Menelisik Lorong Waktu Perjalanan Pers di Indonesia Lewat Kunjungan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ke Monumen Pers Nasional
Surakarta - Pada Rabu (04/09/2024), rombongan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) melakukan kunjungan ke Monumen Pers Nasional. Rombongan tersebut terdiri dari 25 mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia beserta seorang dosen pengampu mata kuliah Jurnalistik Cetak.
Monumen Pers Nasional berlokasi di Jl. Gajahmada No.59, Timuran, kecamatan Banjarsari, kota Surakarta, Jawa Tengah. Gedung yang menyimpan banyak sejarah mengenai pers ini terbuka setiap hari, kecuali pada hari libur nasional, pada pukul 09:00-15:00 WIB. Pengunjung tidak akan dikenakan biaya apapun untuk masuk maupun saat membutuhkan fasilitas pemandu.
Begitu masuk, rombongan dari Universitas Sebelas Maret dibawa menuju sebuah ruangan, dan diajak untuk memirsa sejarah berdirinya gedung Monumen Pers Nasional. Monumen ini dibangun pada 1918 oleh KGPAA Sri Mangkunegara VII. Sebagaimana yang diketahui bahwa tempat untuk berkumpul maupun mencari hiburan seperti Societeit mulai berkembang pada era tersebut. Begitu pula Monumen Pers yang dahulu juga berfungsi sebagai balai pertemuan dengan nama “Societeit Sasana Soeka” dan kini menjadi satu-satunya gedung peninggalan Societeit yang masih berdiri di kota Surakarta.
Monumen Pers Nasional menjadi tempat yang mewadahi kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tanggal 9 Februari 1946, yang kini ditetapkan menjadi Hari Pers Nasional. Selain itu, pernah diadakan rapat di Monumen Pers Nasional yang akhirnya membentuk stasiun radio bernama “Solosche Vereeniging (SRV)”. Setelah mengenal lebih jauh mengenai latar belakang pendirian Monumen Pers Nasional, rombongan mahasiswa dipandu untuk berkeliling mengamati ragam sejarah yang tersimpan di dalam monumen.
Pemandu menjelaskan lini masa perkembangan surat kabar tokoh-tokoh penting yang menghiasi sejarah pers, juga benda-benda peninggalan yang menjadi saksi bisu perjuangan pers di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah perangkat dari radio yang dijuluki sebagai “Radio Kambing” sebab disiarkan saat sedang bersembunyi dari agresi militer Belanda tahun 1948-1949 di dekat kandang kambing, sehingga terdapat embikan sebagai latar suaranya. Kemudian ada mesin tik, radio yang mulai menggunakan listrik, dan kamera merk RICOH peninggalan wartawan Udin.