Kata orang naik sepeda itu adalah life style, apalagi kalau sepeda yang kita naiki memiliki nilai sendiri. Lihat saja komunitas sepeda yang bertebaran di kota-kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dll. Ada komunitas sepeda lipat, sepeda gunung, sepeda onthel bahkan sepeda tinggi juga ada.
Contohnya sepeda lipat, sepeda lipat yang dipakai harganya tidak murah dan branded. Ada Dahon, Brompton, Good Friday, Giant, dan banyak lagi. Belum lagi kalau dimodifikasi habis, dari yang speednya 6 dijadikan 8 atau 9. Ban dalam dan ban luarnya, cari yang paling ringan tapi berat di kantong atau dompet. Belum lagi tas sepeda yang wajib punya, selain untuk bawa tool kit, ban dalam, hand pump, dll tentunya tidak lupa untuk bawa kamera atau smartphone supaya bisa selfie atau jepret sana-sini.
Awalnya saya sepedaan karena untuk olah raga, jadi lebih kepada kesehatan. Jarak tempuh juga menjadi pertimbangan, awalnya pendek lama-lama targetnya kalau sekali pergi jarak tempuh harus di atas 20 km. Seminggu bisa 3-4 kali sepedaan, rute yang dilalui cenderung ke desa-desa atau dusun-dusun. Bahkan sempat mengalami yang namanya mau pingsan ketika berhenti untuk istirahat. Tidak tahu jalan pulang, kesasar, tanya penduduk di sana dengan harap-harap cemas karena rata-rata mereka menjelaskan dengan memakai arah mata angin, bukan lurus maju, belok kanan atau kiri.
Semua itu tidak membuat saya mundur, yang ada membuat saya penasaran. Misal kalau belok jalan ini keluarnya dimana? Kadang saya minta bantuan Google Map agar bisa tahu saya ada di posisi mana itupun setelah di rumah. Kadang saya harus pelan-pelan jalannya mencari-cari sesuatu agar bisa dijadikan tanda pengenal atau patokan kalau mau balik lagi ke jalan semula supaya tidak nyasar, karena ini pernah terjadi.
Sampailah di suatu hari saya sepedaan cukup jauh dan cenderung masuk-masuk ke jalan dusun. Ketika perjalanan pulang ban sepeda tiba-tiba kempes. Tanya-tanya orang sekitar, rata-rata bengkel motor tutup karena hari Minggu, lagipula saya tidak bawa pompa atau tool kit atau ban dalam cadangan dll, hanya bawa minum, dompet isi uang seadanya dan KTP, bahkan HP saja yang cuman bisa telpon dan sms.
Untunglah ada bengkel motor yang buka. Ketika dipompa kembali, tidak ada tanda-tanda bocor kembali, jadi aman, saya lanjut pulang. Tak berapa lama kemudian ban kembali kempes habis, saya sempat khawatir, karena ini pertanda ban sepeda pasti bocor, berjalan cukup lama akhirnya ada bengkel tambal ban. Setelah dicek ternyata kebocoran ban dalam disekitar pentil. Tidak punya ban dalam lain sedangkan pentil sepeda saya tipe yang kecil. Waduh... alamat saya jalan kaki pulang atau panggil taxi, tapi pastinya pilihan terakhir yang saya pilih. Ternyata si bapak tambal ban bisa mengganti pentil sepeda saya dengan motor punya dan selamatlah saya sampai rumah.
Tapi kejadian ini membuat saya seperti dibangunkan dari kenyamanan bersepeda ke dusun-dusun dengan pemandangan sawah di kiri kanan jalan. Boleh saya mengatakan untung kempesnya ban sepeda bukan di jalan antah berantah, mana sendiri pula dan tidak bawa peralatan emergency. Akibatnya saya agak trauma juga sepedaan sendiri, jauh-jauh, blusukan ke dusun dan di hari Minggu pula.
Sepedaan akhirnya menjadi olah raga dan gaya hidup yang beresiko juga, walaupun sekarang saya sudah lebih dengan persiapan yang jauh lebih baik, tetap saja meninggalkan rasa khawatir takut kempes di jalan mana tahu....
Bahkan di hari Minggu saya hanya sepedaan di dalam kota, dekat-dekat saja dengan pemikiran kalau terjadi apa-apa saya tahu bengkel sepeda yang buka, dan gampang cari taxi kalau itu adalah pilihan terakhir. Karena bersepeda di hari Minggu adalah ajang pamer sepeda bagi sebagian orang.
Ini sepedaku, sepedamu maaanaa.....???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H