Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dan Dunia pun Terpikat pada Sulam Usus

23 Desember 2014   05:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:40 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awalnya hanya sebagai aksesoris rumah tangga seperti taplak meja, sarung kotak tisu. Namun di tangan Aan Ibrahim, sulam usus naik kelas. Awalnya hanya dikenal sebagai bagian dari baju adat, namun di tangan Aan Ibrahim – sulam usus naik derajat menjadi adibusana kelas dunia.

*

Sebagai warga tulen Kota Bandar Lampung, saya sudah sering mendengar nama Aan Ibrahim. Hanya, baru kali inilah, tepatnya di Maret 2013 lalu, saya mendapat kesempatan berkunjung ke workshop-nya. Itu pun atas undangannya. Maka meluncurlah saya, pagi menjelang siang ke workshop merangkap galeri fashion miliknya.

Mudah menemukan lokasi workshop plus galeri milik Aan Ibrahim, karena masih terletak di pusat kota Bandar Lampung yaitu di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Baru, Tanjungkarang. Bentuk bangunannya menjulang tiga lantai, berdesain unik dan bercat warna krem, menjadikannya lain daripada yang lain dari bangunan sekitar – turut mempermudah pencarian saya. Saat tiba di sana, kebetulan sedang ada pelatihan membuat sulam usus. Pesertanya ialah tujuh orang mahasiswa asing yang sedang mengikuti program beasiswa darma studi (beasiswa belajar Bahasa Indonesia sebagai bahasa asing) di kampus negeri setempat, Universitas Lampung.

Lucu juga melihat raut wajah para mahasiswa asing tersebut saat membuat sulam usus. Tapi yang membuat salut, semuanya dengan telaten memasukkan jarum, menarik benang, merangkai kain sulam usus mengikuti alur motif. Sesekali di antara para mahasiswa asing itu berhenti untuk “mengintip” hasil pekerjaan temannya atau menunjukkan hasil karya mereka ke pembimbing sulam usus yang duduk mendampingi mereka.

Tak berapa lama, keluarlah Aan Ibrahim dari ruang kerjanya. Senyum dan suara ramahnya menyambut saya. Ia memantau sebentar pekerjaan para mahasiswa asing tadi. Baru kemudian meluangkan waktu bercerita kepada saya mengenai mimpinya meningkatkan derajat sulam usus.

Desainer Otodidak yang Idealis

Mungkin Aan Ibrahim sendiri takkan menyangka atau terpikir kelak dirinya akan menjadi seorang perancang busana, apalagi yang bernuansa daerah serta melalui idealismenya itu mampu mendayakan Indonesia kita. Maklum saja. Tak kurang dari latar belakang pendidikan dan latar pekerjaannya, tak satu pun yang menunjang bidang rancang-merancang alias mode. Aan hanya mengenyam pendidikan formal di STIAL (Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lampung) jurusan ilmu administrasi. Lulus kuliah, mulai tahun 1982 ia bekerja sebagai tenaga medis di RSUD Abdul Moeloek Lampung alias pegawai negeri sipil (PNS).

Setelah tujuh tahun bekerja sebagai PNS, pada 1989 ia memantapkan hati berhenti dari pekerjaannya guna mewujudkan idealismenya sebagai desainer yang berbasis pada kain daerah tanah kelahirannya. Langkahnya ini bisa dibilang nekat. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Aan kepada saja, “kalaupun saya harus jatuh ya saya akan menjalaninya dengan ikhlas. Saya tak pernah bosan karena semua ini berangkat dari hobi saya mengoleksi tapis dan sulam usus.”

Pada tahun itu juga, ia mendirikan CV. Aan Ibrahim Brother sebagai pusat yang mewadahi usaha fashion-nya yang berbasis mode daerah. Namun, bukanlah sulam usus yang pertama kali digarap oleh desainer kelahiran Pagardewa 58 tahun silam ini. Melainkan tapis, kain khas yang telah lama menjadi ikon Lampung.

Banting Setir ke Sulam Usus

Lalu, mulai kapan beralih ke sulam usus ? “Titik kulminasi saya itu (terjadi) tahun 1994. Sekian tahun saya mendesain tapis, tiba-tiba saya merasa mentok,” akunya.

Di saat jenuh itu, ide secara tak sengaja menghampirinya. Ketika melihat penari di suatu pesta memakai bebe yang terbuat dari sulam usus, timbul inspirasi untuk membuat baju dari sulaman usus. Hal pertama yang timbul di benaknya ialah menggantikan kebaya yang dipakai wanita Lampung menjadi kebaya dari sulam usus. Bebe sendiri adalah penutup bahu pakaian adat wanita Lampung.

Bahkan (awalnya) orang Lampung pun belum banyak yang tahu akan busana sulam usus. Padahal tapis dan sulam usus itu saling melengkapi. Sebagaimana dijelaskan Aan Ibrahim kepada saya, ”Orang zaman dahulu tidak memiliki baju. Baju yang dipakai adalah tapis yang menutupi setengah badan. sulam usus dipakai untuk menutupi bahu yang terbuka atau disebut bebe. Tanpa bebe, para wanita (Lampung) pun sungkan mengenakan tapis karena masih memperlihatkan bagian bahu yang terbuka.

Maka semakin mantaplah Aan mengembangkan sulam usus. Itu terjadi di tahun 1995. Aan lantas memerlukan waktu dua tahun sebelum “mengkonsep jadi” sulam usus dalam imajinasinya. Ia mendatangi daerah-daerah pedalaman Lampung yang masih membuat sulam usus. Tepatnya mengadakan riset tentang cara pembuatannya, bahan, motif dan lain-lain ini di Menggala, Tulangbawang. Ia melakukan sejumlah perubahan pada bahan kain, desainnya tidak menggunakan benang biasa. Melainkan benang nilon yang lebih kuat dan memiliki karakteristik berkilau seperti sulam ususnya yang juga berkilau karena dibuat dari satin. Penggunaan benang nilon inilah yang menjadi trademark dari adibusana berbahan sulam usus karya Aan Ibrahim.

Sayangnya kala ia berhasil mengenalkan karyanya ke publik - dia mendapat protes, khususnya dari para tetua adat. Mereka menggangggap perubahan fungsi ini (dari bebe menjadi kebaya) dapat merusak tatanan adat, nilai historis dan keindahan hasil karya yang sudah turun temurun. “Protes dari orang adat ini pas (tahun) 1996. Tapi terus enggak lagi,” kenang ayah berputri dua ini.

Sedangkan masyarakat di luar lingkungan adat juga pesimis dan memandang sebelah mata. Mereka mengganggap busana yang akan dibuat ini sama seperti busana adat yang jauh dari kesan menarik, tidak praktis dan berat saat dipakai.

Mengenai kesan berat dan tidak praktis ini, padahal sebenarnya berbeda sekali. Bahan dasar sulam usus adalah kain satin, karakteristik satin yang mengkilat memberi kesan mewah dan elegan. Sifat bahan yang jatuh (tidak kaku) dan halus memudahkan dibuat dalam beragam pola dan motif mulai dari motif lurus, melingkar, pita hingga model ulir dengan tingkat kesulitan dan ketelatenan tersendiri. Namun tetap ringan saat dikenakan.

Nasional dan Internasional

“Dalam mengembangkan ini (sulam usus) saya berasumsi bahwa kebudayaan daerah harus dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,” tegasnya. Karena itu pula dan kepeduliannya terhadap tanah kelahirannya, dari awal mengembangkan karyanya, Aan senantiasa merekrut tenaga-tenaga lokal.

Para tenaga lokal ini terutama anak-anak putus sekolah (SD hingga SMA) dan para janda. “Mereka berasal dari daerah seperti Tulang Bawang, Tanggamus, Lampung Barat dan lain-lain. Saya rekrut (pekerjakan) secara swadaya atau sesuai kebutuhan saja,” paparnya.

Mereka (para tenaga kerja) ini membentuk kelompok kerja yang berjumlah kira-kira 5-15 orang. Masing-masing kelompok ini mengerjakan dasar sulam usus. Pembuatan sulam usus untuk satu busana memerlukan waktu cukup lama, yakni sekitar tiga bulanan. Apabila ada detail atau motif yang lebih rumit maka membutuhkan waktu lebih lama lagi dan tingkat ketelitian yang lebih tinggi.

Hingga tahun 1999, Aan telah mempekerjakan 110 tenaga lokal dalam menggarap karyanya. Sekarang ia masih tetap menggunakan tenaga kerja lokal, meskipun jumlahnya tak sebanyak dulu.

Adalah yang membanggakan dirinya, bahwa kini para eks karyawannya tersebut (berbekal ilmu sulam usus selama bekerja kepadanya) mampu membuka usaha sendiri. Artinya memberdayakan orang lain di daerah asal mereka sekaligus mengembangkan dan turut melestarikan sulam usus.

Di luar kebanggaan itu, masih ada beberapa. Salah satunya ialah karya adibusananya ini pernah dibeli oleh sosialita kelas dunia. Tahu Paris Hilton ? Ya, si sosialita berambut blonde inilah yang pernah membeli sulam usus karya Aan Ibrahim. Ini terjadi pada 2003, Hilton yang sedang berlibur ke Bali sempat mampir ke butiknya yang berlokasi di Sanur. Tak banyak yang tahu memang. Aan sendiri tahu Hilton membeli setelah dikabari oleh pegawainya keesokan harinya. Sayangnya, Aan juga tak memiliki dokumentasi karya yang dibeli oleh Hilton. Begitupun sang pegawai tak keburu mengabadikan momen tersebut.

Kebanggaan lain datang di 2006, saat ia dipilih oleh Yayasan Putri Indonesia untuk merancang baju bagi Putri Indonesia 2006 Agni Pratishta dan Miss Universe 2006 Zuleyka Rivera. “Saya dikontak oleh pihak YPI (Yayasan Putri Indonesia) setahun sebelumnya,” kata laki-laki yang biasa disapa Bang Aan ini. Aan datang ke Jakarta dan untuk memakaikan secara langsung busana rancangannya kepada pemenang ajang Miss Universe dan Miss Universe 2006. “Dari enam gaun yang saya bawa, sulam usus warna hitam yang dia pilih dan memang cocok dengan ukuran tubuhnya,” ucap suami dari Rosidasari Murad ini.

[caption id="attachment_361262" align="aligncenter" width="300" caption="Foto bareng Aan Ibrahim bersama Miss Universe 2006 Zuleyka Rivera yang mengenakan busana sulam usus"][/caption]

[caption id="attachment_361266" align="aligncenter" width="300" caption="Putri Indonesia 2006 Agni Pratistha mengenakan gaun sulam usus karya Aan Ibrahim"]

14192604821947667650
14192604821947667650
[/caption]

Tak berhenti, selanjutnya di tahun 2010, ia dikabari oleh pihak Museum Tekstil Indonesia. “Waktu itu saya surprise (terkejut) sekali dikabari kalau (karya saya) sulam usus diminta mengisi koleksi museum,” ceritanya antusias. Jadilah sekarang sulam usus karyanya “mejeng” di museum yang berlokasi di Jakarta Pusat itu.

Masih Tetap Galau

Kekonsistenannya mengembangkan sulam usus, rupa-rupanya dilirik oleh institusi pendidikan di negeri Paman Sam. Pada tahun 2003, Universitas Chicago di Amerika mengganjarnya dengan gelar Doctor Honoris Causa. “Lama juga prosesnya (seleksi Doctor Honoris Causa). Mereka minta representasi dari APPMI (Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia) dan perindustrian dan Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional). Saya juga waktu itu diwawancarai dan dimintai makalah dan saya presentasikan dihadapan 7 orang, tiga bule dan empat orang Indonesia,” ceritanya.

[caption id="attachment_361263" align="aligncenter" width="300" caption="Menerima gelar Doctor Honoris Causa"]

14192602831174444192
14192602831174444192
[/caption]

Dua bulan kemudian ia dikabari oleh pihak universitas tentang pemberian gelar Doctor Honoris Causa ini. “Tapi waktu dikabari, sepertinya tidak percaya. Takut tertipu dan dimintai duit. Setelah di cek oleh adik ipar yang (tinggal) di Jakarta bahwa izin segala macamnya benar, baru ok (percaya),” sambungnya.

Bagaimana rasanya sewaktu menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Chicago Amerika ? “Waktu terima itu setengah percaya setengah tidak, seperti mimpi,” ujarnya sambil terkekeh.

Sementara Desember tahun lalu (2012), Pemerintah RI memberikan penghargaan Upakarti kepadanya. Ini pun prosesnya sama rumitnya dengan gelar Doctor Honoris Causa. “Ribetnya gila-gilaan dengan birokrasi setempat (Lampung). Tahapan seleksinya sampai tiga kali baru dikabari. Kita menerimanya (upakarti) di Istana. Kita dikumpulkan dulu di satu hotel dan dijemput ke istana. Terus dilatih dulu, duduknya juga di atur biar tertib. Si Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur Jakarta) hadir juga,” ceritanya mengenang saat-saat pemberian upakarti yang mirip karantina kontes putri-putrian.

[caption id="attachment_361264" align="aligncenter" width="300" caption="Menerima Upakarti di tahun 2012"]

14192603561617144098
14192603561617144098
[/caption]

Tapi, lanjutnya, ia mengakui ada rasa tegang senang secara pribadi dan terutama bangga untuk Lampung. Terlebih dinas perindustrian Lampung sudah pernah berkali-kali mengusulkan orang lain (mewakili Lampung) tapi tidak dapat Upakarti.

“Saya senang sulam usus sudah diakui. Bahkan di Lampung sudah mau dimasukkan ke kurikulum di sekolah SD, SMP dan SMA,” tambahnya lagi, berbagi info.

Berbagai kebanggaan telah dirasakan olehnya, beberapa penghargaan telah dianugerahkan kepadanya dan bila berkunjung ke Lampung, sebutlah nama Aan Ibrahim. Maka yang tercetus pastilah “sulam usus”. Tetapi Aan yang telah memiliki nama besar tetap konsisten berkarya yang terbaik. Diam-diam pula sebenarnya dia menyimpan kegalauan.

Apa ? Lantaran sulam usus yang namanya dilambungkan olehnya ini, belum memiliki satu referensi dalam bentuk tulisan. Kabarnya ia sedang menyusun buku tersebut. Kami tunggu, Bang Aan. (sedikit catatan: artikel mengenai Aan Ibrahim ini saya tulis setahun yang lalu (2013) dan telah mengendap selama setahun dalam file komputer saya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun