Catatan: Mendobrak kebiasaan lama memang butuh waktu apalagi mendobrak peradaban yang sedang mapan. Tulisan kali ini adalah hasil pemberontakan pikiranku pada suatu kebiasaan umum "pengabaian pada pendapat orang lain" dalam konteks bully. Dan yang lebih jauh dari itu, baru saja didiskusikan para komrad muda di sekolahku termasuk di dalamnya sebagian mereka adalah Fatinistic. Konteks bahwa absurd mempertentangkan senior-yunior, penyanyi senior-yunior, Fatinistic senior-yunior, Fanbase senior-yunior, dll. Dan lebih menarik lagi ketika kaitannya sudah sampai pada topik populer tentang musik "Dugaan bully di babak eliminasi Idol 2014". “Ada hantu gentayangan di mana-mana – hantu senioritas, feodalism dan kekuasaan.” Kalimat itu mirip dengan yang kulontarkan dalam sebuah tulisan yang mengguncang sekolahku, yakni “Manifesto Egalitarian 28”. Aku tidak peduli, banyak mata mencorong “bak hantu tanpa kepala” di pagi aku akan memasuki kelas. Tak peduli pada bisik-bisik yang menjulukiku “biang pikiran pemberontak!” Aku pikir mereka tidak paham bagaimana berperilaku sebagai seorang “gentleman”. Bagaimana berperilaku sebagai anggota masyarakat “madani”. Bagaimana berperilaku sebagai anak yang makan “sekolahan”. Dan malah dengan kata-kata itulah, aku bertekad memulai sebuah perjuangan untuk pembebasan, kesetaraan, dan keadilan bagi seluruh kaum yang tertindas senioritas dan feodalism yang sering menghalalkan “bullying” selama ini di sekolahku, dan mungkin pada sekolah lainnya di tanah air tercinta ini, dan juga para mahasiswa baru selama beberapa generasi. Dan bahkan hantu itu masih nyata, nampak jelas, walaupun kadang juga sering bersembunyi dibalik tirai-tirai dusta dan penipuan di tengah masyarakat, ditengah hiruk pikuknya politik dan di tengah persaingan hidup yang makin keras! Mereka para kaum konservatif, dengan dukungan penuh dari kekuatan status quo yang hanya haus “kekuasaan” yang berdalih senioritas, yang hanya haus pelanggengan status “tuan dan buruh”, yang hanya haus klausa dialektik “kaya dan miskin”, mereka ini terus berupaya membangun suatu persekutuan untuk memobilisasi kekuatan reaksioner dengan berbagai cara, dengan tujuan dilegalkannya kegiatan-kegiatan mengandung unsur-unsur senioritas, aktivitas “membayar” untuk mempertahankan atau mendongkrak lebih tinggi “kekuasaan” dan “menjaga penghormatan – prestise semu”. Seperti yang banyak terlihat dalam demo-demo jalanan yang seringkali dirasa “nyinyir” karena masyarakat tahu mereka berdemo karena di “bayar”. Mereka tidak sadar bahwa mereka berdemo dan beraktivitas, yang sesungguhnya akan merusak masyarakat dan dirinya sendiri. Analogi seperti itu, atau dalam lingkup yang lebih sempit di SMA 28 tempatku bersekolah, aku melihat dengan jelas ketidakbergunaan implementasi kegiatan bullying dalam kemasan “senioritas” pada setiap penyambutan siswa baru dari tahun ke tahun. Aku juga melihatnya pada implementasi yang sama di beberapa perguruan tinggi. Dan seringkali pula itu menjadi “hantu” di tengah masyarakat kita. Akan tetapi, hantu-hantu yang bergentayangan ini bukanlah hantu-hantu yang mudah menyerah. Seperti yang pernah diulas dalam manifesto egalitarian, bahwa kaum konservatif akanlah dengan berbagai cara mempertahankan tradisi busuk senioritas hingga suatu saat ada bala besar menimpa mereka. Masih terekam dengan jelas, kejadian pilu korban bullying terhadap siswa atau mahasiswa baru dalam beberapa tahun terakhir ini, mulai dari siswa baru yang stress, luka, cedera, cacat hingga korban meninggal dunia. Contoh ilustrasi dari usaha mereka, para kaum pro-senioritas, adalah proses bullying di sekolahku yang bernama “briping”. Mereka mencari legalisasi kegiatannya melalui dalih kegiatan ekstrakurikuler melalui Unit Kesenian, dan KIR. Aksi ini dilancarkan dengan dihadirkannya pembina ekstrakurikuler yang bersangkutan pada awal acara, akan tetapi setelah pembina undur diri ketika acara belum benar-benar selesai, bermulalah bullying senioritas. Mereka pikir, dengan adanya kehadiran pembina berarti kegiatan bullying mereka legal, padahal pembina yang bersangkutan tidak mengetahui esensi dan tujuan tersembunyi dari berbagai kegiatan semacam briping ini. Ketidaktahuan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum konservatif untuk memuluskan aksinya, memuluskan kesenangannya mem-bully. Dan tentunya, mereka senantiasa berusaha untuk menyembunyikan kebobrokan-kebobrokan metode mereka dalam setiap kegiatan dalam kemasan “kaderisasi”. Dan parahnya mereka sebagian berdalih pula dalam kemasan kegiatan OSIS. …..Bagiku Kaderisasi “Yes!”, bully “No!” Manifesto Egalitarian Pandangan bahwa kegiatan mengandung unsur senioritas harus dipertahankan sudahlah dibantah habis dalam tulisanku manifesto egalitarian. Semua alibi-alibi kaum senior konservatif tidaklah dapat dipertanggungjawabkan relevansinya. Pengaburan pandangan yang telah dilakukan oleh alumni-alumni konservatif jauh-jauh hari sekaligus melengkapi kebutaan kaum konservatif untuk meninggalkan tradisi senioritas yang telah mengakar. Kebutaan inilah yang harus disembuhkan dengan ide-ide revolusioner. Dalam konteks besar politik nasional (aku bukan pembela Anas), dalam konteks kecil kegiatan opspek sekolah dan sejenisnya, bully apapun harus ditentang. Dalam konteks musik....pupupupu....senioritas yang sok jago, sok lebih populer, dan kemasan senioritas negatif lainnya harus ditentang! Dalam konteks yang lebih luas, kita bisa menangkap hal serupa di tengah masyarakat melalui upaya legalisasi “menyogok masyarakat”. Baik untuk memperoleh jabatan politik, jabatan birokrasi, jabatan feodal dan lainnya dalam rupa-rupa dan warna cara. Punggawa rendahan daerah menyogok bupati agar naik jabatan eselon. Bupati agar eksis dalam pencalonan ulang menyogok rakyat dengan cara keji melakukan korupsi berkemasan “legal”. Demikian juga pada tataran politik dan birokrasi yang lebih tinggi. Setali tiga uang. Lihat seribu kata ilustrasinya dari gambar yang kukepcer! Sumber gambar: https://twitter.com/Sunarsip Mereka sungguh benar-benar tidak sadar bahwa mereka telah melakukan bully (pelecehan), melukai dan merendahkan martabat masyarakat dan dirinya sendiri. Inilah yang sebenar-benarnya hantu dari status quo kekuasaan, kekayaan, feodalisme dan konsep senioritas “buta” yang ujungnya adalah korupsi, “distrustness” , penciptaan musuh bersama dan kerusakan moral. Hantu-hantu ini selalu beranggapan bahwa masyarakat tidaklah memahami dengan baik tujuan dan maksud diadakannya kegiatan-kegiatan dalam berbagai kemasan yang “menipu”. Mereka umumnya lebih yakin pada kehebatan “efek media” yang dianggap dapat menyembunyikannya atau mengaburkan luka-luka lama dan baru yang telah mereka sebabkan. Mereka lebih percaya pada slot iklan dari pada "ketulusan dukungan dan kepercayaan". Pandangan mereka ini tentu saja keliru. Seluruh kondisi dan situasi dalam tatanan masyarakat sudah banyak dituliskan pakar sosiologi, pakar manajemen, pakar politik dan banyak pakar bidang lainnya dari berbagai sudut pandang. Semua sepakat bahwa "menipu" masyarakat adalah pelecehan (bully) yang tidak bisa mudah dimaafkan. Dengan dalih apapun. Termasuk dari dalih kepakaran itu sendiri. Berangkat dari kesimpulan tadi, dalam manifesto egalitarian, aku mengajak peserta diskusi untuk mulai berani mengemukakan ketidaksetujuan atau persetujuan, berpartisipasi dalam jajak pendapat dengan jujur, mendedikasikan diri sebagai bagian dari masyarakat dan aktif terlibat di dalamnya secara sungguh-sungguh memerangi pelecehan dalam dalih apapun. Dugaan Hantu Bully di Idol 2014 Aku Fatinistic. Aku semestinya tidak terlibat pemikiran dugaan adanya bully ada di Idol 2014. Tapi ini adalah konsekuensi dari uraian di atas. Konsekuensi dari “manifesto egalitarian”. Setidaknya aku harus berani mengatakan dari apa yang didiskusikan yang jadi cerminan keluhan masyarakat terhadap tayangan pencarian bakat nyanyi Idol 2014. Dalam tulisanku terdahulu (Idol 2014 Sefantastic Fatin atau lebih?) secara singkat diuraikan sudut pandang penilaian juri dan penilaian masyarakat. Juri menilai secara terukur aspek musikalitas. Dan masyarakat lebih menilai dalam konteks berbeda yang antara lain taste. Masyarakat, pada akhirnya akan mengkonversikan kesukaannya melalui pemberian dukungan sms. Siapa yang lolos eliminasi Idol 2014 adalah Hak Juri. Tapi penilaian “kesukaan” masyarakat pada calon Idol 2014 di fase eliminasi yang dapat diinferensi dari dunia maya seperti youtube, dan sosial media adalah bagian penting dalam membangun dukungan "sms" masyarakat sejak awal. Tapi ketika Dua kontestan Idol teratas pilihan masyarakat (Riska dan Indah Nevertari paling populer di dunia maya) gagal lolos eliminasi…ini menuai banyak perdebatan. Tak terkecuali dalam kelompok Fatinistic. Dan tentu saja yang alay akan berteriak paling kenceng: “Ada apa dengan Idol 2014????? Mereka patut diduga melecehkan (bully) penilaian “masyarakat”. Tentu saja ini akan menjadi bahan perdebatan seru di hari-hari berikutnya dengan para komrad Fatinistic lainnya. Dan bila dugaan itu benar sesungguhnya penyelenggara dan juri telah mencederai dirinya sendiri dengan konsekuensi hilangnya sebagian dukungan masyarakat. Tidak terbayangkan bila hal ini, dulu terjadi pada Fatin, “Bila juri mengabaikan pendapat & taste masyarakat”. ...... Bagiku bila pengabaian terhadap pendapat masyarakat di Idol terus berlanjut, patut diduga bahwa yang diperoleh bukanlah IDOL 2014 tapi BODOL 2014! Dan bahwa akan menguatkan dugaan bahwa produk XFactor yang lebih membumi! Selamat berjuang para calon Idol….dan salam #Simfatin bagi Riska dan Indah Nevertari. Tetaplah terus berjuang!....#Ting
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H