Tar, tar, tar ! Suara meletup-letup bergaung di angkasa, disusul oleh semburat cahaya berwarna-warni. Sesekali terlihat asap membumbung tinggi. Ya bunyi-bunyian meletup tadi dan cahaya dus asap yang membumbung ini berasal dari petasan, kembang api, mercon dan sebangsanya. Benda ini, kini memang telah jamak kita temui. Pada malam-malam menjelang pergantian tahun, malam-malam yang terasa istimewa dan tak terkecuali malam menjelang lebaran (lazim disebut malam takbiran) serta sesudahnya. Sepertinya kini pun – selain jamak -menyalakan petasan, mercon, kembang api dan benda-benda sejenisnya itu sudah menjadi kewajiban dan ibarat sayur tanpa garam, maka akan menjadi hambar bila melewati malam-malam penting tadi tanpa diiringi bunyi letupan dari kembang api.
Secara pribadi, saya pun mengakui – melihat kembang api yang menghiasi langit pekat malam dengan warna-warninya – sungguhlah menawan hati. Jangan lupakan juga even-even akbar semacam (sebutlah) olimpiade – kerap memanfaatkan firework show untuk memukau warga dunia yang meyaksikannya. Dalam Olimpiade Beijing 2008 lalu, pertunjukkan firework-nya berupa letusan 28 kembang api sebagai simbol 28 cabang olahraga yang dipertandingkan dalam even empat tahunan itu.
Sedangkan dalam Olimpiade London yang baru berakhir 12 Agustus lalu, pertunjukkan kembang api juga tak alfa. Konon jumlahkembang api yang dipakai untuk even penutupannya saja mencapai satu juta kembang api !
Akan tetapi, dibalik kemeriahan kembang api – ada pula kesedihannya. Tepatnya sih larangan. Berdalih bahwa petasan, mercon dan kembang api membuat berisik dan mengganggu ketertiban umum, maka menyalakan benda pemicu bunyi in dilarang oleh aparat hukum. Spanduk-spanduk dibentangkan, supaya masyarakat kita bisa membaca dan syukur-syukur menaatinya.
Kisah pelarangan bertambah kelam jika kita membaca berita baru-baru ini. Misalnya pada tanggal 15 Agustus lalu, warga di Perkampungan Dusun Alas Gede Ngingit Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang dibuat geger oleh sebuah ledakan hebat. Ternyata ledakan itu diketahui berasal dari rumah Ponari, warga setempat yang sekaligus juga pembuat petasan. Belakangan diketahui bahwa pada saat ledakan terjadi, Ponari sedang meracik bahan untuk membuat petasan. Ledakan itu sendiri menelan korban, yakni Ponari, Mistiani (istri Ponari) dan Sodikin (keponakan Ponari).
*
Menukik ke inti pembicaraan, dengan bercermin dari realitas jadi sebaiknya bagaimana ? Apakah menyalakan petasan sebaiknya dibolehkan atau dilarang ?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya mencoba berandai-andai sebagai pengusaha, distributor atau pedagang petasan. Terbitnya pelarangan, pasti akan menurunkan penghasilan saya dan bahkan yang paling ekstrem ialah terancam bangkrut. Sebaliknya bila dibolehkan, bukan berarti akan langsung menaikkan penghasilan. Mengingat aktivitas ekonomi berdagang petasan adalah musiman. Sehingga bisa dibayangkan pada saat musim itu tiba (menjelang malam tahun baru dan malam lebaran) para pedagang barang sejenis pasti menjamur.
Berkaitan dengan argumen ini, saya melihat sendiri di kota saya. Tepatnya di Jalan Kartini dan Jalan Raden Intan (dua diantara jalan-jalan utama kota saya). Betapa dijamuri oleh para pedagang petasan dalam beberapa hari menjelang tahun baru dan menjelang lebaran.
Selanjutnya, kita berandai-andai sebagai warga biasa. Dimana bagi warga biasa yang kanak-kanak, bunyi letupan petasan dan indahnya warna-warni kembang api akan menjadi sesuatu yang menyenangkan hati. Bagi remaja dan anak muda, serupa. Yang kemungkinan sengsara ialah golongan tua-tua. Nyaringnya bunyi-bunyian dari petasan dan kembang api menyala merupakan hal yang mengagetkan dan berisik mengganggu ketenangan.
Nah lantas bagaimana kesimpulannya ? Antara pelarangan dan pembolehan ibarat dua sisi mata uang. Antara pelarangan dan pembolehan, kelanjutannya berupa kemeriahan dan gangguan (bagi golongan masyarakat tertentu). Hitam dan putih dengan area abu-abu menjadi perekat hitam putih tadi. Namun saya kira apa yang paling dibutuhkan dalam menyikapi ini adalah wisdom. Kita perlu mengetahui kapan saat yang tepat dan tidak tepat untuk bermain petasan. Kita perlu memikirkan orang lain, apakah mereka terganggu dengan yang kita lakukan itu ataukah tidak. Segala sesuatu bila dilakukan dalam kadar yang tepat akan memberi manfaat. Sebaliknya bila berlebihan maka akan membuang manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H