Merlion Park, Dec 2020.
Musim dingin, aku mengenakan baju hangat dengan syal merah hitam yang kurajut sebelumnya. Masih mengingat kenangan-kenangan sebelum dua tahun ini. Masih dengan harapan secepatnya bisa kembali ke pangkuan mama yang sering tanyakan kapan aku pulang. Aku juga mengingat asap rokok papa yang sering ku kibas-kibas ketika mengenai hidungku yang anti rokok ini. Sebelum dua tahun yang lalu, aku hanya sekali mengenakan baju hangat seperti ini. Tepat di 2009, ketika tragedi 8,9 Scala Richter melanda kampung ku. Ini baju hangat kedua yang kupunya. Tapi kali ini bukan tentang baju hangat di bulan September 2009 atau juga baju hangat di bulan Desember 2020.
Kuangkat mata lelah dengan kantung mata yang sangat wajar untuk mahasiswa S2 sepertiku. "Aku bersyukur" bisikku berulang kali. Senyum mengambang, seperti bulan sabit di wajahku. Seseorang dulu pernah berkata bahwa senyumku adalah senyum bulan sabit. Aku selalu mengingatnya setiap melihat bulan sabit. Dia bagaimana? masih ingatkah dia pernah mengatakan senyumku seperti bulan sabit? Malam ini tidak ada bulan sabit, namun senyumku mengingatkan bulan sabit yang di dengung dengungkan dulu.
Telfon berdering, mama memanggilku melalui WhatsApp.
"Halo ma"
"Apa kabarmu nak? kapan pulang?"
Pertanyaan yang menghujam jantungku berulang kali, Jarak Merlion Park dan Batang Anai tidak bisa ditempuh dengan angkot orange yang paling ngebut di kampung ma. Mesti naik Lion Air atau Garuda dengan budget sebulan keluarga kita.
"Sebentar lagi ma, dua bulan lagi semester 4 ini berakhir. Tesis juga sedang dalam tahap akhir"
"Mama dan papa ingin kamu cepat pulang, ada yang mau di bicarakan dengan serius padamu nak"
"iya ma, aku akan pulang tahun depan" aku bercanda mengatakan tahun depan, ini bulan Desember, artinya tahun baru di tahun depanlah aku akan pulang
"Jangan lama-lama pulangnya. Cincin sudah disipkan"