Mohon tunggu...
Irene Santika
Irene Santika Mohon Tunggu... -

Karena langit adalah kitab yang terbuka. bintang menjadi penunjuk arah saat kau terjebak di tengah samudera...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Janger 1897 Saka dan Refleksi Saya

23 Maret 2011   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:32 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Art shop megah berleret memagar sawah
Cottage mewah berjajar dipantai indah
Karya - cipta nan elok - indah ditantang alam modernisasi
Permai alam mulai punah karena gersang rasa mandiri

Boleh saja bersikap selalu ramah-tamah
bukanlah berarti bangsa kita murah
Kalau kawan tah berhati-hati bis punah budaya asli
Kalau punah budaya asli harga diri tak ada lagi

(Janger 1897 Saka-Guruh Gipsy)

Penggalan lagu diatas bagi saya cukup menggelitik dan menyindir, apalagi jika saya merefleksikannya dengan kota Yogyakarta sendiri. Kota ini disebut-sebut sebagai kota budaya selain memiliki gelar abadi sebagai kota pelajar. Tapi kalau saya memperhatikan, pembangunan hotel ada di sana sini, dan di kota ini pula seperti ada mendirikan mal dan pusat perbelanjaan lain. Ambarukmo Plaza yang ramainya seperti seperti gula dikerubuti semut, penyebab utama kemacetan di jalan Solo. Rumah makan yang berbau Amerika ramainya mengalahkan burjo dan angkringan di akhir bulan. Gedung bioskop XXI juga tak kalah pamor. Mereka yang berpasang-pasang dan berombongan mengantri tiket nonton seperti antri sembako menjelang hari raya. Baik siang maupun malam, saat pengunjungnya masih berseragam atau tidak, tempat-tempat ini pantang sepi.

Di sisi lain, Pasar Beringharjo yang kotor dan padat, bikin sesak nafas. Jalan Malioboro yang macet, penuh teriakan dan alunan klakson. Benteng Vredeburg beralih fungsi menjadi tempat pameran. Gedung-gedung di kilometer nol menjadi tempat pemotretan. Alun-alun menjadi pasar malam.Yang tersisa hanya keraton dan Taman Sari yang menjangkaunya saja perlu berdebat dengan tukang becak dulu.

Mungkin benar yang disinggung Guruh Sukarno Putra dalam lirik Jangernya. Segala macam kekayaan asli hanya menjadi ukuran untuk konsep kuno dan kampungan. Sedang yang bola berkelap kelip dan ruang minimalis itulah yang disebut mewah dan modern. Gambar bergerak dalam layar putih menjadi lebih mahal ketimbang jalan-jalan ke candi. Seloyang kecil roti bertabur daging dan saus harganya setara dengan empat bahkan lima bungkus pecel yang jauh lebih mengenyangkan dan menyehatkan. Atau ketika berlibur, pilihan liburan jatuh pada negara-negara tetangga ketimbang untuk melancong ke Ende untuk melihat danau Kelimutu atau ke Lombok untuk bermain sepuasnya di pantai. Mungkin pilihan anda tidak jatuh ke pilihan yang saya berikan ini karena anda takut hitam tersengat matahari? Sadarilah, kulit asli Indonesia bukan putih seperti porselen, tapi sawo matang yang sangat eksotik. Segala macam sebutan cantik dan putih di televisi itukamuflase semata.

Masih ingatkah anda dengan dongeng sebelum tidur saat anda kecil dulu? Apa yang diceritakan oleh ibu atau siapapun penuturnya? Cerita Cinderella ataukah Puteri Salju? Adakah yang bercerita tentang Ciung Wanara dan Rara Jonggrang? Mungkin ibu saya adalah satu dari sedikit ibu yang menceritakan tentang cerita rakyat itu. Hingga kini, cerita Ciung Wanara tetap menjadi cerita kesayangan saya. Cinderella hanya bisa menunggu peri yang menyulap labu menjadi kereta kencana. Tapi Ciung Wanara melatih ayam jagonya agar mampu melawan ayam jago milik raja. Rara Jonggrang berlari tergesa membangunkan embannya untuk kemudian memukul lesung saat Bandung Bandawasa tengah menyuruh para jin membangun seribu candi. Putri Tidur hanya terlelap menunggu kecupan dari pangeran. Bangsa ini telah mengajarkan bahwa kemenangan hanya milik mereka yang tangguh dan bekerja keras.

Berapa orang dari anda yang bisa menari tari tradisional? Berapa yang masih ingat dengan permainan gobak sodor dan engklek? Ketika kini kita sebut kata ‘tari’, yang teringat adalah tari yang bertempo cepat, berjungkir balik, memutar badan dengan kepala dibawah. Sedikit sekali yang terbayang dengan gemulainya gerak tari dengan jari lentik dan selendang yang tak pernah lepas dari pinggang. Atau, karena kini lapangan-lapangan bermain sudah disulap menjadi gedung bertingkat, bermain menjadi olahraga pencet memencet di depan layar kaca. Kalaupun tidak, bermain adalah nongkrong di pinggir-pinggir jalan, beradu dengan musuh maya di komputer, menulikan telinga di berbagai wahana permainan didalam mal. Berbagai sarana untuk menghabiskan uang dalam sekejap.

Saat saya berjalan mengitari jalan Malioboro hingga ditepian pasar sore, tak ada yang peduli dengan ibu tua dengan gasing jualannya atau kitiran kertas warna warni yang berputar saat angin menerpa. Tak jauh, seorang ibu dan anak perempuannya lewat. Si kecil tengah memeluk boneka perempuan pirang yang harganya saya berani bertaruh akan setara dengan membeli semua mainan yang dijual ibu tua tadi.

Memang tidak berdosa untuk mencintai dan gandrung dengan berbagai macam bentuk yang bukan milik bangsa kita. Tapi masihkah kita peduli, bahwa kita juga memiliki warisan budaya dan alam yang bisa dibanggakan ketimbang tergila-gila dengan milik bangsa lain. Satu hal yang perlu direfleksikan bersama Guruh, kalau punah budaya asli, harga diri tak ada lagi.

(Lintang Samudera)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun