BAIT MERINDU BAIT ITU
Puisi Kolaborasi (2) : Dwi Risti Rahayu - Pena Ilusi
Aku tertombak rindu dari tumpukan renda berajut pilu. Hingga teringat kerlingan masa lalu yang tak dapat kupungkiri, yang akhirnya membuat basah tulang pipi. Benar dusta, jika aku mencumbui malam tanpa rasa. Menjadi munafik, jika kukatakan, telah kutinggalkan malam demi siang bernuansa. Aku sungguh belum bisa seutuhnya melupa.
Rindu ini masih berlutut dan memintaku terus meratapi wujud-wujud. Sebenarnya aku malas hal ini larut-berlarut. Seharusnya segera ku buat keputusan yang patut. Agar merindu tidak terus berlanjut menghendak birama. Lalu, di secarik kertas ucapan diri kurajut :
---hei... memang benar tidak pernah ada rindu yang kosong!. Hatiku pun juga begitu. Namun sial bagiku, ia tidak benar-benar berisi, yang terlihat hanya kebatan rindu mimpi-mimpi. Ya... seperti itulah yang kurasakan kini. Bayangan seolah-olah datang mendekapi namun hanya sebentar menutup kekosongan hati, lalu pergi lagi. Secepat kedipan mata ini.
---aih..., rindu ini masih saja menuntut. Memintaku terus meratapi wujud-wujud. Aku benar-benar tak cukup kuat melenyapkannya. Karena beningnya bola mata mungkin saja akan menjadi buta nantinya, jika terlalu kejam kupaksakan diri berlama menatapi matahari. Tapi apalah daya, bila hal itu kutemui.
Bulan tidak datang menyapa.
Ternyata rindu yang menyembunyikannya dalam pelukan dingin awan nan jauh sana. Tudingan atas prasangka-prasangka, hal itu kusebutkan indah semuanya. Meskipun di sekelilingku, orang-orang mengatakan aku gila. (ya... terserah saja).
Lalu aku bertanya pada mereka yang mengatakan aku gila. Bagaimana dengan cerita yang masih melululalang tanpa jeda?... Haruskah kusembunyikan itu, hingga kelak membuatku tambah menderita?... Mereka tidak bisa menjawab banyak kata. Selain tiga kata : "OH... IYA... IYA".
Ku-akui saja, benar bahwa tombak rindu itu masih ada. Sampai pada bait ini kurenda, aku sungguh belum bisa melupakannya. Tentang bentangan jalan panjang yang di sana, tentang dua pasang sepatu yang menapaki jejak bersama-sama, tentang rinai hujan yang terselip ditengah dedaunan rindang pohonnya, tentang tiap-tiap skenario yang mampu kuhapalkan dengan sekejap saja, tentang peran yang berhasil kumainkan semuanya, tentang mata teduh yang menatap dengan kelembutannya, tentang senyum manis yang membawaku menjelajahi ranting-ranting mimpi, tentang nada-nada yang jadi sederetan lagu baru yang kudengari, dan tentang semuanya yang tak habis jika kuceritakan di sini.
Aku hanya tersenyum saja. Melihat tingkah yang kurasakan memang sedikit berbalut gila. Mungkin inilah nama rindu yang sebenarnya, rindu yang terus mendayu-dayu dan ketika malam datang mencumbu, semua itu jadi menggebu-gebu berharap rindu yang berbalas rindu.
Benar tombak rindu itu masih ada, aku belum berdaya melumpuhkannya. Sekarang aku hanya bisa pasrah menerima, berusaha mendewasakan jiwa dan mencoba lebih bijaksana.
Ya... kubiarkan saja semua itu mengalir apa adanya. Kalaupun nantinya akan menggoreskan sedikit luka nestapa, aku relakan saja.
==O.oO==
Bengkulu, April 2014
Sumber Ilustrasi : KLIKINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H