“Ting!”, terdengar bunyi pesan masuk pada ponsel saya.
Pesan tersebut ternyata berasal dari Bu Wiji. Bu RT yang merangkap sebagai anggota grup Dasawisma 2. Sebutan untuk kelompok dasawisma dimana saya dan ibu tergabung di dalamnya. Malam itu ia melaporkan bahwa hasil penjualan sedekah sampah Bulan Mei dari grup dasawisma kami dihargai sebesar Rp 70.000,. Hasil penjualan ini akan masuk kas dasawisma, yang nantinya bisa digunakan untuk membantu mendanai berbagai tanggungan dasawisma kami, seperti menyiapkan konsumsi Posyandu Balita, Posbindu, Posyandu Lansia dan lain sebagainya.
Sejak bergabung di grup Dasawisma 2 pada September tahun lalu, akhirnya saya tahu, bahwasanya sebagian perempuan-perempuan penjaga alam itu ternyata ada di sekeliling saya. Mengapa demikian? Karena ibu-ibu anggota Dasawisma 2 tersebut terbilang serius dalam meminimalisir laju perubahan iklim. Salah satu buktinya saya saksikan sendiri. Mereka begitu antusias saat saya ajak untuk mulai memilah sampah organik rumah tangga sehingga tidak ikut dibuang ke Bank Sampah.
Bahkan saat saya tawari untuk memasang biopori, mereka menyambutnya dengan tangan terbuka. Ternyata komitmen perempuan-perempuan desa dalam menjaga bumi itu tidak kalah kerennya. Mereka tidak hanya konsisten memilah sampah kertas dan plastik untuk disetorkan sebagai sedekah sampah. Namun biopori yang dipasang sejak Januari silam masih terus dimanfaatkan. Bahkan endapan kompos yang dihasilkan di dalam biopori pun tidak luput dari perhatian.
Maklum, sebagian besar tetangga saya memang suka berkebun. Tidak heran jika endapan kompos dari biopori juga dimanfaatkan sebagai media tanam. Selain menanam aneka bunga dan empon-emponan, umumnya mereka juga menanam bumbu dan sayuran seperti daun bawang, serai, cabai, papaya, daun salam, bayam, kacang panjang hingga daun pandan.
“Lumayan banget lho mbak ada biopori ini. Selain mengurangi munculnya bau sampah dan lalat, endapan sampah organik yang saya masukkan ke dalam biopori ternyata bisa menambah subur tanaman-tanaman saya”, ujar Mbak Ema. Salah satu tetangga yang kebetulan satu grup dasawisma dengan saya. Saat mendengar cerita Mbak Ema, saya hanya bisa tersenyum sembari mengangguk tanda setuju.