Ide tulisan ini muncul ketika saya sedang mengikuti mata kuliah Filsafat Seni di STF Driyarkara. Seirama dengan tema pembahasan mata kuliah, saya tergelitik untuk menerapkannya dalam fenomena yang nampak dalam dunia keseharian sekitar saya, terutama yang berhubungan dengan apa yang disebut sebagai “karya seni” (meskipun akan ada perdebatan terkait dengan definisi dan penggolongan karya seni).
Kalau kita mencermati sembari merefleksikan fenomena “kesenian” yang ada di bumi Indonesia dewasa ini, pasti tidaklah asing dengan istilah “Dangdut Koplo”, “Stand Up Comedy”, dan pelbagai sinetron Turki yang marak ditayangkan di sebuah stasiun televisi. Ketiga acara ini memiliki kesamaan, yakni menyedot banyak pemirsa/penonton/konsumen sehingga ditayangkan dalam pelbagai cara secara masif.
Pertama, dangdut koplo. Meski jarang dijumpai penayangannya di televisi, acara ini dengan mudah dapat dijumpai di situs youtube. Tinggal tulisa saja entri “Dangdut Koplo” atau “Dangdut Pantura” di lama youtube maka kita akan disajikan ribuan video tentang tema terkait. Tiap video memiliki kesamaan. Kesamaannya adalah 1-2 penyanyi perempuan dengan penampilan “seksi” menggunakan kostum yang tidak matching dengan “suara pas-pas-an” dan ribuan penonton yang memadati sebuah lapangan tempat diselenggarakannya acara dangdutan ini. Penonton pun banyak yang bergoyang mengikuti irama lagu yang disajikan (entah goyangannya sesuai atau tidak, yang penting mereka bergoyang).
Kedua, Stand Up Comedy. Acara yang bercirikan one man show ini marak digandrungi penonton dari pelbagai jenjang usia. Berbeda dengan dangdut koplo, Stand Up Comedy banyak ditampilkan di pelbagai stasiun televisi, dengan pelbagai kompetisi menarik nan menggiurkan. Penonton pun diajak “mengocok perut” sembari melihat pelbagai perspektif fenomena kehidupan dari materi yang disajikan para komika: mulai dari ciri-corak fisik, birokrasi, hingga aneka kebudayaan Indonesia. Materi yang dekat dengan perspektif baru nanringan inilah yang memberi peran besar disukainya stand up comedy secara masif.
Ketiga, sinetron-sinetron Turki (atau kalau mau dimasukkan juga acara-acara sinetron yang “menghiasi” layar kaca televisi Indonesia setiap malamnya). Saya tidak tahu bagian mana yang menarik dari sinetron macam ini. Alur yang mudah terbaca, konflik yang sepertinya mengada-ada, hingga ditampilkan secara dubbing dari bahasa aslinya. Saya bahkan pernah bertanya-tanya mengapa acara semacam ini tetap ditampilkan, bahkan mendapat porsi waktu penayangan yang begitu besar. Adakah yang menonton? Ternyata, ada dan bahkan banyak. (Sebut saja - tanpa mendiskreditkan - para ibu rumah tangga, asisten rumah tangga, hingga para “orang kecil” yang tinggal di tempat kumuh). Dengan kata lain, sasarannya pertama-tama bukanlah mereka yang berpendidikan.
Ketiga “karya seni” ini menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Di antara ketiganya mungkin kita tidak dapat melihat bahkan menggali makna-makna substansial nanmendalam yang membawa pada sebuah permenungan keindahan. Ketidaksinkronan antara lagu, suara, kostum, dan goyangan dalam dangdut koplo, pelbagai materi komedi dalam stand up comedy, hingga alur tertebak dan konflik artifisial dalam sinetron-sinetron Turki malam hari, entah mengapa mampu menarik orang banyak untuk menyaksikan dan menikmatinya.
Filsuf kondang Yunani Kuno, Plato, memiliki pemikiran bahwa karya seni amat jauh dari kenyataan/kebenaran sesungguhnya. Karya seni merupakan “tiruan dari” (mimesis-memeseos) dari “dunia idea” tempat kebenaran sesungguhnya ternyatakan. (Bagi Plato, “dunia inderawi” merupakan tiruan dari “dunia idea”. Sementara itu, karya seni mendapatkan inspirasinya dari “dunia inderawi” sehingga amat jauh dari kebeneran – ada “tiruan ganda”.) Bahkan Plato menganggap bahwa karya seni membawa dampak buruk bagi masyarakat karena menjauhkan warga dari tugasnya membangun negara. (Visi politik Plato: setiap orang punya tugas khasnya masing-masing untuk membangun negara.) karya seni membuat warga terbuai oleh emosi dari sebuah tiruan yang jauh dari kenyataan.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles memiliki pandangan yang lebih moderat terkait karya seni. Aristoteles tidak memandang hakekat suatu benda terlepas dari realitas konkret, melainkan menyatu di dalamnya. Aristoteles, seperti Plato, memandang seni sebagai tiruan, tetapi tiruan dari realitas sejati karena bentuk-bentuk (forma) tidak terpisah dari dunia inderawi. Estetika merupakan proses pemberian bentuk pada forma. Pembuatan karya seni (pietike tekhne) harus melambangkan, mewakili, dan “mengandung” unsur-unsur universal.
Bagi Aristoteles, keberhasilan karya seni terjadi ketika karya seni dapa membawa para “penikmat”nya mencapai katharsis (ekstase). Melalui dan dalam katharsis terjadi pemurnian diri, “menjernihkan” pikiran dan jiwa penonton. Penonton seolah-olah dibawa pada dimensi lain sehingga dimampukan untuk me-refresh diri guna menyambut hari baru dengan aneka tantangannya.
Arthur Schopenhauer, seorang filsuf Jerman, pun memiliki pandangan yang sejalan dengan Aristoteles. Melalui seni, manusia dimampukan untuk mencapai dunia sesungguhnya (noetic world). Seni, terutama musik, menjadi jalan pintas untuk mengenal kebenaran sejati (semacam katharsis).
Pandangan ketiga filsuf kondang ini memberi perspektif baru dalam melihat fenomena “karya seni” yang ada di sekitar kita dewasa ini. Kita bisa berdebat terkait kualitas “karya seni” dalam Dangdut Koplo, Stand Up Comedy, dan sinetron-sinetron Turki. Akan tetapi, toh ketiga hal tersebut digandrungi banyak orang. Masing-masing memiliki pasarnya sendiri dengan jumlah penikmat yang tidak sedikit serta berbanding lurus dengan kemasifan penayangannya.