Mohon tunggu...
Lipa efiyanikomala
Lipa efiyanikomala Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Seorang pemula yang berikhtiar untuk menjadi expertis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Ustazah Mega: Pengabdian yang Dimulai dengan Tangis dan Diakhiri dengan Tangis

26 September 2024   16:13 Diperbarui: 26 September 2024   16:16 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laznas Dewan Da'wah

Pernahkah Anda membayangkan meninggalkan kenyamanan kota untuk tinggal di pedalaman yang jauh dari fasilitas modern? Itulah yang dilakukan oleh Mega Oktavia, seorang ustazah berusia 24 tahun asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dalam pengabdiannya selama satu tahun di Pondok Pesantren Tahfiz Al-Qur’an Hubaibah, Pagerungan Kecil, Jawa Timur, ia menghadapi berbagai tantangan tak terduga. Namun, di balik semua itu, tersimpan banyak pelajaran berharga yang ingin ia bagikan kepada kita.

Dalam perjalanan menuju pengabdian yang penuh tantangan, Ust. Mega menceritakan pengalamannya menghadapi kesulitan dan keterbatasan yang mengubah pandangannya tentang kehidupan dan memberi makna baru pada pengabdian. “Bayangkan, 20 jam naik bus dari Banjarmasin ke Sumenep, lalu 20 jam lagi dengan kapal ke Pulau Sapeken, dan masih harus naik kapal kecil selama satu setengah jam untuk sampai ke pagerungan Kecil,” ujarnya memulai cerita dengan semangat. "Awalnya saya kaget ! tidak ada mobil, listrik pun terbatas hanya beberapa jam sehari, dan sinyal telepon pun hilang-hilang. Rumah disana kelihatan gelap sekali, tapi alhamdulillah sekarang sudah ada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) walaupun hanya beberapa jam”.

Tak hanya soal keterbatasan fasilitas, Ust. Mega juga berbagi tentang tantangan mengajar di pesantren. Di sana, ia bertugas mengajar tahfiz Qur’an dan bahasa Arab, bahkan memberikan bimbingan agama kepada ibu-ibu sekitar. “Mengajar di pesantren memang menarik, tapi menegakkan disiplin di kalangan santri cukup menantang. Ada kalanya aturan pondok seperti larangan berinteraksi dengan lawan jenis diprotes oleh wali santri. Mereka sayang anak, tapi kadang kurang memahami pentingnya disiplin.”

Pada awalnya tidak pernah tersirat dibenaknya bercita-cita menjadi seorang guru mengaji. “Sebenarnya saya ingin jadi dokter atau perawat. Tapi setelah masuk pesantren, semuanya berubah. Saya menemukan panggilan hidup yang berbeda," katanya. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di STID Mohammad Natsir Jakarta dan mulai mendalami dunia dakwah. Berbekal tabungan pengalamannya, ia menjelaskan bahwa setelah lulus dari STID para alumni tidak kebingungan dan sudah siap untuk menjalankan tugas berdakwah, karena sudah dibekali dan disiapkan secara mental dan teori selama masa studi.

"Saat mengisi kuesioner, saya memilih penempatan di Jabodetabek, karena merasa belum siap untuk ditugaskan ke pedalaman, bahkan awalnya di tawari untuk di Laznas Dewan Da'wah. Tapi, ketika surat penempatan keluar, saya ditugaskan ke Pagerungan Kecil. Rasanya campur aduk, tapi saya memilih untuk menerima dan menjalani semuanya dengan ikhlas,” kenang Ust. Mega sambil tersenyum.

Di tengah segala tantangan, Ust. Mega menemukan motivasi dari perjuangan para santri, terutama saat momen wisuda tahfiz perdana di pondok. Ketika Ust. Mega melihat mereka, ia juga teringat akan impian dan harapannya. “Jika mereka bisa berjuang, mengapa saya tidak?” Itu menjadi pendorong utama untuk saya terus bertahan di pondok meskipun banyak kesulitan," ungkapnya.

Di masa tugasnya, hal yang paling menyentuh adalah saat ia harus meninggalkan tempat pengabdiannya. “Ketika saya pamit pulang, seluruh warga kampung datang mengantar saya ke dermaga. Bukan hanya warga yang saya kenal saja, bahkan beberapa orang yang tidak saya kenal juga ikut menangis mengantar saya. Saya tidak pernah menyangka akan merasa begitu dihargai.”

Momen itu begitu emosional hingga meninggalkan jejak kenangan di ingatan Ust. Mega. “Dosen saya pernah bilang, pengabdian itu sering dimulai dengan tangis, dan diakhiri dengan tangis juga. Itu benar-benar terjadi pada saya.”

Bagaimana perasaan Anda setelah mendengar cerita Ust. Mega? Tentu, tidak mudah meninggalkan kenyamanan dan memilih jalan penuh tantangan seperti yang dilakukannya. Namun, dari kisah Ust. Mega, kita bisa belajar bahwa terkadang di tempat yang paling tidak terduga, kita justru menemukan makna hidup yang lebih dalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun