Mohon tunggu...
Lintang Kinasih
Lintang Kinasih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Today I'm still student

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Sana Kinara

10 Juli 2024   15:37 Diperbarui: 10 Juli 2024   15:54 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lihat di sebelah sana,debur ombak menerpa pasir, angin yang riuh seakan enggan pada suasana indah hari ini, dan kita akan berjalan kesana ,Nak,Bipbipbip,"terbangun aku karena suara itu dialog terakhir bersama bapak terulang kembali di dalam mimpiku lagi dan lagi,seolah kekal dengan waktu ingatan itu terus terbayang olehku. Jam menunjukkan pukul 5 pagi sesuai dengan alarm yang selalu tersetel dengan rapi dalam handphone genggam ku,sinar perlahan meneilisik menerpa kulit ku dengan hangat seolah memberi pelukan untukku,terbangun aku karenanya entah karena bapak kembali hadir dalam mimpiku atau sinar mentari hangat pagi ini. "Ara,nakk cepat ambil wudhu lalu sholat kamu ini daritadi alarmnya berisik,"kembali kudengar sapaan pagi Ibu memang kadang membuat gatal telinga ini,tetapi entah aku selalu merindukan ini. Beranjak perlahan aku dari dipan sederhana bilik kamarku sesuai perintah Ibu kuambil wudhu,lalu kumulai hari dengan sembahyang pagiku.

"Jangan lupa kita hidup bukan hanya untuk dunia", dalam sujudku Bapak seolah kembali membisikkan kalimat penenang, aku mulai bangkit meneruskan apa yang sewajarnya dilakukan setelah gerakan sujud dan salam "Assalamu'alaikum warahmatullah ,assalamu'alaikum warahmatullah," dihadapanku aku menyadari dinding semen mulai mengelupas menandakan harus untuk dibelai,diperbaiki ditambal perlahan seperti apa yang selalu Bapak lakukan setiap 5 tahun sekali.

Dingin air menerpa tubuhku dari ujung rambut mengalir menuju ke pangkal jari kaki perlahan kurasakan bagaimana sapuannya membersihkan jengkal demi jengkal kulitku, tidak lama hanya berpakaian seragam pabrik,mengikat rambut, menyiapkan tas,lalu keluar aku dari bilik kamar. Menengok Ibu di teras rumah asyik bercengkerama dengan tetangga dan kedua tangannya melayani nasi uduk yang selalu ramai apalagi kalau bukan saat jam sarapan menjelang. "Bu,Ara berangkat,ya,"singkat itu yang aku sampaikan sambil menjinjing keranjang anyam penuh berjejalan bungkusan nasi uduk buatan Ibu untuk aku titipkan ke kantin pabrik."Ohiya,iya,Kamu tidak sarapan dulu?"pertanyaan itu terlontar ketika Ibu menyadari aku sudah berdiri manis di halaman. "Tidak takut telat,Assalamu'alaikum Ibu,"seolah menjadi kebiasaan kami salam pamitan penghantar menuju tempatku bekerja yang selalu Ibu lontarkan menyuruhku sarapan dan aku enggan melaksanakannya dengan alasan telat.

Alasan saja,ya hanya alasan aku sungguh ingin merasakan kembali lezatnya nasi uduk yang Ibu sajikan bersama teh manis hangat kecintaanku dengan candaan Bapak mengiringi suap demi suap nasi masuk ke mulutku. Ah,entahlah kadang aku selalu bertanya mengapa kenangan Bapak selalu menghantuiku, apa yang sebenarnya terjadi?Mengapa tuhan memberikan jalur ini kepada kami?

Kaki ku tetap melangkah ganas diatas aspal yang rasanya membakar amarahku hari ini,firasat buruk menelingkupi ku sepanjang perjalanan menuju tempatku bekerja. Singgah sejenak aku di kantin menitipkan keranjang nasi uduk dan memesan satu gelas energen hangat pengganjal perut kosong ku sedaritadi. "Ra,dengar tidak gossip minggu lalu kayaknya benar deh,shift malam bilang mandor kali ini lebih garang,duh takut,"Asri menggandeng tanganku tiba-tiba sambil menggumamkan kalimat di telingaku membuatku bergidik sejenak,"Ya kalau takut resign aja baru juga sebulan," sambil tersenyum kubalas dia yang terlihat mulai menertawakan candaanku perlahan kami mengingat kembali kejadian sebulan sejak kami bekerja, sudah banyak teman satu angkatan yang berhenti dengan berbagai alasan dan hanya kami yang bertahan karena keadaan.

"Kinara,kinara kenapa sih aku bertemu denganmu?"pertanyaan Asri menyadarkanku,memang benar sepasang anak tanpa belaian Bapak dimasa Dewasa nya seolah dipertemukan dalam tempat pembuatan tas diantara banyak mesin yang berjejalan. Terkekeh kembali aku dibuatnya bersisian kami menulusuri lorong demi lorong menuju loker peletakan barang untuk menyimpan tas kami sebelum memasuki area tempur. "Yuk," ajakku pada Asri yang seolah asyik bercermin membenarkan tatanan rambutnya. Kami menuju mesin tempat pertempuran kami,"Huh" kuhembuskan nafas menduduki bangku disebalik nya dan tanganku mulai lihai bergerak seolah tau apa yang akan aku perbuat perlahan namun pasti mulai kukerjakan apa yang menjadi tugasku setiap harinya. "Goblok,gini aja ga pecus cepat ulang dari awal target kita belum ada 50%,"benar ucapan Asri pagi tadi sapaan mandor baru ini sungguh mengobarkan hati, apalagi setiap kata kasarnya menyadarkanku bahwa tanganku belum cukup keras menangani semua orderan hari ini. "Aw",terkejut aku refleks kuucapkan itu kembali jarum tertancap ditanganku mengoyak hampir seperempat bagian telunjuk,Pak Adi mendekatiku dengan cepat mengucapkan "Kerja matanya juga harus melek sana bersiihkan darahmu," bergidik ngeri aku dibuatnya merasakan sebentar lagi air mata akan menetes di pelupuk mataku berlari kecil menuju kamar mandi wanita di ujung ruangan, kubersihkan lukaku,menahan perih akibat darah seolah tak mau berhenti menetes pada sela kulitku menangis itu yang aku bisa, mengingat bentakan mandor bagian pekerjaanku membuatku rindu akan sosok penyayang itu sosok penghangat hatiku dikala sesuatu buruk terjadi padaku.

"Nak, sabar ya jangan menangis mana yang sakit biar Bapak basuh dengan air dulu," tersedu-sedu aku memeluk erat lengan Bapak yang mendekapku setelah aspal  menyentuh daguku dengan kasar. Sepasang sepatu roda telah berhasil terlepas dengan bantuan tangan cekatan Bapak,kemudian dengan halus menyeka perlahan luka yang terpatri pada daguku dengan air meniup-niup seolah angin yang dihembuskan adalah mantra untukku sambil menggumamkan "Wus,wus,wus ilang larane" lalu terkekeh. Tanpa kusadari aku menggemgam telunjukku yang basah sehabis air menerpa mendekapnya terduduk di kursi panjang kantin setelah mengambil keranjang nasi uduk titipan Ibu sambil memejamkan mata. Selepas membersihkan luka aku mendengar bel berbunyi tanda shift kami telah selesai  bertugas dan saat pulang tiba, aku sengaja berdiam diri di dalam bilik kamar mandi menimbang keputusanku mengingat kembali mengapa serentetan kejadian yang aku alami hari ini. "Hei,ada apa kenapa melamun?" tersadar aku Asri kembali berdiri disampingku terlihat raut panik akibat peristiwa tadi." Tidak hanya berpikir aja,"kembali kulontarkan senyum menyambung pernyataanku"Mau mampir ke kantin tidak sri?" pertanyaan itu mengalihkannya "Tidak aku mau pacaran hihihi," wajah riang kembali menghiasi muka manisnya memang akhir minggu selalu digunakannya untuk bersenang-senang dengan kekasihnya dari pabrik sebelah entah apa yang akan mereka perbuat aku tidak mau membayangkan.

"Yasudah, hati-hati jangan ngelayap,"sapa ku setelah kami berhasil menerobos kerumunan loker berpamitan padanya dan bertolak menuju kantin itu sebabnya aku terlantar disini pada ujung bangku kantin,tanganku meraba tas disampingku menyadari bahwa sejak tadi handphone kunonaktifkan sehingga pesan teks berjejalan masuk. Pesan Ibu yang aku buka hanya sebaris tetapi berhasil membuat nyeri hatiku" Nak,hari ini 5 tahun peringatan Bapak meninggal,Cepat pulangnya,hati-hati dijalan," singkat tapi ingatan kejadian 5 tahun lalu berhasil menelisik kembali, bendera merah diujung rumah, riuh tangis dan kata sabar terlontar,dan aku yang terduduk diam mencerna semuanya pada sore itu.

Benar aku harus bergegas pulang menyusuri jalan perlahan,menguasai rasa yang menyelusup dihatiku,mengendalikan pikiranku,seolah ingin rasanya aku terduduk memeluk kedua lututku seperti apa yang aku lakukan 5 tahun yang lalu. "Kita hanya tinggal berdua,Nak"Ibu mengucapkannya dengan bibir bergetar memeluk kepalaku mengusap dengan cengkraman pelan pada rambutku setelah acara pemakaman Bapak selesai dalam bilik kamarku. "Assalamu'alaikum bu," perlahan aku memasuki rumah melihat Ibu terduduk tenang di ruang tengah seolah menyambutku,pelupuk matanya tidak dapat membohongi perasaannya hari ini,tumpah semuanya perasaan tertahannya hari ini akhirnya tersampaikan melalui kehadiranku."Kenapa semua terjadi pada kita,Nak" pertanyaan itu terlontar dengan iringan tangis Ibu, aku terdiam memeluknya seolah menguatkannya,menyadarkan kembali ingatanku seolah semua terjadi kami melalui kejadian demi kejadian sepeninggal Bapak berdua.

Riuh pohon bunga kamboja yang diterpa angin menyapa kedatangan kami,gundukan tanah berumput terhampar dihadapan kami seolah pemandangan hangat pada sore hari ini,pada sisi barat baris kedua mulai terlihat pusara yang menjadi tempat peristirahatan Bapak tampak syahdu terasa dengan cahaya senja menerpa. "Bapak, hari ini sudah 5 tahun Bapak berpulang kami masih berdua, anakmu sudah bekerja sekarang di pabrik Perusahaan Ekspor Tas terkenal di kota kita, Bapak bahagiakan disana? Maaf kami tidak bisa memperoleh keadilan untuk apa yang harusnya kamu terima,huhuhu"pecah tangisan Ibu setelah doa dan kalimat itu diucapkannya,aku merangkulnya erat,kata demi kata tak mampu terucap membenamkan diri kedalam pelukan Ibu pertahananku mulai runtuh mengingat semuanya.

"Gugatan demi gugatan harus anda lalui jika yang anda inginkan adalah kompensasi untuk suami anda," lelaki itu berkata hal yang sama lagi sudah seminggu aku dan Ibu bolak -- balik mendatangi Kantor Pengadilan Negeri untuk meminta segelintir keadilan untuk Bapak pada akhir hayatnya. Usiaku masih 14 tahun kala itu tetapi aku biasa mengingatnya dengan jelas bagaimana orang lemah seperti kami tersisih disana terkalahkan oleh para pengendara roda empat yang datang pada hari,jam,bahkan detik yang sama. Memilukan sekali sungguh apa yang sebenarnya Tuhan mau juga kejadian seperih ini menimpa kami? pertanyaan itu selalu terucap berkali-kali dalam 5 tahun sepeninggal Bapak,"Apakah salah ya tuhan,jika Bapak memperjuangkan keadilannya?Apa salah Bapak ya tuhan,APA?" riuh hatiku berteriak,senja menjadi saksi gengaman tanganku pada kedua lututku erat menahan sumpah serapah agar tidak mengundang perhatian orang di sekitar kami sambil memeluk Ibu disampingku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun