Masih ingat kasuspembunuhan bocah perempuan Engeline yang terjadi di Denpasar, Bali pada setahunsilam (2015)? Saya yakin, kita semua pasti masih ingat. Pasalnya bukan karenakehebohan oleh pemberitaan media saja. Pasalnya pembunuhan bocah berusia 8tahun itu terbilang memilukan.
Bagaimana tidak, berdasarkan kronologis yang saya himpun danreka kembali – Engeline, si bocah manis itu awalnya diberitakan oleh pihakkeluarga angkatnya. Dibantu oleh media sosial (kalau tak salah facebook),informasi hilangnya Engeline, menyebar cepat. Namun beberapa minggu kemudian,kita dibuat terkejut lantaran si bocah yang dicari-cari itu ditemukan takbernyawa. Semakin terkejut karena lokasi penemuan mayatnya adalah di halamanrumah keluarga angkatnya sendiri.
Pihak berwajib segera melakukan penyelidikan dan berhasilmenetapkan tersangka pembunuhan gadis cilik nan malang itu. Ada dua tersangka,yakni Agus Tay – yang merupakan pekerja di rumah keluarga angkat almarhumahEngeline, dan Magriet Ch. Megawe – yang notabene ialah ibu angkat dariEngeline.
Pasca penetapan tersangka, tak berarti perhatian terhadap kasusini mereda. Justru, sepengamatan saya (saat itu) publik jadi sibuk menghujatdan mem-bully. Aksi ini rerata dilakukan oleh publik melalui media sosial.Adapun subyek atau yang menjadi sasaran hujatan tadi, siapa lagi kalau bukan siAgus Tay, si Magriet, dan tak ketinggalan – keluarga angkat dari Engeline.Tambahan pemberitaan dari media-media di Indonesia, maka klop-lah sudah.
Sebaliknya, publik menunjukkan simpati yang sangat terhadapkeluarga kandung dari almarhumah Engeline. Khususnya yang diekspos adalah ibukandungnya. Teringat jelas, betapa si ibu kandung Engeline ini terlihat sedih.Matanya selalu berurai airmata setiap kali ada media yang mewawancarainya. Rautwajanya memperlihatkan kekhawatiran – walau ada pertanyaan juga di hati saya,apakah kekhawatiran tersebut sungguh karena kehilangan Engeline.
Dalam perjalanannya, sidang atau proses hukum pun terusberjalan. Info terakhir yang saya baca di media, kedua tersangka telah dijatuhivonis penjara sekian tahun oleh majelis hakim. Apakah cukup adil? Saya kira itupenilaian dari masing-masing individu.
Tetapi saya mencoba untuk melihatnya jauh lebih dari sekadarkasus pembunuhannya saja. Menurut saya, petaka awal itu bermula dari orangtuakandung si Engeline sendiri. Saya lupa sumbernya, tetapi tetap dari pemberitaanmedia. Mengapa Engeline bisa menjadi anak (angkat) dari keluarga Margriet Ch.Megawe? Menurut penuturan si ibu kandungnya, saat dia melahirkan putrisulungnya itu – dia dan suaminya tak mampu membayar biaya persalinan. KeluargaMagriet-lah yang kemudian membayar biayanya sebesar Rp 2 juta dan adakesepakatan, setelah biaya persalinan dilunasi – Engeline diangkat menjadi anakdari keluarga Margriet.
BukanOrangtua Kandung Engeline Saja
Kalau merunut ceritanya, jelas artinya orangtua kandung darialmarhumah Engeline ini tidak memiliki persiapan yang matang untuk menyambutkelahiran putri sulungnya itu. Bahkan mungkin dari sejak melangsungkanpernikahan.
Hal seperti inilah yang kebanyakan terjadi padakeluarga-keluarga yang baru membina atau telah lama membina rumah tangga dan(tanpa bermaksud memojokkan salah satu pihak) kurang teredukasi dengan baikperihal kehidupan pernikahan atau membina rumah tangga. Darimana saya tahu? Takusah jauh-jauh, cukup kita perhatikan saja berita-berita kriminalitas yangberseliweran di televisi. Misalnya si ibu anu tertangkap mencuri susu bayi diminimarket, seorang tukang anu kedapatan maling baju untuk anaknya dan usutpunya usut, anaknya berjumlah lebih dari dua. Sedangkan profesi dari si ibuatau si tukang tidaklah jelas. Kedua contoh kasus di atas, secara ringkas dapatdisebut kondisi keuangan-lah yang menjadi pemicunya, yang sebenarnya sekaligusmembuktikan bahwa semakin perlunya perencanaan yang matang dalam membinakehidupan berkeluarga.
Hidup berkeluarga, tak cuma Anda bersama suami atau Anda bersamaistri. Hidup berkeluarga, pastinya akan bertambah individu (anak) baru dankebutuhan-kebutuhan baru.