Birokrat Kita, Ampyuuun Dech !
Saya ngambek, saya sebal, saya sakit hati dan kesal hati. Kenapa sih harus begitu ? Kenapa tidak low profile atawa rendah hati sedikit ? Sadar dong status Anda. Jangan sok jumawa dengan status Anda. Memang siapa yang menggaji Anda ? Tapi kenapa ? Kenapa ?
Kisah ini bermula ketika saya mengunjungi teman yang bekerja di sebuah Universitas di kota saya. Sebutlah nama universitas itu dengan universitas B dan nama teman saya ini Mas RD. Pada universitas tersebut, Mas RD berposisi sebagai tenaga perpustakaan. Bisa dibilang Mas RD-lah yang mengurus dan bertanggung jawab semua hal ihwal yang berkaitan dengan koleksi buku perpustakaan universitasnya, pemeliharaan koleksi, pencarian referensi (biasanya mahasiswa yang kuliah disitu yang membutuhkannya) dan mengarsipkan hasil penelitian (skripsi dan tesis) mahasiswa ke dalam komputer.
Sore menjelang pukul 16.00 WIB, datanglah dua orang mahasiswa ke ruang perpustakaan tempat Mas RD bekerja. Seorang lelaki menggenakan kaus putih oblong dan celana jeans biru serta sepatu kantor. Rambutnya berpotongan agak cepak, raut wajahnya kehitaman, tampangya tak ganteng-gateng amat. Tapi memang postur tubuhnya yang sedang itu, tergolong cukup elok dan padat.
Lelaki ini datang bersama seorang temannya, wanita yang bila dilihat sekilas berusia lebih muda darinya. Mungkin kekasihnya atau mungkin partner kerja di kantornya, begitu pikir saya saat melihat keduanya datang bersamaan. Si wanita, bisa ditebak habis pulang kerja. Sebab dia masih menggenakan seragam kerja kantornya. Tak ada tanda pengenal seperti ID card atau badge nama yang tersemat di pakaian kerjanya. Hanya saja saya kenali bahwa kemungkinan si wanita ini bekerja di kantor pemerintahan di kota saya.
Dugaan saya benar, setelah saya berbasa-basi sedikit dengannya. Waktu itu si wanita sedang sibuk membuka laptopnya, sepertinya ada beberapa file atau data yang hendak di-copy dari file universitas tersebut ke laptop si wanita. “Mbak, kerja di mana ?” tanya saya kepadanya.
Dan percakapan kami dimulai. Wanita dengan wajah berkulit cerah ini menjawab dia bekerja di kantor pemerintahan kota setempat dan ditempatkan di bidang pertanian. “Oooh,” manggut-manggut saya mendengar penjelasannya. Saya pun menyambung percakapan lain dengan si mbak ini.
Percakapan kali ini mengenai transportasi kota. Memang sih enggak nyambung dengan bidang yang ditanganinya dan saya pun sadar. Tetapi saya hendak mengetes saja, kira-kira gimana tanggapan si mbak pada topik yang saya cakapkan itu. “Mbak kan kerja di pemkot. Mbak, tolong dong sampaikan ke bapak walikota soal bus ijo dong (Perkenankan saudara-sudara, bus ijo yang saya maksud di sini sebenarnya bus trans atau busway. Tapi saya lebih senang menyebutnya dengan bus ijo ketimbang bus trans). Terus juga soal pembangunan flyover. Sepertinya kota kita belum terlalu perlu flyover. Kalau untuk mengatasi kemacetan kan mana mungkin kita selalu menambah jalan. Jumlah kendaraan kan selalu bertambah,” kata saya kepadanya.
Lalu saya sambung lagi ke persoalan pilkada di mana kinerja seorang kepala daerah itu bisa dinilai dari cara dia mengelola kota atau daerah yang dipimpinnya. “Jika memimpin lingkup daerah yang lebih kecil saja masih acakadut, bagaimana mau memimpin lingkup daerah yang lebih besar ?” ujar saya pada mbak tadi dengan santai.
Kemudian si mbak menyahut omongan saya dengan cepat. Dalam jawabannya kepada saya, dia mengatakan jika masalah kemacetan yang ada bukan tanggung jawab pemerintah yang sekarang saja. Melainkan juga tanggung jawab pemerintah yang sebelum-sebelumnya. Masih menurutnya, enggak fair menghubungkan masalah kemacetan dengan kemapuan memimpin dan pilkada. “Lagipula, itu kan bukan bidang saya, Mbak,” jawabnya.
“Ooh iya ya. Bidang mbak kan pertanian ya ?” tanya saya. Si mbak tidak menyahut, hanya diam saja. Saya pun masih melanjutkan pertanyaan saya, “Mbak kalau bidang pertanian mengurusi apa sih ?” tanya saya, ingin tahu. “Pangan ya ? Misalnya mengurusi beras ?”
“Itu sih urusannya petani,” celetuk si mbak sambil tertawa kecil. Hah ? Kaget saya mendengar jawaban dari si mbak. Tetapi berhubung waktu sudah sore, maka saya pamit pulang kepada teman saya yang bekerja di Universitas B itu. Kepada dua orang tamu (yang juga mahasiswa di situ, si mas dan mbak pemkot) saya melengos saja.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, sampai saya menuliskan tulisan ini, saya masih tergiang-giang pada ucapan si mbak yang bekerja sebagai birokrat di pemerintah kota setempat. Ya ampun, kok tidak pedulian sekali dan sombong sekali ?! Mentang-mentang bukan bidangnya, maka dia berpikir bisa menjawab seenaknya. Mentang-mentang ditempatkan di bidang pertanian maka dia tidak pedulian dengan bidang yang lain. Kok begitu sih ?
Padahal, siapa tahu suatu hari dia di rolling ke bidang transportasi dan jalan. Selain itu pun, bila memang dia tidak peduli (karena memang tidak tahu) kan bisa saya dia menjawab dalam versi yang lebih meneduhkan, misalnya “oh ya nanti saya sampaikan ke rekan saya yang menangani bidang tersebut.”
Namun lebih daripada itu, yang paling membuat kecut hati ialah jawabannya mengenai beras (yang merupakan urusan petani). Kok jawabnya begitu sih ? Kok jawabnya sombong sekali ? Tak pernahkah dia sadar, jika dia bisa bekerja itu (secara tidak langsung) karena adanya para petani tersebut. Logikanya begini, petani bekerja di lapangan. Mengurus sawah, menanam padi, memanen beras.
Sementara tugas dari para birokrat yang mengurusi bidang pertanian, misalnya mendata berapa banyak produksi beras yang dihasilkan oleh para petani itu dan (kalau si birokratnya kreatif) melakukan ujicoba yang berkaitan dengan varietas padi-padian. Siapa penguji coba varietas padi-padian tersebut ? Tentu saja petani ! Coba kalau tidak ada petani (yang menanam dan menghasilkan beras), mana mungkin ada bidang pertanian dan dia bisa bekerja sebagai birokrat di bidang pertanian ?
Ah tetapi sudahlah. Seiiring dengan mendekati akhir tulisan ini, rasa ngambek, sebal, sakit hati dan kesal hati yang mengghinggapi saya, secara perlahan mulai sirna. Sebab menjadi bodoh sendiri dan capek hati sendiri bila saya terus menerus memikirkannya yang pastilah terus menerus juga membakar rasa amarah. Lagipula, bukankah mentalitas birokrat memang sedemikian rupa. Justru malah aneh (bin ajaib) bila kita bisa mendapati seorang birokrat yang mengayomi, peduli dan berkredibel terhadap kota dan warganya. Bisa jadi hanya Jokowi seorang. (Bandar Lampung, 4 April 2013).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H