Laut China Selatan, sebuah wilayah yang  terletak di jantung kawasan Indo-Pasifik. Wilayah strategis dengan nilai ekonomi, sumber daya alam minyak dan gas, serta nilai politiknya menjadikan kawasan ini kontroversial. Jangan lupakan bahwa kawasan ini menjadi jalur perdagangan utama dunia, dimana sekitar sepertiga perdagangan global melintas setiap tahunnya.Â
Sayangnya, semakin berpotensi suatu wilayah maka semakin tinggi pula ancaman dan ketegangan yang terjadi, sama hal nya dengan ketegangan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China di kwasan Indo-Pasifik.Â
sebagai konsep  strategis, Indo-Pasifik mencerminkan dinamika kawasan yang mencakup Samudra Hindia dan Pasifik.  Dengan negara-negara besar seperti China, India, dan Jepang di dalamnya, serta keterlibatan Amerika Serikat, kawasan ini menjadi pusat aktivitas ekonomi dan politik global
. Laut China Selatan, yang menjadi jalur penting bagi perdagangan internasional, memiliki peran krusial dalam menjaga arus ekonomi global tetap berjalan. Selain sebagai jalur perdagangan utama, kawasan ini menyimpan cadangan sumber daya alam yang melimpah.
 Diperkirakan terdapat miliaran barel minyak dan triliunan kaki kubik gas alam yang terkandung di bawah permukaannya. Dari kacamata geopolitik, Laut China Selatan menjadi arena konflik antara negara-negara di Asia Tenggara dan kekuatan besar dunia, yang masing-masing memiliki kepentingan strategis
China mengklaim sebagian besar Laut China Selatan berdasarkan peta Nine-Dash Line atau "Garis Sembilan Garis Putus." Klaim ini mencakup wilayah yang juga diklaim oleh negara-negara lain seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Klaim sepihak tersebut sering kali dianggap bertentangan dengan hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).Â
Dalam beberapa tahun terakhir, China secara agresif membangun infrastruktur di wilayah ini, termasuk pulau-pulau buatan yang dilengkapi fasilitas militer seperti landasan pacu, pelabuhan, dan radar. Langkah ini menunjukkan ambisi China untuk memperkuat dominasinya di kawasan, yang pada gilirannya memicu ketegangan dengan negara-negara tetangga serta respons keras dari Amerika Serikat.Â
Sebagai kekuatan global, Amerika Serikat memainkan peran utama dalam menjaga keseimbangan di kawasan Indo-Pasifik, termasuk di Laut China Selatan. Pemerintah AS secara tegas menolak klaim China dan menegaskan pentingnya kebebasan navigasi di wilayah ini. Untuk membuktikan komitmennya, Amerika Serikat secara rutin mengadakan operasi militer yang disebut Freedom of Navigation Operations (FONOPs), yang bertujuan menunjukkan bahwa jalur ini tetap bebas digunakan oleh semua negara.Â
Selain itu, AS memperkuat aliansinya dengan negara-negara di kawasan seperti Jepang, Filipina, dan Australia. Melalui latihan militer bersama, perjanjian pertahanan, dan transfer teknologi, AS berupaya membangun aliansi strategis untuk mengimbangi pengaruh China yang terus meningkat. Ketegangan ini mencerminkan rivalitas geopolitik yang lebih luas di kawasan Indo-Pasifik.Â
Negara-negara anggota ASEAN memiliki posisi yang kompleks dalam konflik Laut China Selatan. Sebagai organisasi regional, ASEAN mencoba menjadi fasilitator dialog dan solusi damai. Namun, perbedaan kepentingan antarnegara anggota seringkali menghambat upaya untuk mencapai kesepakatan bersama.Â
Sebagai contoh, Filipina berhasil membawa kasusnya ke Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016, yang kemudian memenangkan gugatan atas klaim China di Nine-Dash Line. Namun, putusan tersebut tidak diakui oleh China, sehingga tidak membawa perubahan signifikan di lapangan.Â
Di sisi lain, Vietnam dan Malaysia memperkuat patroli mereka di wilayah sengketa, sementara Brunei cenderung mengambil pendekatan yang lebih netral. ASEAN juga tengah merundingkan Code of Conduct (CoC) dengan China untuk mencegah eskalasi konflik di Laut China Selatan. Meski pembicaraan ini menunjukkan beberapa kemajuan, implementasinya masih jauh dari harapan.
Ketegangan yang terjadi di Laut China Selatan mencerminkan persaingan kekuatan besar yang lebih luas di Indo-Pasifik. Kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan militer menantang dominasi Amerika Serikat di kawasan, dan Laut China Selatan menjadi salah satu arena utama pertarungan ini. Selain itu, konflik di Laut China Selatan juga memperlihatkan kelemahan sistem hukum internasional.Â
Meskipun UNCLOS menawarkan landasan hukum untuk menyelesaikan sengketa maritim, implementasinya bergantung pada komitmen politik negara-negara yang terlibat. Ketegangan ini juga menunjukkan keterbatasan diplomasi multilateral ketika kepentingan nasional menjadi prioritas utama.
Sebagai penutup, Laut China Selatan adalah kawasan yang sangat penting sekaligus menjadi pusat konflik geopolitik yang kompleks. Untuk mengurangi ketegangan, diperlukan pendekatan kolaboratif yang melibatkan semua pihak, baik negara-negara ASEAN maupun kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China. Â
Pendekatan ini harus mencakup penghormatan terhadap hukum internasional, upaya diplomasi yang intensif, dan komitmen untuk menjaga perdamaian di kawasan. ASEAN, sebagai organisasi regional, memiliki potensi besar untuk memfasilitasi dialog dan mendorong kerangka kerja yang lebih jelas seperti CoC. Sementara itu, rivalitas antara Amerika Serikat dan China perlu dikelola agar tidak memicu eskalasi konflik yang lebih besar.
 Laut China Selatan tidak hanya menjadi cerminan dinamika kekuatan global, tetapi juga peluang bagi dunia untuk membangun kerja sama di kawasan yang sangat strategis ini. Dengan pengelolaan yang tepat, kawasan ini dapat menjadi simbol stabilitas dan kemajuan, bukan sekadar arena kompetisi geopolitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H