Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sinergi BI – Koperasi, Kuatkan Stabilisasi Sistem Keuangan (SSK) RI

22 November 2014   05:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:09 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin ada yang merasa lucu pasca membaca judul tulisan saya di atas: Sinergi BI-Koperasi, Kuatkan Stabilisasi Sistem Keuangan (SSK) RI. Pasalnya bagaikan menyatukan dua kutub magnet yang berbeda. Pada satu sisi BI (singkatan dari Bank Indonesia) adalah lembaga keuangan yang lekat dengan image modern, canggih dan mengusung konsep barat yang idividual. Pada sisi lain, koperasi cenderung lekat pada image kuno, jadul dan mengusung konsep timur yang kekeluargaan.

Namun, kalau bicara soal sumbangsih untuk negeri – kerapkali apa yang tampaknya mustahil bin mustahal – bisa disiasati sehingga menjadi realisasi. Keajaiban juga seolah menghampiri; Dan disini saya pun hendak mencoba keefektifan keajaiban tersebut. Apakah berpihak kepada saya ataukah belum berpihak kepada saya melalui judul yang kemukakan di atas sebagai ide yang mungkin bisa menjadi salah satu opsi, batu loncatan atau apapun kita menyebutnya – singkatnya yang beraura positif bagi stabilisasi ekonomi dan sistem keuangan negeri kita. Indonesia tercinta.

Koperasi dan Sedikit Sejarahnya

Menyebut nama koperasi, tak terhindarkan yang melintas adalah nama Mohammad Hatta. Tak salah memang, karena Wakil Presiden RI yang kedua ini dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Hari lahirnya pun ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Koperasi Nasional. Akan tetapi (tanpa mengurangi apresiasi terhadap beliau bagi bangsa Indonesia), sebenarnya saya sedikit menggugat kepada kenyataan ini.

Iseng saya mencari bahan untuk menulis artikel ini. Kata kunci “koperasi” saya ketik di mesin pencari google. Sepersekian detik kemudian, muncullah banyak hasil pencarian sesuai dengan kata kunci yang saya ketik. Ensiklopedia online wikipedia.org menjadi acuan saya yang pertama dan saya menemukan fakta baru bahwa pencikal bakal keberadaan koperasi di Indonesia ada dua tokoh, yaitu pertama, R. Aria Wiria Atmaja. Beliau seorang patih di Purwokerto yang di tahun 1896 berinisiatif mendirikan sebuah bank untuk pegawai negeri sipil (priyayi).

Keinginannya mendirikan bank tadi didorong oleh kepeduliannya menolong para pegawai yang makin menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga tinggi; dan yang menjadi acuan “bank” versi si patih adalah koperasi kredit model seperti di Jerman. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan usaha si patih tersebut.

Singkatnya usaha tersebut lantas diteruskan oleh wong Londo, namanya De Wolffvan Westerrode. Kedudukan si wong Londo ini yakni asisten residen Belanda. Masih mengutip sumber yang sama, disebutkan bahwa Westerrode sewaktu cuti (kerja) berhasil mengunjungi Jerman dan menganjurkan akan mengubah Bank Pertolongan Tabungan yang sudah ada menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian.

Sadar bahwa para petani juga perlu dibantu karena mereka makin menderita akibat tekanan para pengijon. Ia pun menganjurkan mengubah bank tersebut menjadi koperasi.

Dari sedikit kutipan mengenai sejarah cikal bakal koperasi di Indonesia, kita jadi mendapat fakta baru bahwa ternyata wong londo-lah yang berjasa memulai keberadaan koperasi di Indonesia. Westerrode, kepadanya kita harus mengucap terima kasih. Kalau menjadikannya sebagai bapak koperasi Indonesia, tentu saja peluangnya hanyalah 0,1 persen.

Memaksimalkan Peran BI

Lantas dimana peran bank (baca: BI) dan gimana ceritanya mensinergikan antara BI dan koperasi ? Jika merujuk kepada sejarah bertumbuhnya perkoperasian di Indonesia, ternyata bank menempati posisi induk daripada koperasi. Mengutip kembali penggalan kalimat dari paragraf sebelumnya: bilamana R. Aria Wiria Atmadja mendirikan Bank pertolongan bagi pegawai negeri; dari bank sederhana tersebut selanjutnya bertransformasi secara bertahap menjadi koperasi.

Andaikata kita menerapkan teori kasih ibu, seorang induk wajib dan memang harus bertanggung jawab, menaungi, melindungi dan membantu anak-anaknya (koperasi). Cara membantunya pun sederhana; dan terutama, kita tak perlu membuat institusi baru. Koperasi yang telah ada dan berjalan selama ini diperluas kewenangan dan fungsinya.

Sepengetahuan saya ada banyak ragam jenis koperasi yang berkembang di Indonesia mulai dari koperasi simpan pinjam, unit desa (KUD) dan sebagainya. Jenis koperasi yang dipilih untuk melaksanakan program bisa disesuaikan nantinya. Paling utama ialah membekali peran koperasi menjadi lebih. Semisal membantu pembenihan, memberi edukasi tentang pertanian guna meningkatkan hasil produksi dan kualitas produksi, menerapkan pelatihan pertanian organik dan sebagainya. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh bank ini bukan berbentuk dana/ uang melainkan bentuk nyatanya. Koperasi yang ada digunakan sebagai kepanjangan daripada bantuan bank tersebut. Jadi koperasi itu memiliki fungsi plus-plus atau bisa disebut sebagai bank tani. Diversifikasi bisa dilakukan terhadap jenis lain, contohnya buat nelayan.

Tetapi BI kan bank sentral ? Betul juga. Karenanya opsi yang saya ajukan disini; bank yang bertugas membantu pendanaan riil ialah bank-bank komersil. Sedangkan posisi BI adalah sebagai pembuat ketentuan atau kebijakan daripada program ini Untuk pengawasan, BI cukup menyerahkannya kepada lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Ide-ide yang saya gagaskan untuk stabilisasi ekonomi dan sistem keuangan ini mungkin sederhana dan telah pernah diterapkan. Salah satunya seperti yang pernah saya baca di media online Kompas.com tentang Bank Tani atau Bank Petani dalam bentuk Lembaga Keuangan Mikro Agrobisnis (LKMA) Prima Tani di Nagari Koto, Baso, Agam, Sumatera Barat yang digagas oleh Masril Koto.

Bank tani ini dirintis oleh Uda Masril Koto bersama teman sesama petani sejak tahun 2002. Namun empat tahun kemudian (2006) baru resmi didirikan setelah beliau dan kawan-kawan petaninya mendapatkan pelatihan keuangan dari Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Bank tani yang didirikan oleh Uda Masril Koto bersama kawan-kawan petaninya masih eksis hingga kini dan dari satu bank tani lantas beranak pinak di daerah lainnya.

Teman-teman, mungkin kalian mencermati tulisan saya yang kerap menyebut petani atau nelayan. Itu sengaja karena memang saya mementingkan mereka dalam opsi upaya stabilisasi ekonomi. Apa sebabnya ? Baiknya kita melirik status negara kita. Pertama, Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Dulu sewaktu saya masih bersekolah di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) saat pelajaran geografi atau ekonomi seringkali label Indonesia sebagai negara agraris disebut-sebut. Faktanya memang mata pencaharian utama sebagian masyarakat Indonesia ialah di sektor pertanian.

Ironisnya, banyak petani yang justru hidupnya malah susah. Tingkat ekonomi mereka rendah. Nah, seandainya mereka dibantu, difokuskan, dalam bayangan saya pastilah hasil pertanian kita bisa menjadi lebih baik dan imbasnya kehidupan petani pun terangkat. Kita tak memerlukan lagi impor pangan atau produk-produk sejenisnya dari luar (negara lain).Artinya kita tak perlu mengeluarkan uang (dalam kurs dollar) yang sama saja kas keluar.

Mencermati kondisi saat ini dimana Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja menaikkan harga bbm bersubsidi, imbasnya adalah kenaikan harga bahan pangan dan inflasi. Andaikata para petani itu dibantu, mereka bisa menjadi salah satu ujung tombak penstabil inflasi. Caranya dengan menambah pasokan hasil pertanian mereka.

Kedua, Indonesia sebagai negara maritim. Menyebut kata maritim mengingatkan saya pada ucapan Bung Karno dan kembali ditegaskan oleh Presiden kita saat ini, Jokowi. Laut kita sangat kaya dan menunggu dieksplorasi untuk kepentingan bangsa. Tetapi – seperti nasib petani – mengapa kondisi para nelayan yang menjadi ujung tombak eksplorasi kekayaan laut kita tak jauh dari kata miskin dan memprihatinkan ? Padahal seperti juga para petani, para nelayan ini sesungguhnya bisa menjadi salah satu ujung tombak penstabil inflasi.

Tak Selalu Materi

Pendekatan yang saya paparkan dalam tulisan ini, mungkin memberi perspektif baru dalam upaya untuk menstabilkan ekonomi dan sistem keuangan negara kita. Kota yang selama ini notabene merupakan pusat ekonomi dan lazimnya kerap dijadikan tolok ukur berbagai kebijakan, dalam perspektif saya dialihkan ke desa dan orang-orang dengan profesi yang selama ini (kemungkinan) dipandang hanya sebelah mata mengalami naik peringkat dan menjadi sangat berharga.

Lalu bentuk bantuan yang diberikan oleh bank kepada para pengemban profesi tadi bukan berbentuk materi, melainkan bentuk riil; dan terakhir sekaligus menutup tulis ini – menstabilkan perekonomian suatu bangsa memang bukan hal yang mudah dilakukan oleh sebuah bank sentral. Pastinya ada berbagai alat ukur, hitung-hitungan yang digunakan.

Ada kalimat bijak yang saya ingat menyatakan jika kita dihimpit oleh masalah, tak ada salahnya meminta pendapat dari orang lain (orang kedua, orang ketiga dan seterusnya) Apa pasalnya ? Sebab orang yang dirudung masalah umumnya kurang bisa berpikir jernih dan macet pikiran. Orang lain menjadi bisa berpikir lebih jernih dan sederhana. Inilah yang sedang saya coba lakukan. Saya bukan seorang ekonom, kuliah pun dulu bukan di program studi ekonomi. Saya hanyalah orang biasa, warga biasa. Jadi melihat cara menstabilisasikan ekonomi Indonesia pun ya berprinsip pada cara orang biasa saja.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun