Dalam beberapa forum komunitas sejarah Jawa Timuran, saya mengkritik pemilihan busana adat Jawa Timur sebagaimana yang diakui secara umum saat ini. Entah dari mana awalnya, tetapi yang jelas sejak saya SD sampai sekarang selalu saja gambaran busana adat Jawa Timur adalah busana "Suroboyoan" ala Wak Sakerah. Busana tersebut sangat simpel, berupa kombinasi kaos oblong lorek-lorek, dengan kemeja polos dan celana kolor hitam, mirip yang biasa digunakan oleh Blantik Sapi atau seniman Reog Jaranan.
Bukannya saya bermaksud merendahkan kesenian rakyat Madura atau Surabaya, tetapi hendaknya pemilihan busana adat lokal mengusung model yang paling representatif, yaitu memiliki riwayat sejarah yang dominan pada kawasan tersebut. Selain itu perlu dipertimbangkan pula aspek kepatutan ditinjau dari estetika dan kelas busana adat. Tentu lebih mudah diterima bahwa busana adat itu identik dengan busana kelas bangsawan ketimbang busana untuk pergi ke pasar.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam rentang sejarah Jawa Timur, riwayat kesejarahannya didominasi oleh 3 kerajaan besar, yaitu Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit. Barulah pada era Jawa Baru, masuklah pengaruh budaya dari Kerajaan Mataram Islam dari Jawa Tengah.
Semestinya pemilihan busana adat Jawa Timur mengacu pada busana bangsawan dari Kediri, Singosari dan Majapahit. Jika mau agak mundur ke era Mataram Islam juga boleh-boleh saja, yaitu menggunakan busana adat bangsawan Keraton Solo atau Jogja, tapi dikhawatirkan nanti akan tumpang tindih dengan busana adat Jawa Tengah, sehingga tidak jelas ciri khasnya.
Apapun pilihan model busana adat berdasarkan busana bangsawan kerajaan di atas jelas jauh lebih baik daripada busana ala blantik sapi yang sekarang banyak dipublikasikan sebagai ikon busana adat Jawa Timur. Koreksi busana adat ini penting demi mengembalikan lagi memori masyarakat Jawa Timur tentang kebesaran sejarah leluhurnya.
Menurut pendapat saya, dominasi kultur Surabaya atas Jawa Timur pada era modern saat ini berpengaruh besar pada pemiskinan potensi-potensi sejarah Jawa Timur itu sendiri. Harus diakui bahwa Surabaya, kendati berstatus sebagai ibu kota propinsi, adalah wilayah yang paling miskin jejak sejarah kuno di Jawa Timur. Maka pemilihan atribut lokal Suroboyoan sebagai representasi budaya Jawa Timur saya rasa perlu dikoreksi kembali. Mungkin busana adat tampaknya sepele untuk dibahas, tapi tanpa disadari busana adat jelas mencerminkan kebesaran peradaban. Dan tentu saja peradaban Jawa Timur jauh lebih agung untuk dicerminkan melalui busana blantik sapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H