Terdorong oleh sebuah ulasan di Kompas Minggu (1/4), akhirnya pada Rabu (4/4) kemarin saya menonton (juga) film The Hunger Game di XXI kota saya, Bandarlampung. Ulasan dalam Kompas terasa fantastis akan film yang diadaptasi dari Novel Trilogi berjudul sama “The Hunger Game” yang ditulis oleh Suzanne Collins. Kabarnya film The Hunger Game, di hari pertamanya “mejeng” di bioskop negara asalnya (Amerika Serikat) – sudah memecahkan rekor pendapatan yang melampaui US $100 juta (kira-kira Rp 918 miliar). Sedangkan penjualan bukunya pun sama fantastis, dengan menciptakan euforia – antrean panjang para penggemar yang hendak membeli buku. Itu baru di AS lho.
Lalu, apakah film The Hunger Game aslinya “sefantastis” itu ? Soal penilaian, tiap orang boleh berbeda dan punya pendapat masing-masing. Namun di sini, izinkanlah saya mengemukakan penilaian akan film ini dari perspektif saya, di mana menurut saya – The Hunger Game merupakan film yang standar, kalau tidak dibilang biasa banget.
Ramalan dan Tradisi
Film dibuka dengan sekelumit penjelasan mengenai tradisi tahunan turnamen Hunger Game. Tradisi turnamen yang telah berakar sejak lama ini diikuti oleh 12 distrik yang diwakili oleh sepasang remaja berusia 12-18 tahun. Sepasang remaja yang mewakili masing-masing distrik ini dipilih secara acak dari pot kaca yang di dalamnya terdapat nama-nama remaja tadi.
Seorang gadis remaja duabelas tahun, Prim Everdeen dikisahkan ketakutan lantaran ia bermimpi bahwa dia-lah yang terpilih sebagai tribute (sukarelawan) untuk mewakili distriknya, yaitu distrik 12 pada turnamen tahunan Hunger Game di Capitol (pusat kekuasaan). Katniss Everdeen, sang kakak berusaha menenangkan kegalauan adiknya dengan mengatakan itu hanya mimpi dan dia takkan terpilih menjadi tribute.
Nyatanya, saat pemilihan tribute dilakukan dan sebuah kertas nama dicabut dari pot kaca – yang keluar adalah nama Prim Everdeen. Terdorong rasa ingin melindungi, maka Katniss sebagai kakak mengajukan diri menjadi tribute untuk menggantikan adiknya. Sedangkan tribute laki-laki yang terpilih adalah Peeta Mellark, anak seorang pemilik toko roti dan kue.
Setelah pemilihan itu, lantas keduanya diboyong ke Capitol untuk diberi “pembekalan” – yang tepatnya sih boleh disebut latihan bertarung dan menggunakan senjata (untuk membunuh) serta bertahan hidup. Nantinya, mereka diperkenalkan kepada publik (penduduk Capitol) lewat semacam acara talkshow (mirip bincang-bincang Hitam Putih atau Buaya Show). Tujuannya supaya penduduk Capitol mengenal mereka dan bila “suka”, para penduduk Capitol yang bergelimang harta tadi mau menjadi sponsor tribute yang mereka sukai.
Dan usai pelatihan dan perkenalan tadi, akhirnya – pertarungan hidup mati, membunuh dan dibunuh pun dimulai. Turnamen The Hunger Game.
Mengumbar Sadisme
Disinilah mata kita akan dimanja oleh cipratan darah dan nafsu memburu untuk membunuh. Melihat adegan-adegan pembunuhan yang – ironisnya dilakukan dengan rasa senang dan seulas senyum – jadi mengingatkan kita pada film-film pertarungan semacam Gladiator atau Spartacus. Perbedaannya ? Para gladiator itu semuanya adalah orang dewasa dan mereka bertarung dalam sebuah gelanggang terbatas. Dapat dimaklumi juga bila budaya barbar itu ada. Ya, zaman berkembangnya pertandingan gladiator itu kan saat-saat ketika adab manusia belum se-modern sekarang.
Sementara dalam The Hunger Game, para petarungnya ialah remaja usia produktif (12-18 tahun) dan mereka bertarung dalam sebuah hutan belantara yang luas dengan pengawasan “cctv” yang ketat dari panitia penyelenggara turnamen. Para remaja petarung itu masih bisa mendapat bantuan apabila mereka terluka atau kelaparan. Bantuan itu didapat dari para sponsor yang menyukai mereka. Contohnya ketika Katniss terluka bakar dan Peeta sakit demam, keduanya mendapat kiriman obat salep luka bakar dan serantang sup. Cara mengirim bantuan dilakukan dengan menerbangkan parasut kecil yang ditujukan kepada mereka.
Hanya, namanya juga pertarungan. Prinsip abadi yang ada, selalu lah siapa yang mampu bertahan (disini disebut hidup) hingga akhir atau mampu menghabisi lawan-lawannya dan hanya menyisakan dia sendiri, maka dia-lah yang dinobatkan sebagai pemenang.
Sudah Bisa Ditebak
Karenanya, sudah bisa ditebak oleh kita. Dan pemenangnya ialah... Katniss Everdeen – si tokoh utama, gadis yang tangkas memanah bersama Peeta Mellark, terman se-distriknya. Munculnya dua pemenang ini disebabkan oleh perubahan peraturan dari panitia turnamen yang menetapkan tribute baru bisa dinobatkan sebagai pemenang apabila pasangan dari distriknya juga tetap bertahan hidup hingga akhir permainan.
Juga bisa ditebak jika kemudian di antara dua sejoli ini bersemai kisah asmara. Menurut saya, kisah asmara antara Katniss dan Peeta tempak tidak sikron. Malah lebih tepat disebut dipaksakan. Akan tetapi, apalah artinya sebuah film tanpa ada bumbu-bumbu cinta. Harry Potter yang dikalahkan oleh The Hunger Game saja, awalnya hanya berkisah tentang persahabatan. Akhirnya malah sarat dengan bumbu cinta antara Ron Weasley dan Hermione Granger, Harry dan Ginny Weasley. Mungkin Suzanne Collins – sang penulis novel ini menyadari hal tersebut atau mungkin juga disebabkan oleh pertimbangan lain. Supaya tidak garing misalnya atau mencegah ke-monoton-an bagi yang menonton.
Sayangnya Suzanne tidak cukup kreatif meramu kisah percintaan tersebut. Saat menonton The Hunger Game, saya mengambil sesi pemutaran yang dimulai pukul 3 sore. Masuk ke bioskop dan duduk, saya lihat kursi penontonnya tidak penuh. Pada tiga deretan kursi depan layar bagian kiri dan kanan, melompong tanpa penonton. Pada deret keempat, kursi bolong-bolong ditempati penonton.
Masih dalam amatan saya, ada cukup banyak penonton yang satu studio dengan saya, menonton hingga setengah durasi film, beranjak dari kursi mereka, keluar dan tak kembali lagi.
Selain kisah cinta yang garing, ada kejanggalan lain. Yakni a) sebenarnya “masa” yang difokuskan dalam The Hunger Game ini masa lampau atau masa depan ? Jika kita lihat betapa glamour dan canggihnya teknologi di Capitol, bahkan apartemen tempat Katniss dan Peeta diinapkan untuk sementara waktu sangat hi-tech. Pasti deskripsi kita dibawa melayang ke film-film semacam Star Wars atau X-Men yang mengisahkan kehidupan manusia di masa depan.
Anehnya kehidupan warga di distrik mirip tahun 1940-an. Pada satu adegan, Katniss mengenakan baju shortdress berbahan katun yang mengadaptasi dress wanita tahun jadul itu, mengingatkan kita pada dress yang dikenakan Eve dalam Pearl Harbour. Dandanannya, sanggulannya semakin menasbihkan trend tersebut. Pun Prim Everdeen yang didandani serupa itu, dengan rambut panjang dikepang dua.
Lalu b) sesungguhnya, apa yang diperjuangkan oleh para tribute yang telah menang itu ? Ambigu ! Apakah demi makanan (ingat judulnya: The Hunger Game) ? Apakah demi kebebasan ?; c) pada turnamen kali ini, Katniss menggantikan adiknya sebagai tribute. Lantas bagaimana dengan turnamen di tahun selanjutnya ? Bukankah telah diungkapkan di awal – melalui reaping – bahwa The Hunger Game ialah turnamen yang setiap tahun selalu diadakan yang mana pesertanya ialah remaja berusia 12-18 tahun yang mewakili masing-masing distrik dengan cara diundi layaknya lotere ?
Tidak disebutkan apakah dengan menggantikan adiknya, maka tahun selanjutnya praktis nama adiknya itu akan bebas (tidak disertakan lagi dalam pot undian).
Terakhir d) film yang berdurasi sekitar dua jam ini, sarat dengan nuansa brutal. Dengan demikian sangat disarankan untuk tidak ditonton atau menontonnya sembari membawa anak kecil. Sangat dikhawatirkan memberi dampak buruk bagi mereka.
Kesimpulannya ? Terbukti The Hunger Game tak cukup ampuh menawan hati para penonton di kota saya. Euforia itu rupanya berlaku hanya di Amerika saja. Bagaimana dengan kota Anda ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H