sadar, menulis adalah soul healer. Awalnya, anggota PPT hanya 25 orang. Kini, di beberapa daerah sudah ada komunitas PPT,” jelas dara kelahiran Aceh pada 7 Mei ini. “Usia saya baru 30 tahun,” ujar Rindu sembari tersenyum simpul.
Komunitas bentukan Rindu kemudian bertindak nyata dengan membantu pendidikan non formal anak-anak jalanan. Lokasinya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Sebuah lokasi yang pemandangannya melulu sampah, lengkap dengan bau tak sedap yang selalu menusuk hidung.
[caption id="attachment_365788" align="aligncenter" width="540" caption="Komunitas Perempuan Pencari Tuhan yang aktif menyelenggarakan kegiatan sosial. (Foto: Akun FB rindu.ade)"]
“Kami mulai tergerak untuk melakukan trauma healing melalui menulis. Kegiatan sosial pertamanya, sekitar 2012 yang lalu dan kami lakukan di Bantargebang. Di sini, ada tempat penampungan anak-anak jalanan, dan kita semua mengajar mereka. Usia mereka rata-rata masih SD, dan bukan anak-anak putus sekolah. Ada yang kami ajarkan Bahasa Inggris, Menulis, Matematika dan sebagainya. Kalau saya, lebih suka mengajarkan mereka menggambar untuk mencurahkan isi hati. Karena, anak-anak jalanan seusia mereka ini, umumnya tidak dapat mencurahkan isi hati. Anak-anak usia lima tahunan ini tidak tahu bagaimana cara untuk menumpahkan isi hati. Apalagi, seperti yang pernah saya baca, semua orang itu sebenarnya memiliki ‘sakit jiwa’ dengan tingkatan yang berbeda-beda. ‘Sakit jiwa’ disini dalam arti, rasa takut, sedih, marah, disakiti, dikhianati dan sebagainya. Nah, kalau ‘sakit jiwa’ ini tidak disembuhkan, akhirnya akan mengakibatkan depresi. Melalui menulis dan menggambar itu, saya coba untuk menyembuhkan ‘sakit jiwa’ agar supaya tidak semakin bertambah parah,” urai Rindu.
Selama pendampingan anak-anak jalanan di Bantargebang, Rindu menyaksikan sendiri betapa kondisi kehidupan keluarga sangat memprihatinkan. Memang, anak-anak jalanan ini bukan termasuk yang putus sekolah. Justru semangat mereka untuk bersekolah sangat mengagumkan, meskipun untuk itu, mereka harus berbagi seragam dan sepatu bersama adik maupun kakaknya. “Kondisi mereka mengenaskan. Sebagai gambaran saja, kalau misalnya kita berikan mereka sepatu sekolah, kadang-kadang sepatunya justru dijual oleh ayahnya untuk membeli rokok. Atau, dijual untuk membeli beras, karena orangtua mereka berpikir, beras lebih penting daripada sepatu. Tidak jarang juga, sepatu sekolah mereka dipakai bersama-sama oleh adik atau kakak mereka, misalnya kalau pagi hari dipakai adiknya sekolah, maka siang harinya sepatu itu bergantian dipakai kakaknya bersekolah. Tak hanya sepatunya, bahkan seragam SD putih merah itu juga dipakai bergantian,” ujar perempuan berhijab asal Nanggroe Aceh Darussalam ini.
Dengan kondisi lingkungan yang serba getir itu, Rindu bersama komunitasnya coba mengangkat semangat hidup para anak-anak jalanan di Bantargebang. Lagi-lagi, trauma healing yang menjadi spesialisasi Rindu pun diterapkan. Tujuannya, menanamkan semangat anak-anak jalanan ini, meskipun hidup dan kehidupannya melekat dengan sampah yang menggunung. “Melalui trauma healing kepada anak-anak jalanan di Bantargebang ini, kami memompa semangat bahwa meski mereka hidup diantara tumpukan sampah, tapi hidup tidak berakhir dengan keberadaan mereka di Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Apalagi, stigma sudah menempel bahwa anak-anak ini juga dijuluki sebagai anak-anak kardus, karena rumah mereka yang dibentuk dari potongan-potongan kardus. Makanya, kami juga menanamkan kepada mereka bahwa hidup itu indah. Caranya, kami membawakan mereka kertas dan alat-alat untuk menggambar, karena rata-rata mereka belum bisa untuk mencurahkan isi hati. Nah, bagi mereka ini, bentuk curhatnya dilakukan melalui media gambar,” terang Rindu.
[caption id="attachment_365789" align="aligncenter" width="500" caption="Rindu Ade usai menjadi pembicara dalam workshop menulis untuk para guru. (Foto: Akun Google+ Rindu)"]
Rindu pernah terperanjat melihat hasil gambar salah seorang anak binaannya. Gambar itu memperlihatkan sebuah piala. Tapi, piala itu dibuat dalam ilustrasi sebuah kematian. Penuh rasa penasaran Rindu meminta klarifikasi terkait piala ini. Jawaban yang diterima Rindu, ternyata sungguh menohok alias makjleb! Menurut si empunya gambar, kematian itu seperti piala. Bergiliran orang akan menerimanya. Menerima piala yang berupa kematian. Rindu termenung menyimak penjelasan itu.
Kegiatan sosial di Bantargebang tak berlangsung lama. Seiring usia anak-anak jalanan itu sendiri yang sudah tidak berseragam putih merah SD lagi. Tapi, bukan berarti Rindu dan komunitasnya juga berhenti meluangkan waktu secara ikhlas untuk membantu antar sesama. Mulailah digagas pembentukan Rumah Yatim di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan. Disinilah Rindu kembali menemukan kesejatian dunianya, berkumpul dan membantu kaum papa.
“Jumlah anak-anak jalanan di rumah kardus Bantargebang, dulu mencapai 30 anak, Lalu seiring perjalanan waktu, mereka bertambah besar, mulai berkurang jumlah anak-anak jalanan yang belajar di rumah singgah yang kami gagas itu. Ya sudah, akhirnya kami memutuskan berpindah lokasi, dengan menggagas pengelolaan Rumah Yatim di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan. Misi sosialnya juga untuk membantu anak-anak yang tidak dapat meneruskan pendidikan formal. Aktivitasnya setiap Hari Minggu mulai jam 14.00 siang, dengan mengajak mereka untuk sama-sama belajar menulis dan menggambar. Sejak 2012 hingga kini, kegiatan sosial yang di Manggarai ini masih berlangsung. Gurunya tidak melulu harus saya, kita saling bergantian. Apalagi, saat ini semakin banyak penulis yang bergabung, dan mereka menulis tidak asal menulis, tetapi juga menulis sambil untuk berkegiatan sosial yang bermanfaat untuk orang banyak,” tutur Rindu yang sejak kecil gemar melakukan aktivitas ekstrem semisal terjun payung. “Waktu kecil saya sampai punya wing terbang. Selain itu, sejak usia lima tahun, saya sudah diajak naik gunung bersama Ayah”.
[caption id="attachment_365790" align="aligncenter" width="567" caption="Tiga serial buku Perempuan Pencari Tuhan karya Rindu. (Foto: Akun Google+ Rindu)"]
Menurut Rindu, menulis itu membahagiakan. “Kalau tidak menulis, jadinya tidak bahagia. Sedangkan apabila kita mengajarkan orang untuk menulis, maka itu berarti kita lebih membahagiakan diri sendiri, dan juga orang lain. Logikanya, kalau kita bisa membuat orang lain bahagia, maka kita pun juga pasti akan turut berbahagia. Ini sama dengan sedekah. Semakin kita bersedekah, bukan berarti kita semakin berkurang hartanya, tetapi justru dijamin akan semakin bertambah. Saya percaya pepatah yang mengatakan bahwa, bahagia itu dengan memberi, bukan menerima,” ujar Rindu yang sudah menulis tiga serial buku berjudul Perempuan Pencari Tuhan. “Seri pertama saya tulis pada 2012, jadi insya Allah ada satu buku yang saya tulis dalam satu tahun. Penjualannya, alhamdulillah memuaskan, karena seri pertama buku itu laris terjual hingga 10 ribu buku. Seri kedua dan ketiga, masing-masing terjual sekitar 5 ribu buku. Rencananya, insya Allah, tahun 2015 ini total akan menjadi lima buku”.
Mantap Jalani Profesi Penulis
Kecintaan Rindu pada dunia tulis-menulis memang dipupuk sejak masih di bangku SMP, dan tak pernah surut hingga kini. Bahkan, meski Rindu sudah meniti puncak karir dunia profesional dengan menjabat Financial Director sekalipun, jiwanya tetap mendambakan dapat memiliki waktu lebih banyak lagi untuk menulis. Aneh memang, latarbelakang pendidikan tingginya yang mengambil bidang Financial Planning di Geneva Business School, Swiss, dan berimbas dengan karirnya yang terus menanjak sebagai Financial Director, ternyata belum mampu membuat jiwa Rindu nyaman.
”Pada Oktober 2014, saya memutuskan untuk meninggalkan karir dan dunia profesional saya. Padahal, waktu itu saya menjabat Finance Director di sebuah perusahaan multinasional. Tapi ya itulah, yang banyak orang sebut sebagai tobat profesi. Alasannya, karena saya merasa bahwa jiwa saya bukan di situ. Sederhananya begini, kalau kita bekerja full time, untuk melaksanakan ibadah menjadi mudah terlalaikan. Misalnya, saya mau shalat Dzuhur tepat waktu, tapi pas waktu shalatnya saya justru melakukan lunch meeting, sehingga akibatnya shalat Dzuhur dilaksanakan sudah menjelang Ashar. Nah, begitu juga ketika mau shalat Ashar tepat waktu, terkendala karena ada briefing, sehingga saya melaksanakan Ashar ketika sudah menjelang waktu Maghrib. Maghrib juga begitu, badan saya sudah capek, sehingga dilaksanakan menjelang Isya, setelah itu tertidur, sehingga shalat Isya menjadi terlalaikan begitu juga dengan shalat Subuh. Rutinitas seperti ini pun akhirnya membuat aktivitas kegiatan sosial saya menjadi hanya Sabtu dan Minggu saja. Itulah yang membuat saya kurang nyaman dengan lingkungan pekerjaan saya waktu itu. Padahal saya paham bahwa hidup itu tidak hanya di dunia saja. Apalagi, seperti dikatakan dalam hadits Nabi Muhammad saw, barangsiapa mengejar akhirat maka dunia akan mengikuti. Dengan kata lain, urusan dunia sudah ada yang mengatur, takdir, rezeki, jodoh dan sebagainya,” aku Rindu.
[caption id="attachment_365791" align="aligncenter" width="316" caption="Rindu ketika berbagi ilmu tentang menulis. (Foto: Akun FB rindu.ade)"]
Rindu tidak bermaksud menyalahkan ayahanda tercinta karena mengarahkannya kuliah pada bidang Financial Planning, bidang yang justru sama sekali ia belum tertarik hingga saat ini. Malah waktu itu, sang ayah seolah memberi penegasan, bahwa menulis itu jadikan sebagai hobi, karena diyakni, menulis tidak akan banyak menghasilkan penghasilan uang seperti laiknya bekerja sebagai profesional.
“Jabatan sebagai Finance Director yang saya tinggalkan itu sebenarnya sudah sesuai dengan latarbelakang pendidikan yang saya tempuh. Saya kuliah untuk jurusan Financial Planning di Swiss. Tapi, waktu itu bukan atas dasar pilihan hati saya sendiri, melainkan karena pilihan orangtua, dalam hal ini ayah. Sebelumnya, saya justru tertarik untuk masuk jurusan Sastra, karena hasrat saya untuk menulis begitu besar. Apalagi, sejak SMP saya sudah mengelola majalah dinding di sekolah. Hanya saja, ayah justru menasehati bahwa menulis hanya sekadar hobi, bukan pekerjaan tetap dan dianggap kurang menghasilkan dari sisi pendapatan. Akhirnya saya mengikuti apa kata ayah, meskipun lama kelamaan semasa kuliah itu saya semakin merasa tidak nyaman, dan berkesimpulan bahwa seharusnya saya tidak kuliah di sekolah bisnis,” ungkap Rindu yang ketika dijumpai mengenakan jilbab berwarna merah muda.
Sebenarnya, ayahanda Rindu mengarahkan pendidikan bagi putri semata wayangnya ini dilandasi kecintaan yang tak terhingga. Maklum, semenjak masih balita, Rindu sudah harus menjadi piatu. Maka sang ayah mengambil peran menjadi ibu bagi Rindu. Tak salah juga sang ayah menyekolahkan Rindu ke business school itu, lantaran memang digadang-gadang Rindu akan menjadi penerus beberapa usaha milik keluarga. Tapi begitulah Rindu, ia justru tak sejalan dengan keinginan sang ayah. “Pilihan studi yang menjadi pilihan ayah ini juga dilatarbelakangi, karena ayah mengelola beberapa usaha, dan ingin menurunkan bakat serta kemampuan berusaha ini dengan menyekolahkan saya di bidang Financial Planning. Bahkan sampai saat ini pun, ayah masih menawarkan kepada saya untuk mengelola bisnis di perusahaannya. Tapi ya mau bagaimana, untuk saat sekarang ini saya belum tertarik, meskipun siapa tahu nanti saya akan menekuninya juga,” akunya.
[caption id="attachment_365792" align="aligncenter" width="512" caption="Rindu usai memberikan pembelajaran di kelas hypnowriting. (Foto: Akun FB rindu.ade)"]
[caption id="attachment_365793" align="aligncenter" width="512" caption="Salah satu kegiatan Akademi Inspirasi yang menampilkan Rindu Ade sebagai Soul Healer, Motivator Menulis, dan Founder Komunitas Perempuan Pencari Tuhan. (Foto: Akun FB rindu.ade)"]
Rindu sendiri paham alasan mengapa sang ayah kurang merestui dirinya bergelut dalam dunia kepenulisan. Ada kekhawatiran bahwa profesi penulis kurang menghasilkan secara materi. Beda jauh seperti langit dan bumi dengan profesinya sebagai pejabat Finance Director, misalnya. “Sebenarnya, kekhawatiran ayah semata karena anggapan bahwa penghasilan penulis tidak akan sebanding dengan gaji seorang profesional. Katakanlah, gaji saya sebagai Financial Director itu Rp 45 juta tiap bulannya. Lalu ayah saya tanya, dari mana saya akan bisa memperoleh uang sebanyak itu dari hanya sekadar menjadi penulis? Ternyata, sejak itulah semuanya menemukan jawaban. Saya mengawali dengan mengambil kelas hypnowriting, sengaja saya ambil license untuk bidang ini. Hypnowriting ini adalah menulis dengan memberikan ruh pada tulisan. Tujuannya agar tulisan tidak monoton dan membawa pengaruh emosi kepada pembacanya. Setelah memiliki license untuk hypnowriting, saya kemudian mengajar. Rata-rata, satu kelas ada 20 orang, yang kalau mereka membayar Rp 250 ribu, maka saya sudah mengantongi Rp 5 juta. Nah, dalam satu bulan saya biasa mengajar 10 kelas, artinya total saya dapat menghasilkan uang Rp 50 juta. Artinya, sudah terbayar dan bahkan lebih dari gaji sebagai Financial Director. Hitung-hitungan ini, pada akhirnya tetap menggunakan ilmu Financial Planning yang saya pelajari ketika kuliah dulu, hahahaaa … artinya, ilmu kuliah dulu tetap saya terapkan. Enggak ada yang sia-sia jadinya. Bahkan, dengan kegiatan yang saat ini tengah saya jalankan, masih banyak lagi waktu yang bisa isi dengan berbagai kegiatan sosial,” papar Rindu yang meski terlahir di Aceh, tapi menjalani masa remaja di Bandung.
Setelah tak lagi bekerja kantoran, Rindu yang semakin aktif menulis dan menggalang kerjasama sosial dengan rekan-rekan muslimah lainnya, tidak alpa untuk menuntut ilmu agama secara mendalam. Apalagi, ketika bulan suci Ramadhan datang, Rindu selalu tak pernah melewatkan untuk memuaskan rohaninya dengan berbagai kegiatan amaliah Ramadhan, termasuk mengikuti pesantren Ramadhan. “Seiring kegiatan sosial yang saya dan teman-teman laksanakan semakin banyak, suatu hari saya memutuskan untuk mengikuti program pesantren di Pondok Pesantren Gontor di Ngawi, Jawa Timur. Terutama untuk memenuhi kegundahan hati saya sendiri, tentang apa sebenarnya hakekat yang dicari oleh manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Pesantren ini bukan sesuatu yang khusus, karena biasanya toh setiap bulan suci Ramadhan, selama dua minggu, saya juga sering mengikuti kegiatan pesantren. Tambah lagi, setelah memutuskan untuk meninggalkan dunia kerja, saya menjadi motivator dan inspirator untuk Youth and Smart Moslemah (YSM). Kegiatan YSM ini berusaha menepis anggapan negatif terhadap perempuan berjilbab, misalnya distigmakan sebagai kalangan yang minor, dan hanya melulu memikirkan urusan perjodohan. Bukan berarti saya tidak ingin menikah, tapi kelak apabila kita meninggal dunia pun, Allah juga tidak akan menanyakan apakah kita sudah menikah atau belum. Pasti yang akan ditanyakan adalah, apakah akhlaknya sudah baik, apakah hidupnya sudah bermanfaat untuk orang banyak?” beber Rindu.
[caption id="attachment_365794" align="aligncenter" width="512" caption="Rindu Ade berpose di kantor ACT. (Foto: Lisdiana Sari)"]
Jadi Mentor Hypnowriting
Kecintaan Rindu akan menulis, membawanya serius untuk menggali ilmu hypnowriting. Satu setengah bulan ia mengikuti pelatihan di salah satu lembaga swasta, termasuk menjalani dua kali ujian kelulusan. Biaya pelatihan yang terbilang mahal, tak membuatnya kendur. Semangatnya memang terus menyala-nyala. Setelah dinyatakan lulus, Rindu kemudian berhak memperoleh semacam license untuk mengajar hypnowriting. Rasanya tepat sekali Rindu bertekad baja menyelesaikan kursus hypnowriting. Terbukti, kini materi hypnowriting sedang booming. Dimana-mana, Rindu diundang untuk menjadi mentor. Kesibukannya pun semakin meningkat.
“Ilmu hypnowriting akhirnya kini semakin menjadi kebutuhan. Karena saat ini, mereka para Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk pengurusan kenaikan pangkatnya maka diwajibkan untuk menulis. Kini, mereka harus memburu satu point untuk pembuatan satu artikel. Dari situ banyak yang membuat workshop menulis, lalu mengundang saya untuk menjadi mentor termasuk untuk mengajarkan hypnowriting. Selain itu, saya juga menjadi co-writing dari beberapa penulis yang segera menerbitkan bukunya. Begitulah, menulis itu sungguh menyenangkan,” ujar Rindu.
Kepada penulis, Rindu tak segan membagi ilmu tentang hypnowriting. Lugas ia memaparkan sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi untuk menerapkan hypnowriting. “Bagaimana kiat mempraktikkan hypnowriting? Begini. Misalnya ketika kita ingin menulis sebuah artikel. Artikel itu memiliki ilmu pasti yaitu bagian awal, tengah, dan akhir. Awal, adalah sesuatu yang membangun konflik. Awal Mei ini, dua hari saya mengajar hypnowriting di Bandung. Pesertanya para ahli komputer forensik, termasuk dari kepolisian, dan auditor. Mereka ini tugasnya menggali indikasi korupsi melalui digital, dan punya kewajiban menulis satu artikel yang isinya berupa pengungkapan kasus, tapi tanpa diketahui oleh orang banyak bahwa tulisan tersebut dapat dijadikan modus maupun jalan keluar bagi para koruptor. Terbayang susahnya menulis yang seperti itu, tapi sekaligus menarik,” tuturnya dengan mimik serius.
[caption id="attachment_365795" align="aligncenter" width="500" caption="Aksi ACT Berbagi Cahaya Ilmu beberapa waktu lalu. (Foto: Wardah ACT)"]