Cheng Ho: Antara Sejarah dan Legenda Proses sejarah perkembangan Islam di Jawa seringkali dikaitkan dengan sosok laksamana besar dari Dinasti Ming yaitu Cheng Ho. Selain seorang pelaut dan negosiator ulung, Cheng Ho juga seorang muslim yang saleh dan giat melakukan syiar. Amen Budiman dalam bukunya "Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia" menuliskan bahwa pada awal abad 15, armada Cheng Ho pernah singgah di Semarang, tepatnya di sebuah tempat yang kemudian dikenal dengan sebutan Gedong Batu. Di sana Cheng Ho bersama pembantu utamanya, Wangji Hong, mengajar agama Islam kepada masyarakat sekitar dan mendirikan sebuah masjid dengan gaya arsitektur mirip klenteng tionghoa. Namun teori sejarah bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang tampaknya sangat lemah. karena dalam buku "Riwayat Semarang" karya Liem Thian Joe tahun 1931, tidak pernah dinyatakan Cheng Ho pernah singgah di Semarang. Armada yang singgah di Semarang bukan dipimpin oleh Cheng Ho tetapi oleh Sam Poo Kong. Oleh sebab itu di Semarang ada Kelenteng dan Masjid Sam Poo Kong. Tampaknya kemudian tradisi yang berkembang di masyarakat mencampuradukkan sosok Sam Poo Kong dengan Cheng Ho, padahal sebenarnya dua nama ini memang adalah tokoh yang berbeda. Dalam Harian KOMPAS edisi 7 Apil 2008 "Antara Fakta Sejarah dan Legenda Sang Laksamana", dinyatakan bahwa tidak ada bukti kuat bahwa Cheng Ho pernah singgah di Semarang pada tahun 1405, karena Semarang pada awal abad ke-15 adalah daerah tak bertuan, karena Kerajaan Demak belum tampil dan Majapahit masih menjadi bermahadiraja. Sebaliknya dalam tradisi Jawa, dikenal tokoh Dampo Awang selalu muncul di sejumlah tempat di pesisir utara pulau Jawa. Di Jepara, Rembang, dan Tuban dipercayai terdapat jangkar milik Dampo Awang. Selain itu satu-satunya kota di Jawa yang disebut dalam sumber China dan catatan Melayu adalah Jepara, sebuah kota kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah, sekitar 78 km dari Semarang. Pada masa itu (abad ke-15) Jepara telah menjadi pelabuhan internasional karena di sebelah utara Jepara terdapat pula situs peninggalan ekpedisi Alfonso Darlbuquerque berkebangsaan Portugis, diperkirakan pada abad ke-15. Hipotesa yang dapat dibuat adalah bahwa kedatangan armada China di Jawa sangat erat kaitannya dengan penyebaran Islam awal di Jawa. Namun kedatangan armada China ini tidak terjadi dalam satu waktu, tetapi terjadi beberapa kali dan pada titik-titk pelabuhan yang berbeda. Dalam pesinggahan armada China di Jawa tersebut sangat mungkin didahului dengan persinggahan di pelabuhan-pelabuhan sebelumnya, termasuk Kerajaan Champa yang mayoritas menganut agama Islam aliran Hanafi. Oleh karena itu distribusi ulama-ulama Champa sangat mungkin terjadi dalam proses tersebut. Sejarah Wali Songo
Muldjana memaparkan dalam bukunya "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" bahwa Residen Poortman tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu orang Cina. Raden Patah bergelar Penembahan Jimbun dalam Serat Kanda, dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata jim bun dalam salah satu dialek Cina berarti "orang kuat". Maka sang Residen itu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang ada di sana, sebagian sudah berusia 400 tahun-sebanyak tiga pedati. Arsip Poortman ini dikutip Parlindungan dalam bukunya "Tuanku Rao". Bila mengacu pada teori Prof Muldjana, ada dugaan kuat bahwa penyebaran awal Islam dilakukan oleh para ulama dari China, khususnya Champa, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan "Wali Songo". Perdagangan dan hubungan diplomatik Majapahit dengan China (Tiongkok) sudah dibangun kembali pada masa Ratu Suhita pada awal abad 15 Masehi. Pelabuhan Tuban menjadi sentra ekspor impor yang digawangi oleh utusan negeri Champa, yaitu Gan Eng Cu. Selain piawai dalam perdagangan, Gan Eng Cu juga seorang Islam Hanafi yang bersemangat menyebarkan syiar damai dan sangat menghormati kekuasaan Majapahit. Berdasarkan kronik Tionghoa di Klenteng Sam Poo Kong, berkat jasa Gan Eng Cu dalam bidang ekonomi, Ratu Suhita memberikan gelar Arya. Muldjana menduga bahwa Gan Eng Cu ini adalah Tumenggung Arya Wilwatikta, adipati Tuban, yang tidak lain adalah ayah dari Raden Said atau yang nama aslinya adalah Gan Si Ciang. Beliau nantinya bergelar Sunan Kalijaga, salah satu wali (ulama) yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.
Muldjana banyak menyitir buku karangan Parlindungan dan menyimpulkan, Bong Swi Hoo-yang datang di Jawa tahun 1445 Ms tidak lain adalah Sunan Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri. Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi kapitan Cina di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Masjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh. Akhirnya Muldjana menyimpulkan, Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah menurut Muldjana adalah Toh A bo, putra Sultan Trenggana (memerintah di Demak tahun 1521-1546). Sementara itu Sunan Kudus atau Jafar Sidik yang tak lain dari Ja Tik Su. Namun teori Muldjana perihal Sunan Kalijaga disangkal oleh budayawan muda Damar Shashangka, dengan menyatakan bahwa Prof. Muldjana mencoba merangkai data dari kronik Tionghoa, serat kanda, dan Babad Tanah Jawi, tapi melupakan babad Tuban. Dalam babad Tuban dikisahkan bahwa penguasa Tuban sekitar tahun 1400 awal adalah Adipati Arya Adikara. Adipati Arya Adikara memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Raden Ayu Teja dan yang bungsu bernama Dewi Retna Dumilah. Putri sulung ini, dinikahkan dengan seorang ulama muslim bernama Syeh Abdurrahman yang tidak lain adalah Gan Eng Cu. Sedangkan putri bungsu dinikahi oleh bangsawan Majapahit bernama Wilwatikta, yaitu ayah dari Raden Said. Jadi Raden Said adalah keponakan Gan Eng Cu, dan tidak memiliki darah Tionghoa sama sekali. Dr. Said Aqil, sesepuh NU menyatakan bahwa dalam silsilah pengembangan Islam di Asia dan Indonesia ada pihak-pihak yang perlu diperhatikan yakni Achmad bin Isa, bin Ali Uraidi bin Ja’far Sadiq bin Muhammad Bakir bin Ali bin Abidin, bin Husain bin Ali bin Fatimah binti Rasullullah. Achmad bin Isa pindah ke negeri Campa dan kawin dengan wanita Tionghoa dan mempunyai anak Abdul Qodir (Tan Kim Han). Dia ini gugur melawan Mojopahit dan dimakamkan di Desa Tuloyo, Mojokerto. Tan Kim Han, menurut Said Aqil, menurunkan anak bernama Raden Rachmad Sunan Ampel, lalu menurunkan KH. Hasim Asy’ari, dan selanjutnya menurunkan KH Wahid Hasyim dan punya anak bernama KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kata Walisanga yang selama ini diartikan sembilan (sanga) wali, ternyata masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain. Sebagian sejarahwan berpendapat bahwa kata 'sanga' berasal dari kata 'tsana' dari bahasa Arab, yang berarti mulia. Pendapat lainnya menyatakan kata 'sanga' berasal dari kata 'sana' dalam bahasa Jawa yang berarti tempat. Sedangkan kata Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisanga, dipercaya berasal dari dialek Hokkian 'Su' dan 'Nan'. 'Su' merupakan kependekan dari kata 'Suhu atau Saihu' yang berarti guru. Disebut guru, karena para wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab Hanafi. Sementara 'Nan' berarti berarti selatan, sebab para penganut aliran Hanafiah ini berasal dari Tiongkok Selatan.
Keruntuhan Majapahit dan Kebangkitan Demak
Pada masa pemerintahan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) tahun 1474-1478, Majapahit mulai mengalami banyak kemunduran. Selain karena pengaruh bangkitnya Blambangan pasca perang paregreg tahun 1404, juga adanya kemerosotan wibawa raja dan bangsawan kerajaan kala itu. Dalam Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi dikisahkan Jim Bun alias Raden Patah, anak Kertabhumi dari selirnya yaitu seorang putri Cina yang menganut agama Islam, menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Raja Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah. Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit dengan ditemani oleh Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Tujuannya adalah untuk meminta pengakuan bahwa Jim Bun adalah anak raja dan layak mendapat bagian kekuasaan. Raja Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara. B
abad Tanah Jawi dan Serat Kanda mengisahkan bahwa Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Tahun wafatnya Sunan Ampel masih spekulatif, namun menurut Serat kanda dikisahkan bahwa pada tahun 1479 yang meresmikan Masjid Demak dan menobatkan Raden Patah sebagai sultan, bukan Sunan Ampel, melainkan Sunan Giri, sehingga diperkirakan Sunan Ampel sudah wafat pada tahun sebelumnya. Kepemimpinan Wali Songo oleh Sunan Giri berbeda dengan Sunan Ampel. Sunan Giri memiliki ambisi politis untuk menundukkan Majapahit dan membesarkan Demak. Menurut Prof. Muldjana, kronik Cina memberitakan adanya penyerangan Jim Bun melawan Kung-ta-bu-mi (Kertabhumi / Brawijaya) pada tahun 1478. Perang terjadi setelah wafatnya Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jim Bun menggempur ibu kota Majapahit. Raja Brawijaya ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Kitab Pararaton (pada bagian akhir) memberi keterangan berbeda, yaitu Raja Kertabhumi (Brawijaya) wafat tahun 1400 Saka (1478 Ms) di dalam keraton. Artinya pada saat penyerangan Demak ke Majapahit, Raja Brawijaya terbunuh di dalam keraton. Sejak penyerangan Demak tahun 1478, Majapahit berhasil ditundukkan di bawah pemerintahan Demak. Pada saat ini Kerajaan Majapahit tidak serta merta musnah, namun masih ada tetapi menjadi negara bawahan Demak. Kronik Cina mencatat bahwa Jim Bun menunjuk seorang Cina bernama Nyoo Lay Wa sebagai raja boneka Majapahit. Namun pada tahun 1485 terjadi pemberontakan kaum pribumi yang menyebabkan Nyoo Lay Wa mati. Lalu Jim Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga masih menantu Kung-ta-bu-mi. Hal ini bertalian dengan Prasasti Petak yang mencatat adanya penyerangan Sang Munggwing Jinggan dan Girindrawardhana ke Majapahit pada tahun 1486. Pada persitiwa itu Sang Munggwing Jinggan gugur. Atas data ini, maka dapat diasumsikan bahwa tokoh Pa-bu-ta-la yang tertulis pada kronik Cina tidak lain adalah Girindrawardhana. Girindrawardhana juga menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 sebagai maklumat bahwa ia adalah penguasa baru Majapahit (Wilwatikta, Jenggala dan Kediri). Pemberontakan Ki Ageng Kutu dan Sejarah Reog Ponorogo
Adalah seorangdemang atau kepala Desa Kutu (daerah Kecamatan Jetis, selatan Kota Ponorogo) yang bernama Ki Ageng Kutu atau nama lengkapnya Ki Ageng Ketut Suryongalam. Ia mengendus adanya gelagat Jim Bun untuk menggulingkan kekuasaan Majapahit. Ia merasa tidak puas melihat ketidaktegasan raja menolak permintaan Jim Bun. Ia juga tidak puas terhadap sikap raja yang terlalu lembek sehingga banyak diatur oleh permaisuri kerajaan dalam mengambil keputusan. Ki Ageng Kutu melakukan boikot pembayaran pajak, upeti, dan semua persembahan kepada raja. Batara Katong, seorang bangsawan Demak berupaya menundukkan kademangan Kutu. Batoro Katong adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dengan Putri Campa yang beragama Islam. Jadi Batara Katong adalah adik dari Jim Bun alias Raden Patah. Cerita perang Kutu-Katong, terlukis dalam Babad Ponorogo berlangsung sangat seru dan heroik. Keduanya sama-sama sakti dan mempunyai bala tentara yang banyak dan kuat. Namun akhirnya pasukan Ki Ageng Kutu dapat dipukul mundur ke daerah perbukitan selatan Ponorogo. Sedangkan Batara Katong diangkat oleh Demak sebagai Bupati Ponorogo. Salah satu bentuk protes Ki Ageng Kutu terasopsi dalam bentuk simbolis tari Reog yang berkembang di masyarakat Ponorogo hingga sekarang. Dadak-merak berunsur utama kepala harimau yang ditunggangi seekor merak dengan bulu ekor yang mengembang. Prabu Bhre Kertabhumi dilambangkan sebagai harimau dan isterinya yaitu putri Cina dilambangkan merak. Pembuatan barongan itu sendiri bertujuan untuk menyindir Raja Majapahit yang dianggap tidak dapat menjalankan tugas kerajaan secara adil dan tertib karena dipengaruhi oleh permaisurinya. Unsur Budaya Cina (Tinghoa) dalam Bangunan Masjid Islam Abad 15 – 17 di Jawa Cendekiawan NU, Sumanto Al-Qurtuby menyatakan bahwa ada persepsi yang kurang tepat di kalangan publik Muslim dewasa ini yang meyakini bahwa proses islamisasi di Jawa itu datang langsung dari Arab atau minimal Timur Tengah, bukan dari Cina. Kalaupun sebagian mereka ada yang menganggap adanya pengaruh Gujarat-India, namun Gujarat yang sudah ‘diarabkan’. Padahal bila diteliti, masjid kuno di Jawa abad 15 dan 16 mempunyai bentuk yang sangat spesifik. Arsitektur abad ke 15 dan 16 merupakan arsitektur transisi dari arsitektur Jawa-Hindu/Budha ke arsitektur Jawa-Islam. Masa transisi tersebut melahirkan bentuk-bentuk bangunan Masjid yang sangat spesifik. Qurtuby menyebut abad 15-17 sebagai jaman Sino-Javanese Muslim Culture dengan bukti di lapangan seperti: Konstruksi Masjid Demak (terutama soko tatal penyangga Masjid), ukiran batu padas di Masjid Mantingan, hiasan piring dan elemen tertentu pada Masjid Menara di Kudus, ukiran kayu di daerah Demak, Kudus dan Jepara, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, elemen-elemen yang terdapat di keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, dsb.nya, semuanya ini menunjukkan adanya pengaruh pertukangan Cina yang kuat sekali. Handinoto dan Samuel Hartono dalam jurnalnya “Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan Masjid Kuno di Jawa Abad 15-16”, memaparkan adanya bukti-bukti pengaruh gaya pertukangan Cina pada 3 masjid kuno di Jawa antara lain: 1. Masjid Demak
Masjid Demak merupakan salah satu Masjid yang terpentng dan tertua di Jawa (1479). Masjid ini telah mengalami renovasi berulang-ulang sehingga menjadi wujudnya seperti yang sekarang ini. Masjid Demak didirikan pada masa kerajaan Demak yang diperintah oleh Raden Patah pada abad ke 15. Hampir semua sumber historiografi lokal menyebutkan bahwa Raden Patah atau Jim bun adalah seorang Cina Muslim. Yang menjadi kontroversial sampai sekarang adalah fenomena sokotatal, yang merupakan konstruksi utama (sokoguru) pada Masjid Demak tersebut. Menurut catatan Melayu yang dikutip Graaf dikatakan bahwa pembangunan Masjid Demak pada jaman Raden Patah tidak kunjung selesai disebabkan karena adanya kesulitan untuk mendirikan atap dari konstruksi kayu dengan luas 31x31 M, sebab sebelumnya pertukangan setempat tidak pernah membangun bangunan dengan sistim konstruksi kayu dengan bentang sebesar yang ada di masjid tersebut. Selanjutnya Bong Kin San, penguasa di Semarang yang juga ipar Raden Patah, menyediakan diri untuk menyelesaikan sistim konstuksi kayu di Masjid Demak yang tak kunjung selesai tersebut. Kin San membawa ahli-ahli pembuat kapal Cina dari pelabuhan Semarang, untuk membangun Masjid Demak tersebut. Itulah sebabnya sokotatal tersebut konsruksinya sangat mirip dengan teknik penyambungan pertukangan kayu pada tiang-tiang kapal Jung Cina. Ada pula kesamaan bahan bangunan yang digunakan pada kelenteng Talang (1428) di Cirebon, dengan bahan bangunan yang digunakan di Masjid Demak. Bahan-bahan tersebut antara lain tegel bata kuno ukuran 40x40 cm, bata merah kuno ukuran 28x14 cm, serta banyak paku kuno segi empat. Selain itu juga cara penyelesaian hubungan antara kolom-kolom struktur utama masjid dengan tanah dipakai batu alam sebagai perantara. Batu tersebut disebut sebagai ‘umpak’ (dalam ilmu konstruksi perletakan seperti itu disebut sebagai perletakan sendi). Ini mengingatkan kita tentang batu umpak yang ada di kelenteng-kelenteng sepanjang pantai Utara Jawa serta Masjid-masjid Cina di Kanton. Bentuk mustoko (hiasan yang ada di puncak atap masjid), berbentuk bola dunia yang dikelilingi oleh 4 ekor ular jelas terinspirasi oleh tradisi Cina. Hal lain misalnya tepatnya di “mihrab”, pada temboknya terdapat gambar kura-kura. Menurut tradisi Cina jaman itu, lambang kura-kura merupakan simbol kemenangan dinasti Ming (1368-1644), saat berhasil mendirikan dinastinya. Gambar kura-kura pada mihrab Masjid Demak menunjuk pada candra sengkala "Sirna Ilang Kertaning Bumi" (Sirna = 0, Ilang = 0, Kerta = 4, Bumi = 1). Kepala kura-kura melambangkan angka 1. Empat kaki kura-kura melambangkan angka 4. Tubuh kura-kura melambangkan angka 0. dan ekor kura-kura melambangkan angka 0. Jadi artinya tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Mihrab masjid dapat pula ditafsir sebagai candra sengkala "Sariro (1) Sunyi (0) Kiblating (4) Gusti (1)" yang menunjuk pada tahun saka 1401 atau 1479 Masehi. Sebagaimana diketahui bahwa mihrab adalah bangunan pertama dan utama masjid, sehingga dapat disimpulkan bahwa Masjid Demak dibangun pada sekitar tahun saka 1400 – 1401 atau 1478 – 1479 Ms. Dalam tradisi Jawa, candrasengkala "Sirna Ilang Kertaning Bumi" merupakan perlambang penanda waktu runtuhnya Kerajaan Majapahit sekaligus bangkitnya Islam Demak. Sedangkan gambar kura-kura merupakan simbol yang digunakan oleh Dinasti Ming Tiongkok pada akhir abad 13 sebagai lambang kemenangan. 2. Masjid Kudus
Masjid Kudus atau Masjid Menara didirikan tahun 1537 oleh Kyai Ja’far Sodig atau Sunan Kudus. Pengaruh arsitektur Hindu terlihat pada menaranya serta gerbang-gerbang yang dipakai sebagai pintu masuk. Pengaruh Cina yang mencolok pada Masjid ini antara lain adalah hiasan-hiasan piring porselen Cina pada dinding-dinding Masjid. Bahkan di dinding menaranya terdapat piring-piring yang berasal dari negeri Cina. Sistim konstruksi kayunya yang juga menggunakan 4 buah soko guru seperti halnya konstruksi kayu Masjid Demak. Hipotesa yang mungkin adalah konstruksi kayu Masjid Kudus juga dikerjakan oleh tukang-tukang kayu Cina dari galangan kapal di Semarang. Menurut cerita tutur setempat ilmu pertukangan dan ukiran kayu di daerah Kudus adalah warisan dari Kyai The Ling Sing, yang makamnya terletak tidak jauh dari Masjid Menara Kudus dan tahun kematiannya diperingati setiap tanggal 15 suro (Muharam). 3. Masjid Mantingan
Bentuk Masjid Mantingan juga menggunakan sokoguru, atapnya bersusun tiga, adanya serambi didepan, denahnya berbentuk segi empat. Masjid ini didirikan pada th. 1559 pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat sesuai candra sengkala yang berbunyi ”Rupa (1) Brahmana (8) Warna (4) Sari (1)” = 1481 Saka = 1559 Ms. Ukiran pada dinding Masjid yang terbuat dari batu padas kuning jelas bermotif Cina, merupakan salah satu bukti adanya campur tangan pertukangan Cina di Masjid ini. Bahkan R.A. Kartini (pahlawan wanita nasional yang asal Jepara) pernah menulis dalam kumpulan catatannya (Kartini, Door duisternis), mengatakan bahwa dia pernah mengunjungi tempat permakaman Sultan Mantingan (Pangeran Hadliri), dimana di dalamnya banyak terdapat ukir-ukiran dan serta rumah-rumahan yang bercorak Cina. Tokoh pertukangan kayu yang berperan besar di daerah Jepara adalah Tjie Wie Gwan.
Makam Tjie Wie Gwan terletak di antara makam pangeran Hadiri dan Ratu Kalinyamat. Ukir-ukiran kayu yang indah bergaya Cina di makam dalam komplek Masjid Mantingan tersebut diperkirakan orang setempat sebagai karya Tjie Wie Gwan, karena ia meninggal beberapa tahun setelah meninggalnya Ratu Kalinyamat. Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya