Permasalahan buruh di PT Jakarta International Container Terminal (JICT) Tanjung Priok, Jakarta Utara seperti tidak ada henti -- hentinya terjadi. Sudah dari tahun 2015 hingga sampai saat ini, buruh JICT seolah - olah seperti tidak pernah puas dengan penghasilan yang mereka terima saat bekerja di JICT. Patut diketahui bahwa gaji buruh dan karyawan JICT untuk jabatan terendah adalah sebesar 25 Juta Rupiah per bulan. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Nasional Maritim Institute, Siswanto Rusdi saat mengomentari kasus Demo Buruh JICT pada bulan mei 2017 kemarin.
"Sudah luas diketahui upah untuk posisi terendah disana diganjar 25 juta di luar fasilitas non cash. Â Kenaikan yang diminta dua kali lipat lebih, ini yang tak rasional mengingat semakin rendahnya produktifitas pekerja JICT," katanya melalui keterangan pers, Senin (8/5/2017).
Rusdi secara jelas mengungkapkan bahwa ditengah panasnya tuntutan para buruh JICT untuk menuntut kenaikan gaji hingga 2 kali lipat, ternyata fakta di lapangan justru menunjukkan kinerja para buruh malah semakin menurun. Hal ini tentu saja tidak rasional dengan apa yang mereka tuntut dari manajemen JICT.
Sejalan dengan Rusdi, Wakil Ketua Forum Peduli BUMN M Syarif juga turut menyayangkan Aksi Demo JICT yang terus - terusan menuntut kesejahteraan. Padahal, jika dibandingkan dengan buruh atau karyawan perusahaan lain, gaji di JICT itu termasuk sangat tinggi bahkan jika dibandingkan gaji selevel manager sekalipun di perusahaan swasta lainnya.
"Gaji pekerja level terendah junior staf disana setara dengan gaji pejabat di pemerintahan. Enggak usahlah dengan membuat kegaduhan dengan demo segala,"ujar M Syarif dalam pernyataannya, Kamis (6/4/2017).
Terkait Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2016 antara JICT dengan Serikat Pekerja JICT memang masih belum tercapai kesepakatan sampai sekarang. Bagaimana tidak, pihak Serikat Pekerja (SP) JICT sendiri dinilai terlalu berlebihan dalam mengajukan tuntutan, terutama terkait kenaikan gaji hingga 174 persen per tahun, itu belum termasuk tuntutan mereka terhadap tunjangan pensiun, bonus, dan lain sebagainya. Menurut Syarif, tuntutan tersebut sangat tidak masuk akal mengingat produktifitas JICT yang kian menurun akibat seringnya buruh melakukan demo dan menuntut kesejahteraan.
"Sebaiknya menajemen JICT jangan meluluskan permintaan mereka apalagi demo mogok terus dan segera mengeluarkan Peraturan Perusahaan untuk menghindari kesalahan kebijakan di kemudian hari,"katanya.
Tidak hanya dari kalangan pakar saja, bahkan di kalangan buruh sendiri, ada juga beberapa yang menilai aksi demo buruh JICT merupakan tindakan yang tidak perlu dilakukan dan tidak masuk akal. Â Yasser Harafat (50) selaku PJS Supervisi Security JICT menilai apa yang dilakukan para teman seprofesinya seperti ada indikasi kepentingan tertentu.
"Saya gak ikut gabung, karena memang dari pemilu SP JICT hingga saat ini, saya bukan anggota serikat. Mau berorganisasi atau tidak, itu terserah karyawan dong. Bahkan, gaji di sini grade terendahnya yakni Rp 11 Juta - Rp 15 Juta. Coba pikir, bodoh sekali gaji sudah besar masih juga mau mogok kerja," kata Yasser.
Berdasarkan data dari JICT sendiri, gaji buruh dan karyawan di JICT berkisar antara Rp 33.743.242 (junior staff - level terendah) hingga Rp 92.692.020 (Senior Manager - level tertinggi). Artinya, jika dibandingkan dengan perusahaan manapun, gaji tersebut tergolong sudah sangat tinggi dan sangat memenuhi taraf kesejahteraan. Lantas, masuk akal kah jika masih ada yang mengatakan gaji tersebut tidak layak dan memenuhi kesejahteraan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H