Mengapa Rokok Elektrik Jadi Perhatian?
Dalam beberapa tahun terakhir, rokok elektrik atau vape menjadi sorotan. Rokok elektrik menjadi simbol gaya hidup modern, terutama di kalangan anak muda. Dengan desain modern, berbagai rasa yang menarik, serta klaim sebagai alternatif yang lebih aman daripada rokok tembakau, membuat penggunaannya melonjak tajam. Rokok elektrik dianggap sebagai "jalan keluar" dari rokok tembakau yang lebih berbahaya. Namun, di balik tren ini, muncul kekhawatiran: apakah kita menciptakan generasi baru yang kecanduan nikotin?
Pemerintah Indonesia menjawab kekhawatiran ini dengan menaikkan cukai rokok elektrik. Kebijakan ini bertujuan unntuk mengendalikan konsumsi, melindungi  kesehatan masyarakat, sekaligus meningkatkan penerimaan negara. Langkah ini bertujuan mengendalikan konsumi sekaligus melindungi masyarakat dari dampak buruk jangka panjang. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar mengatasi masalah atau malah menciptakan dilema baru?
Cukai: Upaya Mencegah Kecanduan
Mulai 1 Januari 2024, pemerintah Indonesia memberlakukan kenaikan cukai rokok elektrik sebesar 10%. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2022 dan Nomor 192/PMK.010/2022, sebagai bagian dari upaya nasional untuk menekan angka kecanduan, terutama di kalangan remaja. Harapannya, dengan harga yang lebih mahal, calon pengguna pemula akan berpikir dua kali sebelum mencoba rokok elektrik yang kian populer.
Kenaikan harga rokok elektrik ini sejalan dengan strategi kesehatan global yang menempatkan harga tinggi sebagai senjata ampuh melawan konsumsi produk adiktif. Negara-negara seperti Inggris telah menunjukkan bagaimana kebijakan serupa berhasil menurunkan angka perokok secara signifikan. Dengan langkah ini, Indonesia berusaha mengikuti jejak positif tersebut, membawa harapan besar untuk masa depan generasi muda yang lebih sehat.
Namun, di balik langkah yang tampak progresif ini, tersimpan tantangan kompleks yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Pengguna rokok elektrik di Indonesia tidak hanya memanfaatkan produk ini sebagai pelarian dari rokok konvensional, tetapi juga sering kali menjadikannya sebagai sarana untuk mengatasi tekanan psikologis dan emosional. Bagi banyak orang, terutama mereka yang sudah ketergantungan, kenaikan harga ini bisa menjadi pukulan telak. Bukan hanya soal biaya, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan ini memengaruhi kesehatan mental mereka yang belum siap untuk berhenti. Tekanan akibat tidak mampu membeli rokok elektrik atau bahkan terpaksa beralih ke alternatif yang mungkin lebih berbahaya, bisa menimbulkan masalah baru yang sama seriusnya.
Dampak Psikologis: Stres, Frustasi, dan Kecemasan.
Bagi sebagian pengguna, kenaikan harga rokok elektrik membawa dampak lebih dari sekadar pengeluaran tambahan, tetapi juga membawa dampak mendalam pada sisi psikologis pengguna. Banyak yang mengandalkan vape sebagai pelarian dari stres dan kecemasan. Sehingga ketika harganya melonjak, bukan hanya dompet yang tertekan, tetapi juga kondisi mental mereka yang bergantung pada rokok elektrik untuk menghadapi hari-harinya.
Bagi sebagian besar pengguna, terutama yang sudah kecanduan nikotin, berhenti dari vape bukanlah pilihan yang mudah. Proses ini sering kali diiringi efek samping yang signifikan, seperti rasa mudah marah, sulit berkonsentrasi, dan bahkan gejala depresi ringan. Tanpa dukungan yag memadai, baik dari keluarga, teman, maupun akses ke layanan konseling, efek ini bisa menjadi penghalang besar dalam upaya mereka melepaskan diri dari ketergantungan.