Canada merupakan salah satu negara yang menggunakan dua Bahasa resmi: Bahasa Inggris dan Perancis. Namu dalam prakteknya tidak semua penduduk menguasai kedua Bahasa tersebut, walaupun ada pelajaran dari sejak SD sampai university.  Ditambah lagi banyaknya immigrant generasi pertama, yang tentunya kesulitan untuk menguasai satu Bahasa, apalagi dua Bahasa yang grammarnya bertolak belakang.  Immigrant generasi kedua pun banyak yang hanya fasih dalam satu Bahasa resmi saja tergantung lokasinya. Misalnya banyak generasi kedua immigrant Indonesia di Ontario, Alberta, yang hanya fasih berbahasa Inggris, dan tidak mengerti conversation atau membaca novel dalam Bahasa Perancis.  Demikian pula banyak warga penduduk Quebec ( salah satu provinsi Canada), yang hanya bisa berbahasa Prancis, dan mereka menolak untuk berkomunikasi dalam Bahasa Inggris.
Penduduk Quebec boleh dikata sangat tinggi nasionalisme nya dalam menggunakan Bahasa Perancis.  Di kota-kota yang jauh dari perbatasan dengan propinsi berbahasa Inggris, boleh dikata penduduknya hanya berbahasa Perancis 100%.  Mereka berkendala untuk mengucapkan kata-kata dengan Bahasa Inggris. Bahkan mahasiswa yang belajar di level university pun banyak yang kesulitan untuk bertutur kata dalam Bahasa Inggris di Quebec.
Di Quebec pun terdapat banyak kelompok-kelompok ultra-nationalis, yang seringkali mengibarkan issue tentang independensi melalui referendum. Untuk informasi, provinsi Quebec telah dua kali melakukan referendum untuk kemerdekaan, dimana referendum kedua tahun 1985, kelompok yang menginginkan merdeka mendapatkan 49.42% vote, sedangkan penduduk yang ingin tetap berada dalam Negara Canada mendapatkan suara 50.58%.  Tentunya kalah tipis yang menimbulkan kekecewaan bagi pihak independantist. Kelompok independantist ini menganggap masuknya Quebec ke Canada melalui Conquest tahun 1760 sangat menyakitkan, karena banyak nya korban di pihak Prancis kala itu.
Sejak kekalahan dari referendum merdeka itulah, Quebec mulai menerapkan strategi lain supaya mereka bisa menang dalam referendum berikut nya. Salah satunya, Quebec mewajibkan anak-anak bersekolah hanya di French school.  Untuk bersekolah di English school, orangtua harus memenuhi sejumlah persyaratan,  seperti hanya berbahasa ibu Bahasa English, dan harus mendapatkan ijin untuk bersekolah di English school.   Di French school pun banyak guru2 yang hanya berbahasa Prancis, dan cukup tinggi nationalism Quebec nya..
Upaya lainnya adalah hanya menyediakan public service unilingual, French only.  Berdasarkan undang-undang, public service dan business hanya menggunakan Bahasa French. Misalnya untuk layanan public healthcare, secara bertahap sudah diinsturksikan untuk hannya menggunakan Bahasa French, dan menyediakan brosur dalam satu Bahasa saja. Di dunia business pun juga ada yang diatur, bahwa kalau seseorang membuka bank account, kalau ingin service dalam Bahasa Inggris, harus menandatangin letter of consent, bahwa komunikasi tertulis,  menu ATM akan default menggukan  English.
Adanya gap kemampuan berbahasa ini lah yang kemudian sering menimbulkan insiden Bahasa di provinsi Quebec.  Misalnya kasus orang yang tidak dilayani dalam membeli ticket transport karena menyapa dalam Bahasa Inggris, sopir bus yang tidak responsive dan meminta sang penumpang untuk Parlez-Français svp!. Sampai ribut di dalam public transport karena ada warga Quebec yang merasa tersinggung kalau mendengar penumpang yang berbahasa Inggris. Belum lagi ribut2 soal Bahasa di restaurant cepat saji.. (http://www.cjad.com/cjad-news/2014/03/11/language-incident-at-laval-tim-hortons-sparks-call-for-boycott) Setiap bulan selalu saja ada kasus2 seperti itu.
Upaya prancisasi lainnya adalah dengan menerapkan undang2 bahwa business name di Quebec wajib menggunakan Bahasa Perancis,  dan semua peralatan electronic yang dijual wajib memiliki versi French atau menu electronic dalam Bahasa Perancis sebagai contohnya.  Jadi Quebec memiliki polisi Bahasa yang bisa mendenda pemilik business yang masih menggunakan English name.  Salah satu contoh business yang kena denda bisa dilihat di sini http://globalnews.ca/news/1671128/oqlf-targets-english-retail-websites/.  Contoh lainnya adalah, kalau anda pencinta video game, bilamana ada review game playstation baru, terkadang penulis yang mereview suka menambahkan catatan,  berhubung game ini belum memiliki content berbahasa Prancis, maka untuk membelinya silahkan berkunjung ke Ontario, atau menunggu beberapa bulan lagi sampai ada French version.
Akhir kata, kasus2 itu jumlahnya memang sangat kecil, karena mayoritas memang memilih pluralitas, terutama di daerah-daerah yang menjadi basis immigrant, tetapi tetap saja nasionalisme ala Quebec tidak akan pernah padam. Apalagi pemerintah juga secara halus mewajibkan kebanggaan untuk berbahasa Perancis.   Mungkinkah suatu saat nanti nasionalisme Quebecois akan padam, ataukah akan terjadi referendum ketiga kali nya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H