Berbicara tentang kehidupan anak muda memang tak pernah ada habisnya. Anak muda, yang kebanyakan tengah mengalami krisis identitas akibat peliknya permasalahan yang dihadapi di masa transisi, tak jarang ingin mencapai kebebasan yang didambakan. Memegang sebuah beban sebagai harapan bangsa tak lantas membuat semua anak muda menerimanya sebagai tanggung jawab yang harus dijalankan bersama, sebagian besar justru merasa tersesat hingga melakukan hal-hal yang melanggar norma. Rasa ingin tahu yang besar membuat para pemuda ini ingin selalu mencoba hal-hal yang baru untuk memenuhi rasa penasaran.
Menjadi seorang pemuda berarti harus siap menghadapi penilaian-penilaian. Pemuda masa kini tak lagi menghadapi permasalahan yang pendek seperti cinta, angan-angan dan mimpi sesaat belaka, namun juga dituntut untuk cerdas dalam menyikapi isu yang tersebar di masyarakat dan menjadikannya sebagai bahan pembelajaran untuk dirinya sendiri.
Hidup sebagai mahasiswa rantau tidaklah mudah, sebagai seorang calon sarjana yang sedang berusaha untuk meraih gelarnya, tak jarang saya dihadapkan pada permasalahan-permasalahan sosial di sekitar saya, termasuk sebuah fenomena yang baru saja terjadi. Ada sebuah kampanye yang sedang berusaha untuk diangkat oleh mahasiswa-mahasiswi UPN Veteran Jawa Timur. Mereka menggalakkan kampanye "celup", yang merupakan akronim dari cekrek, laporkan, upload.Â
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Sebagai masyarakat dengan pengakses media sosial yang tersebar di berbagai daerah tersebut, maka tak heran bila sebuah isu akan cepat berkembang dan membentuk sebuah opini masyarakat yang massive.
Warganet yang memiliki akses bebas ke semua media sosial yang kebetulan melihat isu ini kemudian ramai berdebat dan mengomentari kasus yang terjadi. Sebagian menyalahkan tingkah mahasiswa yang dirasa melanggar privasi individu, sebagian lagi membenarkan tindakan itu sebagai upaya untuk mengembalikan norma ketimuran yang sejak lama telah dianut oleh Bangsa Indonesia.
Terlepas dari itu semua, yang menjadi permasalahan kita sesungguhnya ada pada opini yang menjurus pada penilaian dan tuduhan. Masyarakat kita telah terjebak pada nilai benar dan salahnya masing-masing, ketika pada era ini kita sebenarnya dituntut untuk melihat dari dua sisi permasalahan, bukan hanya dari satu sisi saja.
Pemuda masa kini tidak hanya dihadapkan pada isu dan masalah sederhana semacam problematika cinta atau patah hati saja, karena harusnya, kita sudah bisa memprioritaskan diri pada solusi dan penyelesaian yang berdaya guna bagi lingkungan sosial kita. Jika kamu suka kegiatan di luar, maka mendaftarlah sebagai relawan, mendakilah dan bicara pada orang-orang di sudut pedalaman, lalu ajari mereka untuk bermimpi.Â
Jika kamu suka berbisnis, kembangkanlah kemampuanmu dan dekati masyarakat untuk membuat suatu produk yang bermanfaat dan menyerap tenaga kerja. Jika kamu suka bermusik, ciptakanlah aransemen yang memiliki harmoni dan nada yang memberi semangat pada orang-orang yang mendengarkannya.
Pada zaman yang serba mudah ini, perilaku yang kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari malah justru semakin rumit. Kita sebagai pemuda, harus siap menerima penilaian dari masyarakat atas apa yang kita perbuat. Terkadang, nilai benar yang kita yakini malah justru diamggap salah dan tabu oleh sebagian orang, namun justru itulah yang membuat kita menjadi pribadi pembelajar yang baik. Menyikapi sebuah penilaian dengan pemikiran yang terbuka akan membebaskan kita dari tingkah laku negatif yang seharusnya tidak kita lakukan kepada orang lain, seperti misalnya berbicara dan berkomentar yang tidak membuktikan apa-apa.
Menjadi pribadi yang berpikir namun juga berperasaan dimana media massa dan sosial menjadi wadah baru untuk menilai sesuatu memang tidak mudah. Ke depan, akan banyak tantangan dan kesulitan yang akan kita hadapi sebagai akibat dari apa yang sudah terlanjur kita ciptakan selama ini.Â
Bukankah teknologi hadir untuk memudahkan kita agar bertingkah laku sesuai dengan fitrah kita sebagai "manusia"? Karena di mata sesama, kita sebenarnya sudah tak perlu mendapat pengakuan agar dilihat sebagai sosok yang hebat, cukup dengan menjalani apa yang sedang kita tekuni saat ini, fokus di dalamnya dan memberi manfaat yang nyata. Penilaian itu hal yang maklum, hanya saja, tergantung pada bagaimana sikap dan mental yang kita siapkan untuk menghadapi dan memberi nilai yang baik pada setiap permasalahan yang sedang kita hadapi.
Bukankah pada akhirnya nanti, kita juga akan dinilai berdasarkan bagaimana hidup ini kita jalani?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H