Mungkin beberapa dari anda yang membaca artikel ini bertanya-tanya tentang maksud artikel ini. Dalam artikel ini saya hanya ingin memberikan sebuah refleksi filosofis sederhana saya atas fenomena penerobosan palang pintu kereta api. Maksud saya begini, kita seringkali menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang lumrah terjadi. Celotehan-celotehan “namanya juga Jakarta…”, atau “sedang buru-buru kali…” seringkali juga menghiasi dan memenuhi pikiran kita. Hasilnya, kita memandannya sebagai sebuah kebiasaan masyarakat saja.
Akan tetapi, sadarkah kita bahwa kebiasaan ini dapat membentuk sebuah habitus bagi kita. Tidak hanya itu, dapat lagi berkembang menjadi kultur (identitas budaya kita); hingga yang terparah adalah menjadi figur (gambaran/sosok) bagi masyarakat kita. Maukah kita dipandang bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang sering melanggar peraturan (tidak menggunakan akal budi)…
Penerobosan palang pintu kereta api atau pun lampu lalu lintas merupakan salah satu bentuk pengkhianatan dan tidak digunakannya akal budi kita. Padahal akal budi merupakan pembeda konkret antara manusia denga makhluk lainnya.
Ketika ada sebuah video singkat yang menggambarkan betapa hewan terlihat lebih tertib daripada manusia… patutlah kita bertanya dan meringis perihal mulai ditinggalkannya penggunaan akal budi sebagai pembeda khas manusia…. Palang pintu kereta api (dan lampu lalu lintas) menyadarkan kita bahwa kita adalah makhluk (pengada) yang berakal budi….
Ingat! membiasakan diri akan membentuk habitus... habitus membentuk kultur... dan kultur membentuk figur bahwa manusia adalah makhluk berakal budi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H