Mohon tunggu...
Marcellinus Vitus
Marcellinus Vitus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berfilsafat dengan Palang Pintu Kereta Api

17 Oktober 2015   10:56 Diperbarui: 17 Oktober 2015   10:56 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada hari Rabu, 14 Oktober 2015 yang lalu, saya menyempatkan diri untuk berjalan kaki dari tempat kediaman saya menuju Jatinegara (sekitar 7 km). Sungguh menyenangkan sekali perjalanan ini. Tidak banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang, membuat jalanan lebih senggang dan perjalanan saya menjadi lebih nyaman.

Ketika hampir sampai di stasiun Jatinegara, saya harus menyeberangi rel kereta api terlebih dahulu. Akan tetapi, saya tidak bisa menyeberang begitu saja karena palang kereta api sedang tertutup yang menandakan sebuah rombongan kereta api akan lewat. Bersama dengan beberapa pengguna jalan yang lain pun saya ikut mengantri dan menunggu. Ditunggu satu dua menit kereta tak kunjung lewat hingga membuat beberapa pengendara mulai geram. Beberapa dari mereka (pengendara sepeda motor) pun pada akhirnya nekat menerobos palang pintu kereta tersebut.

Fenomena ini pun saya jumpai ketika hendak bersepeda dari daerah Rawasari menuju Salemba. Ketika hendak melalui rel kereta api, saya menjumpai banyak pengendara (motor ataupun angkot) dengan nekat menerobos palang kereta padahal rombongan commuter line sudah berada dalam jarak yang amat dekat.

Menelisik maksud awal…

Mungkin kita pernah bertanya-tanya perihal maksud awal dibuatnya palang pintu kereta api ini; atau bahkan kita tidak pernah sedikit pun bertanya tentang hal ini.  Jawaban singkat nan sederhana kita untuk menjawab pertanyaan di atas mungkin adalah sebagai berikut: “Palang pintu kereta digunakan agar keamanan pengguna jalan terjaga” atau “adanya pintu kereta adalah sebagai simbol dan tanda bagi pengguna jalan bahwa kereta akan lewat”.

Akan tetapi, tahukah anda….. bahwa maksud awal dari pembuatan palang pintu kereta api ini adalah untuk mencegah hewan (ternak – sapi atau kerbau atau kambing/domba) masuk ke arah rel kereta api ketika kereta akan lewat. Karena hewan tidak memiliki akal budi maka dibuatlah penghalang  agar mereka tidak memaksa masuk dan melewati rel kereta api…

Seiring perkembangan waktu dan karena dilihat adanya hal dan dampak baik… palang pintu ini pada akhirnya digunakan pula sebagai penanda bagi pengguna jalan (sepeda, motor, atau pun mobil). Bentuk awal tetap dipertahankan dengan tetap menggunakan tiang panjang untuk menghalangi jalan…

Bentuk lainnya…

Mungkin diadakannya lampu lalu lintas pun juga awalnya terinspirasi dari palang pintu kereta ini. Namun, lampu lalu lintas amat berbeda dengan palang pintu kereta api. Bedanya adalah tiadanya penghalang konkret. Apa maksudnya? Adanya lampu lalu lintas sudah jelas dimaksudkan bagi manusia yang berakal budi. Adanya akal budi ini memampukan manusia untuk melihat, mengolah, menganalisis, hingga membuat keputusan perihal segala sesuatu yang ada di hadapannya. Hasilnya, adanya lampu lalu lintas ini membuat manusia diperlakukan sebagai manusia. Dengan akal budinya manusia kemudian bisa melihat, mengolah, dan menganalisis sebuah simbol (dalam hal ini sinar lampu merah/kuning/hijau) hingga kemudian mengambil keputusan atasnya (tetap jalan atau berhenti).

Idealnya ketika lampu sudah berwarna merah, pengendara harus berhenti; hijau untuk jalan dan kuning untuk bersiap-siap. Realita di masyarakat Jakarta (mungkin juga banyak di daerah lain) saat ini malah tidak karuan. Terkadang lampu merah bernyala, tetapi ada saja pengendara yang tetap lewat dengan santainya tanpa ada rasa bersalah. Hal ini diperparah dengan maraknya video singkat yang memperlihatkan seekor anjing yang hendak menyeberang jalan dan menunggu hingga lampu berwarna hijau, sementara dua gadis di sekitarnya tidak. Saya pun menjadi bertanya-tanya, apakah manusia atau kita kini cenderung untuk tidak menggunakan akal budi kita dan sekadar memilih hal-hal yang instan saja?

Kebiasaan – habitus – kultur – figur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun