Kemarin malam sekitar jam 23 WIB terjadi gempa di daerah Bantul, otomatis getarannya terasa di Sleman tempat saya tinggal. Reaksi saya adalah: diam sejenak, duduk tegak, siap-siap lari (tapi tidak lari juga).... kemudian berteriak GEMPA! pada saudara saya di lantai bawah. Setelah itu saya duduk lagi sambil nonton TV. Kok terasa santai ya? Mungkin karena gempa ini adalah yang kedua dalam sebulan terakhir ini.
Bandingkan dengan reaksi pertama pada saat gempa di Bantul beberapa minggu yang lalu. Gempa terasa agak lama dan bergetarnya juga terasa keras. Reaksi saya adalah langsung berteriak dan lari terbirit-birit ke lantai bawah dan keluar rumah. Begitu juga dengan reaksi tetangga kiri kanan yang sudah berada di luar rumah pada saat yang bersamaan.
Setelah melihat keliling, saya menyadari kalau saudara saya lari keluar di belakang saya dengan BB di tangan, langsung saya masuk lagi ke rumah ambil HP dan dompet saya. Begitu pula dengan saudara saya, bahkan mengingatkan saya untuk jangan lupa bawa ATM. Weleh-weleh.... memangnya kalau sampai pada ambruk, mesin ATM masih beroperasi, bukannya jaringan listrik juga terganggu?
Kepindahan saya ke Jogja, dan tinggal di Sleman ternyata membuat saya jadi agak was-was juga, kok saya pindah ke daerah gempa ya? Begitu juga ketika kakak saya beberapa tahun yang lalu memutuskan untuk tinggal di Bali, saya mengingatkan bahwa kalau terjadi tsunami kemungkinan besar bisa kena kalau dia memilih rumah yang dekat pantai. Tidaklah berlebihan kalau ibukota Indonesia mau dipindahkan ke Kalimantan Tengah yang katanya bebas gempa, tapi belum tentu bebas korupsi.
Beberapa tahun yang lalu, ketika masih kerja di Jakarta, gempa bumi pernah saya alami. Waktu itu saya bersama atasan saya dan tamu dari Jepang sedang mengunjungi Pasaraya Blok M untuk melihat counter di lantai lima. Pada saat gempa terjadi, saya merasa bergoyang-goyang dan atasan saya bilang: "Kok saya merasa pusing?" Sayapun merasakan pusing, dan anak buah saya di counter bilang: "Kayanya gempa nih." Otomatis saya dan atasan saya sudah mau lari ke bawah, sementara tamu Jepang saya terlihat santai, terpaksa kami minta dia untuk ikut lari ke bawah dengan escalator. Atasan saya paling depan, saya paling belakang, sambil menghitung tamu-tamu saya. Klop semuanya! Dan rasanya saya sudah kepingin tendang saja pantat mereka supaya lari lebih cepat!
Pengalaman lain adalah waktu ada bencana kebakaran di gedung kantor kami yang lama. Saya ada di lantai lima, kebakaran ada di lantai enam. Pada saat itu pas jam makan siang, tiba-tiba kami mendengar ada ribut-ribut di luar ruangan kami, tapi kami santai saja. Lalu salah seorang teman dari ruangan lain berteriak: "Wooiii .... kebakaran di lantai enam, ini malah tenang-tenang aja." Reaksi pertama saya dan teman-teman adalah berlari keluar ruangan untuk melihat benar atau tidak kebakaran tersebut. begitu melihat asap mengepul dari lantai enam melalui tangga biasa saya malah ngomel-ngomel: "Kok alarm kebakarannya gak bunyi sih?" Detik berikutnya baru terdengar alarm kebakaran berbunyi. Otomatis semua berhamburan lari masuk ke ruangan untuk ambil tas dan barang pribadi lain. Saya saja memerlukan beberapa detik untuk "berpikir" barang-barang apa yang harus saya selamatkan. Sesudah itu lari lewat tangga belakang (karena tangga depan asapnya sudah tebal sekali) sambil memberitahu teman-teman yang ada di ruangan belakang untuk lari.
Setelah pindah ke gedung perkantoran baru otomatis mendapat ruangan di lantai yang lebih tinggi, lantai 17, teman-teman yang dulu lantai 5 mengatakan siap-siap stamina untuk lari dari lantai 17 ke lantai dasar kalau ada kebakaran lagi. Bukan kebakaran tapi yang ada malahan issue bom. Lari lagi lewat tangga darurat ke lantai dasar. Asli benar, kaki sampai gemetaran dan lemas begitu sampai di lantai dasar. Kami yang dari marketing langsung pergi ke luar dengan alasan cek market, daripada disuruh balik ke atas lagi. Sejak peristiwa issue bom, manajemen gedung rutin mengadakan latihan kebakaran dan teror bom, yang ada bukan lari tapi jalan santai menuruni tangga sambil ngobrol basa basi dengan teman dari lantai lain.
Anehnya sejak saat itu, di lantai 17 sering terjadi hal-hal yang menyebabkan alarm bunyi. Pertama, ada korselet di lampu, mengeluarkan asap, langsung saja seorang teman dengan sigap menyalakan alarm kebakaran dan mengambil tabung kebakaran untuk menyemprot api kecil. Hasilnya api padam, tapi semua penghuni gedung sudah lari ke tangga darurat untuk kabur, kecuali lantai 17 yang sudah duduk manis dan kerja kembali, karena api sudah padam. Kedua, sering terjadi false alarm, alarm kontak/rusak dan berbunyi tanpa sebab di lantai 17. Karena terjadinya di lantai 17, penghuni lantai ini santai saja, sementara lantai di atas kami sudah berada di tangga darurat untuk turun ke bawah.
Karena di tempat saya sekarang sering terjadi gempa, maka kalau di rumah serasa norak saja, kalau saya lagi ada di lantai bawah suka bawa-bawa dompet. Begitu juga masyarakat di daerah Bantul yang punya trauma dengan gempa besar kalau tidak salah tahun 2006, juga sudah berlarian keluar dan tidur di luar rumah karena takut gempa susulan. Tak terkecuali daerah lain yang sudah pernah kena bencana gempa dan tsunami, pasti sudah berlarian menyelamatkan diri begitu merasa gempa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H