Mendampingi seorang Guru Besar yang populer dan cukup kontriversial (menurut orang-orang), itulah paruh waktuku sehari-hari. Prof. Siti Musdah Mulia nama lengkapnya. Undangan bicara dari satu tempat ke tempat lain tak pernah ia tolak, (asalakan waktunya tepat) termasuk juga jika diundang oleh kelompok kanan garis keras. Tak pernah sedikitpun terbersit rasa takut dalam dirinya.
Dari sekian banyak undangan yang datang, undangan kali ini, di sore 9 oktober 2013 cukup membuat saya gerergetan. Ibu diundang oleh salah satu lembaga intansi negara membincang persoalan intoleransi di Indonesia. Perbincangan ini dilakukan dalam sebuah sidang terbatas, dihadiri oleh kurang lebih 10 orang peserta. Hampir semua peserta adalah petinggi dari lembaga tersebut. Ibu tak hanya datang sendiri. Adalah dua orang panelis dalam setiap sidang. Sidang pertama dilakukan sore hari dengan dipanel satu orang ustadz dan satu orang Profesor (ah..rasanya saya enggan menyebutnya Profesor, Profesor yang anti dengan kelompok lain). Yang lebih menarik lagi, semua peserta adalah laki-laki, hanya Ibu saja yang perempuan. Sementara saya hanya diam dan duduk mendengarkan di belakang meja sidang, sembari mendengar dan mencatat semua percakapan dalam sidang tersebut.
Memasuki perbincangan soal kelompok kepercayaan, salah satunya adalah soal Syi’ah & Ahamadiyah. Jelas dan sangat terang dua panelis lainnya benrtolak belakang dengan opini yang Ibu sampaikan. Peserta yang lain yang notabene petinggi lembaga negara (pelaksana sidang) hanya manggut-manggut seraya mengiyakan apa yang disampaiakn oleh dua panelis lainnya. ‘bagaimanapun kita ini bu, tidak bisa lepas dari Qur’an & hadist, jadi jangan sekali-kali menafikan dua pedoman itu’. Disampaikan dengan nada agak tinggi tapi sambil cengengesan. Sambil tersenyum Ibu memperhatikan apa yang Ustadz itu sampaikan dan kemudian menjawab ‘eh pak, kita ini sedang membahas negara, dan kita punya hukum sendiri, qur’an & hadist mari kita jadikan pedoman hidup masing-masing’. Belum usai Ibu menjelaskan, salah satu peserta menyela, ‘tapi bu di UUD kita saja, diawali dengan kalimat –dengan Rahmat Allah, Tuhan YME-, Allah lo bu, itu menandakan kalau Allah yang menjadi pijakan hukum kita’, dan Ibu menjawab: ‘pak, kalo itu kata disebutkan Allah apakah kemudian artinya harus Tuhan orang muslim, harus islam?’ dan terjadilah perdebatan soal Allah. Lucu sekaligus geram, bisa-bisanya bapak-bapak dalam ruangan ini, hanya kata Allah saja jadi perdebatan, ehm...
Tak lama lagi peserta lain mempersoalkan soal kasus sebuah gereja yang kenapa tiba-tiba menjadi isue internasional, katanya. Kemudian sang Profesor panel, menyampaikan keberatannya soal Syi’ah dan Ahmadiyah. Bagian ini yang paling menjengkelkan sang profesor itu dengan nada tinggi sambil membentak ibu sembari menunjukkan jari telunjuknya, lalu kemudian dengan santai ibu menjawab ‘Pak apa yang bapak sampaikan itu adalah apa yang terjadi di Iran sana, dan itu bukan isue keyakinan semata, tetapi politik juga terlibat pak, nah...kalau masalahnya disana, lalu kenapa saudara-saudara kita yang di Sampang yang terkena imbas’???. Dan semua peserta terdiam...
Satu orang peserta berniat menengahi dan berkata ‘begini bu, kita ini masih untung jika di banding dengan negara lain, kasus intoleransinya sebenarnya tidak begitu banyak dibanding dengan toleransinya, karena masyarakat kita sebenanrnya sangat toleran. Contoh, Kasus perkosaan juga kita tidak terlalu tinggi dibanding negara lain’. Kali ini dengan tegas ibu menjawab ‘bapak-bapak sekalian yah, tolong lepaskan cara pandang yang membandingkan seperti itu, bagi saya kasus yang ada tetaplah kasus! Meski perkosaan hanya terjadi pada satu orang , dia tetap saja perkosaan, satu orang tapi korban perkosaannya adalah anak dari bapak-bapak ini, misalnya bagaimana???!’ lagi-lagi peserta terdiam.
Ibu melanjutkan ‘begini ya pak, tugas Negara adalah melindungi seluruh hak warga negaranya, tanpa pandang bulu, mau apapun kepercayaan, kulit, ras dan lain sebaginya’. Sang Profesor panel menyambut dengan senyum, ‘betul bu, Negara harus melindungi seluruh warganya, hususnya yang harus dijaga adalah kelompok mayoritas’. Kali ini Ibu agak naik pitam ‘apaaa?????? Mayoritas??? Gak bisa begitu dong, tidak ada istilah mayoritas dalam perlindungan, semua tanpa terkecuali bila dia warga negara maka ia harus dilindungi, titik..! tidak ada kompromi..!!’. sang Profesor panel masih membantah, tapi bu di Negara kita ini kelomopk minoritasnya adalah kelompok tirani minoritas jadi yang mayoritas harus diutamakan’. ‘Bapak bisa-bisanya ya berpandangan demikian, bagi saya wajib bagi negara melindungi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali, tidak ada lagi yang dapat dikompromikan soal itu’.!
Dalam forum ini aku yang hanya mengasistensi Ibu, dan duduk sambil mendengar di belakang, terdiam dan terperangah. Bisa-bisanya sebuah lembaga negara menghadirkan seorang Profesor yang memiliki cara pandang demikian, yang lebih miris lagi adalah mayoritas peserta yang terlibat mengamini apa yang disampaikan oleh sang Profesor yang dipanel bersama ibu. Geram sambil geregetan, rasanya ingin sekali aku teriak, tapi apalah daya. Aku hanya terdiam sambil mengelus dada, berharap semoga pandangan ini tak ku temui dalam lembaga negara yang lain. Namun jika saja itu banyak di lembaga lain, maka sesungguhnya ancaman radikalisme, anti demokrasi-pancasila juga datang dari kelompok pengelola negara ini.
Semoga saja, kian banyak Profesor lain seperti Bunda, sapaan akrabku pada Prof. Musdah yang berani lantang bicara soal pentingnya demokrasi dalam kehidupan bernegara, pentingnya pancasila dalam ruh setiap lagkah hidup di Negara majemuk ini, pentingya memanusiakan manusia...!
*sigh
Jakarta Pusat, 10 Oktober 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H