Di zaman sekarang, sulit bagi generasi-Z untuk mencari pekerjaan. Data Survei Kerja Nasional (Sakernas) BPS pada 2023 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 9,9 juta anak muda (15-24 tahun) yang tidak memiliki kegiatan atau berada dalam pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan (NEET). Gen-Z merupakan mayoritas dari para pengangguran muda ini, yang seharusnya berada di usia produktif.
Banyaknya kaum gen-Z yang menganggur tentunya bukan tanpa alasan. Dilansir dari Kompas.id, pertumbuhan lapangan kerja di sektor formal mengalami penurunan yang cukup memprihatinkan seiring berjalannya waktu. Jumlah pencari kerja muda melimpah, sementara lowongan pekerjaan terbatas. Hal ini menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan.
Tidak hanya itu, kondisi penciptaan lapangan pekerjaan sangat berbeda jika dibandingkan dengan 15 tahun lalu. Permintaan rekruter yang tidak masuk akal terhadap fresh graduate, terutama lulusan SMA, membuat mereka terpaksa menerima surel penolakan ratusan kali. Di mata rekruter, organisasi dan kepanitiaan di masa kuliah tidak lagi menjadi jaminan.
Kurangnya lapangan pekerjaan dan permintaan rekruter yang tidak masuk akal membuat gen-Z bersaing sengit. Mereka berlomba-lomba mencari pengalaman demi melelehkan hati para rekruter saat mencari kerja.
Sebenarnya, terdapat beragam cara yang dapat dilakukan untuk menambah pengalaman. Namun, salah satu solusi yang cukup populer saat ini adalah magang unpaid.
Saat ini, banyak lowongan magang yang berseliweran di media sosial. Perusahaan atau bisnis kecil yang belum memiliki modal cenderung memanfaatkan euforia ini untuk menarik kaum gen-Z yang haus akan pengalaman. Dengan iming-iming sertifikat, pengalaman, dan relasi, mereka mampu memperbudak gen-Z dengan tugas-tugas yang semestinya dilakukan oleh pekerja tetap.
Padahal, terdapat undang-undang yang mengatur sistem magang di Indonesia. Menurut Pasal 22 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, peserta magang memiliki hak untuk mendapatkan uang saku dan/atau uang transportasi, jaminan sosial tenaga kerja, dan sertifikat apabila lulus pada akhir program. Artinya, setiap peserta magang seharusnya dibayar atas kerja kerasnya.
Namun realitanya, jerih payah gen-Z tidak selalu sebanding dengan hasil yang didapat. Gaji rendah, bahkan tanpa imbalan, menjadi kenyataan pahit yang harus mereka telan. Tak jarang, mereka dieksploitasi oleh perusahaan yang memanfaatkan situasi dan semangat mereka untuk bekerja keras.
Meskipun demikian, bukan berarti gen-Z harus menyerah kepada keadaan. Mereka masih memiliki celah untuk mendapatkan pengalaman tanpa perlu dieksploitasi.
Saat ini, terdapat banyak pelatihan, workshop, dan seminar secara daring ataupun luring yang bisa diikuti. Pilihannya pun beragam, ada yang berbayar dan gratis.