Mohon tunggu...
Linka Azzahra
Linka Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta Prodi Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjalanan ke Baduy : Mengetahui Kehidupan Tradisional Bersanding dengan Era Teknologi Modern

8 Juli 2024   00:17 Diperbarui: 9 Juli 2024   11:27 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suku Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya nenek moyang mereka, Suku Baduy Merupakan penduduk asli di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Meski tidak seperti suku pedalaman lainnya yang tinggal di hutan, Suku Baduy memilih untuk tinggal di pedesaan yang dekat dengan kota. Meski begitu, Suku Baduy tinggal berdampingan dengan alam sekitar dan sangat menghargai hutan serta alam yang telah memberikan kehidupan untuk mereka.

Walaupun Suku Baduy memang penduduk asli Pegunungan Kendeng dan masih satu suku, Suku Baduy masih terbagi lagi menjadi dua golongan yaitu Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam. Terdapat beberapa perbedaan antara dua suku tersebut, diantaranya adalah warna baju, Baduy Luar biasanya menggunakan warna hitam atau biru tua sedangkan Baduy Dalam menggunakan warna putih. Pemaknaan terhadap warna tersebut juga berbeda, orang di Baduy Luar memaknai warna hitam dan biru tua sebagai sebuah kesederhanaan, sedangkan Baduy Dalam memaknai warna putih sebagai sebuah lambang kesucian sekaligus menghargai nilai-nilai dan memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka serta menolak adanya teknologi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Keterbukaan terhadap dunia luar, jika dibandingkan Baduy Luar lebih terbuka terhadap dunia luar, sebab mereka sudah menerima sentuhan teknologi seperti listrik dan handphone, serta menerima turis asing untuk berkunjung ke desa mereka tidak seperti Baduy Dalam yang menolak teknologi dalam bentuk apapun. Letak atau posisi tinggal suku, Baduy Luar tinggal di lima puluh kampung di sekeliling kaki Gunung Kendeng. Sedangkan Baduy Dalam tinggal di tiga kampung yaitu Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo yang terpisah dari Baduy Luar.

Saya mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Baduy Luar bersama teman-teman kuliah saya dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Prodi Ilmu Komunikasi angkatan 2021. Perjalanan ini didampingi dosen kami di mata kuliah Digital Creativepreneurship, beserta dengan dosen-dosen lainnya. Perjalanan yang kami lakukan ini adalah bentuk dari pelaksanaan tugas akhir semester dengan harapan para mahasiswa dan dosen yang ikut serta juga dapat menambah wawasan mengenai bagaimana kehidupan antara masyarakat tradisional Suku Baduy berdampingan dengan teknologi di masa sekarang. 

Di perjalanan ini, kami dipandu oleh Kang Mursid yang merupakan salah satu orang yang berperan sebagai pemandu lokal dan juga salah satu penduduk Suku Baduy Luar, dimana sepanjang perjalanan tugas kami beliau yang memberitahukan sejarah, asal usul dan kebiasaan Suku Baduy selama perjalanan menuju desa. Kami menempuh perjalanan kaki yang cukup menantang menuju desa Baduy Luar, dikarenakan jalurnya yang berupa tanah dan bebatuan dengan banyak turunan dan tanjakan yang cukup curam, kami menempuh perjalanan selama kurang lebih 2 jam dengan jarak 6 kilometer menuju desa Baduy Luar. Sepanjang perjalanan, Kang Mursid memberi tahu kami tentang pentingnya menjaga hutan dan lingkungan bagi Suku Baduy. Mereka sangat menghargai hutan karena merupakan sumber kehidupan bagi mereka, mulai dari makanan hingga obat-obatan alami. Kami juga diperkenalkan dengan tempat-tempat dimana warga setempat melakukan aktivitas mereka sehari-hari.

Setibanya di desa, kami langsung disambut oleh penduduk setempat dengan ramah. Kami menyempatkan diri untuk makan siang bersama dan sholat Dzuhur terdahulu sebelum melakukan aktivitas lainnya untuk mengumpulkan informasi sebagai data bagi penugasan tugas akhir semester. Kami diperkenalkan dengan cara hidup warga desa Suku Baduy Luar yang sangat sederhana namun penuh makna. Rumah-rumah mereka terbuat dari bahan-bahan alami seperti bambu dan kayu, serta atap dari daun nipah.

Kelompok kami mewawancarai salah satu penduduk lokal Desa Baduy Luar bernama Kang Janin, dimana beliau menjelaskan bahwa sistem pemerintahan di Suku Baduy mengikuti struktur adat dari Baduy Dalam. Beliau juga menjelaskan bahwa teknik pengobatan masyarakat Baduy masih kebanyakan menggunakan herbal-herbal alami yang dibuat sendiri. Pekerjaan utama dari masyarakat Baduy adalah bertani dan menenun kain dan untuk sistem pendidikannya pun tidak ada sekolah, anak-anak dari Suku Baduy hanya mendapatkan pendidikan dari orang tua mereka atau mereka hanya sekedar belajar bersama-sama dari pengalaman. 

Dari yang kami amati selama di sana, masyarakat Baduy memang hidup dari bercocok tanam dan kerajinan tangan. Meskipun sudah ada sentuhan teknologi seperti listrik dan handphone, mereka tetap memegang teguh nilai-nilai tradisional. Kami melihat bagaimana mereka memanfaatkan teknologi secara bijak, hanya untuk hal-hal yang benar-benar diperlukan, seperti komunikasi dan penerangan. Saya juga sempat berdiskusi dengan pemandu lokal mengenai pandangannya terhadap teknologi. Menariknya, meskipun masyarakat Baduy Luar terbuka terhadap teknologi, mereka sangat selektif dalam penggunaannya. Mereka menolak teknologi yang dianggap dapat merusak tatanan sosial dan budaya mereka. Misalnya, mereka menolak penggunaan televisi karena dianggap dapat membawa pengaruh negatif dari dunia luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai mereka. Perjalanan ini tidak hanya memberikan kami wawasan tentang kehidupan masyarakat Baduy Luar, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa berdampingan dengan teknologi tanpa kehilangan identitas budaya mereka.

Kunjungan ke Baduy Luar ini benar-benar membuka mata kami tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, kami mendapatkan wawasan berharga tentang bagaimana teknologi dapat digunakan secara bijaksana tanpa mengorbankan identitas budaya. Kami berharap pengalaman ini dapat menjadi bekal berharga dalam karir kami di masa depan, terutama dalam memahami dinamika masyarakat tradisional di era digital.

Artikel ini ditulis oleh Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Jakarta Kelompok 5 dari Mata Kuliah Digital Creativepreneurship yang beranggotakan :

1. Linka Azzahra

2. Carolina Fernanda Diaz Aprianto

3. Rizka Nusrotul

4. Nabila Putri Meitana

5. Rara Salsabila

6. Fina Malika Azmi

7. Annisa Alfannafiisah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun