Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menuntaskan membaca buku “Hidup yang Lebih Berarti – Sosok Inspiratif untuk Dayakan Indonesia” yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo (April 2016). Pada Rabu sore (18/5) saya membelinya di Toko Buku Gramedia, Enggal, Bandar Lampung. Setibanya dikost (Rabu malam) saya buka sejenak untuk melihat isinya. Lalu pada Kamis tengah malam (19/5), saya baca setengah isi buku yang bertotal 190 halaman tersebut. Sisanya saya baca lagi pada Jumat pagi (20/5).
Secara pribadi, muncul pertanyaan – mengapa saya mampu menuntaskan membaca buku (kali ini) dengan cepat? Pengalaman bertahun-tahun membaca buku, saya tergolong lelet. Dulu-dulu saya sering meminjam buku di Perpustakaan Daerah (Pusda) Lampung, dua buku untuk masa pinjam seminggu dan lebih sering saat dikembalikan – buku tersebut tidak tunai dibaca. Bahkan sama sekali tidak dibaca.
Warna cover buku yang orange benderang, saya akui sungguh menarik. Ditambah judul bukunya pun menginspirasi. Nyatanya inspirasi yang menarik itu tak sebatal di judul. Isi buku (setelah dibaca) nyatanya memang sealur dengan judul yang diusung dan terutama memotivasi para pembacanya mengenai memaknai kehidupan dan kesuksesan.
*
Ada 20 kisah inspiratif dalam buku ini dan semuanya ditulis oleh para blogger yang tergabung dalam blog keroyokan bernama Kompasiana. Karena itu pula maka para blogger disebut Kompasianer, dan satu lagi, Kompasiana ini merupakan blog yang bernaung dalam Kompas Group. Mereka, para Kompasianer yang menyumbangkan tulisannya, berasal dari berbagai wilayah nusantara. Dengan fakta itu, maka tak mengherankan jika kisah dalam tulisan-tulisan mereka pun bervariatif, tak melulu dari satu wilayah dan satu bidang.
Dalam 20 kisah inspiratif ini, ada yang mengangkat soal getuk melalui tulisan yang berjudul “Dengan Getuk Marem, Hanggono Setia pada Cita Rasa Masa Lampau” yang ditulis oleh Kompasianer Afandi Sido. Di sini, si penulis (khususnya) menuturkan kisah Pak Hanggono seorang wiraswasta getuk di Yogyakarta. Bertekun pada penganan lokal berbasis singkong sejak tahun 1960-an, Hanggono harus menjalani lika-liku hingga menjadi seperti sekarang dimana Getuk Marem dikenal khalayak luas.
Kemudian, tulisan yang berjudul “Sunardi, Makin Produktif ada Masa Pensiun” yang ditulis oleh Kompasianer Akhmad Fatkhulamin. Sama seperti tulisan soal Getuk Marem produksi Pak Hanggono, isi tulisan ini pun memaparkan kelok-kelok kehidupan dalam berusaha. Bedanya, Pak Sunardi-lah yang menjadi subyeknya. Adapun usaha yang digeluti oleh beliau adalah peternakan lele.
Selanjutnya cerita mengenai Pak Suwono, seorang petani organik di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Kisah Pak Suwono ditulis dengan apik oleh Kompasianer Nanang Diyanto dengan judul “Suwono, Ubah Kotoran Manusia Jadi Pupuk Organik”.
Sedangkan dari Pulau Sumatera, Kompasianer Iskandar Zulkarnain menceritakan perjuangan pasangan suami istri – Pak Ujang Karim dan Ulyati – dalam merintis dan mengembangkan usaha keripik sanjai di Tanah Minang.
Dan jujur, tanpa mengesampingkan ke-18 kisah yang ada di dalam buku, kedua yang saya sebut belakangan inilah yang merupakan favorit saya. Mengapa? Pertama, karena lucu dan perasaan itu saya dapatkan saat membaca kisah Pak Suwono yang menggeluti pupuk organik.
Awalnya dia tidak bermaksud untuk menekuni bidang tersebut dan menjadi petani (tulen). Usaha awal yang digelutinya ialah sedot WC. Namun pada suatu ketika, Pak Suwono mengolah tinja yang didapatnya dari hasil sedot WC tersebut. Maksud mengolah limbah itu supaya pada saat dibuang ke Sungai Sekayu yang berada di sekitar tempat tinggalnya, dapat meminimalisasi “racun-racun” dalam tinja sehingga tidak mencemari sungai sebagai tempat membuang hasil sedot WC tersebut.